Pergumulan dalam memahami dialektika pembacaan terhadap teks-teks agama atau kasih judul sendiri lah kalau mau.
Bismillahirohmanirohim
Ini adalah atau anggap saja resensi meskipun saya sendiri tidak yakin ini sebuah resensi atau bukan, dari buku "maqaalat fi al ta'wil" karya dr Salim Abu Ashi.
Sebelum membahas buku ini saya ingin berpendapat dan menyimpulkan lebih dahulu bahwa dengan mempelajari pemikiran Nasr Abu Zaid, anda sesungguhnya telah mempelajari seluruh dasar konsep yang digunakan semua pemikir muslim kontemporer yang kebarat-barat-an dalam semua buku yang ditulis mereka, baik Arkoun, Muhammad Syahrur, bahkan guru Abu Zaid sendiri yakni Hasan Hanafi. Yah, resensi separuh yang tampak dangkal ini mengharuskankan saya untuk meminta maaf karena cara memahami teks yang masih setengah-setengah. Akan tetapi, paling tidak anda dapat melihat pergumulan dalam memahami dialektika masing-masing pemikir.Di dalam buku makalah tentang takwil yang ditulis oleh doktor Salim Abu ASI beliau mengkritik sejumlah pemikiran tokoh-tokoh liberal Arab yang mencoba memaknai teks-teks agama dengan metode pembacaan modern yang diadaptasi dari budaya pemikiran Barat. Salah satu dari pemikir tersebut, dan merupakan tokoh yang mendapat porsi kritikan yang lebih banyak adalah Nasr Abu Zaid karena, didalam banyak bukunya Abu Zaid selalu berbicara tentang teks dan bagaimana menafsirkan atau membaca teks-teks agama terlebih khusus Alquran dengan metode pembacaan yang menurutnya lebih canggih. Di dalam buku ini dokter Salim mencoba membaca pemikiran Abu Zaid tentang Alquran yang kita ketahui merupakan sumber pertama bagi hukum-hukum dan cara hidup seorang muslim.
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami pemikiran Abu Zaid dokter Salim menguraikan pemikiran Abu Zaid ke dalam poin-poin penting yang mencakup metode berpikir yang digunakan oleh Abu Zaid dan pendapatnya mengenai hakikat Alquran dan tujuan yang ia inginkan melalui metode pemikiran tersebut.
Pemikiran Abu Zaid didasari oleh prinsip-prinsip materialisme. Artinya adalah realitas lebih utama dibanding dengan pemikiran. Menurut Abu Zaid realitas adalah sumber atau yang asli, hal yang tidak mungkin dihiraukan. Realitas lah yang membentuk teks. Bahasa dan budaya lah yang membentuk konsep-konsep yang terkandung di dalam teks. Ketika realita ditinggalkan demi menyelamatkan teks yang beku dan konstan atau yang hanya memiliki satu makna, maka teks dan makna tersebut berubah menjadi legenda. Teks menjadi legenda karena telah membuang sisi kemanusiaannya dan dan mementingkan hanya pada sisi transendental.
Menurut doktor Salim, di sini Abu Zaid ingin menciptakan dikotomi antara pemikiran materialistis nya dengan pemikiran Islam yang metafisis dan yang yang secara natural membahas tentang dasar-dasar kepercayaan yang yang bersifat transendental, yang menurut Abu Zaid merupakan sebuah legenda.
Abu Zaid yang tidak percaya atau tidak peduli dengan hal-hal metafisis, menganggap bahwasanya ulama ulama terdahulu dengan segala pemikiran dan penafsiran yang mereka lakukan hanya berkutat kepada satu hal tertentu saja yaitu Tuhan. Pembacaan seperti ini membuat kita kembali ke masa lalu dan menjadikan masa depan itu sebagai masa lalu dan sebaliknya masa lalu menjadi masa depan. Solusinya adalah bukan pada masa lalu tetapi bergerak menuju masa depan bukan proses daur ulang (pemikiran-pemikiran lama).
Poin selanjutnya adalah Abu Zaid berpendapat bahwa tidak ada satupun pembacaan yang absolut yang dapat dijadikan acuan selamanya. Jadi proses pembacaan itu tidak boleh berakhir, prosesnya berlangsung selamanya. Standar baru dalam menilai sebuah pembacaan adalah realita yang merupakan sumber dari teks. Dengan begitu kita tidak akan masuk ke dalam perdebatan yang tidak berguna yang menghancurkan eksistensi dari teks dan realita. Dengan begitu reproduksi makna-makna dari teks Alquran takkan pernah terhenti selamanya.
Menurut Abu Zaid sifat konstan hanya dimiliki oleh yang absolut dan Kudus, sedangkan manusia adalah makhluk yang relatif dan berubah-ubah. Oleh karena itu abu Zaid membedakan antara hakikat Alquran yang transendental dan relatif. Sisi transcendental Alquran tidak dapat diketahui sama sekali, oleh karena itu agar manusia dapat memahaminya maka ia pun menjadi manusia dan Alquran yang bersifat manusiawi ini berubah-ubah dan bersifat relatif.
Sebab itulah setiap pemahaman atau pemaknaan terhadap teks Alquran bersifat relatif bahkan pemahaman nabi terhadap teks tersebut. Menurut Abu Zaid pemahaman nabi adalah upaya pertama manusia dalam memaknai teks Alquran. Jadi pemahaman nabi merupakan ijtihad dan tidak bersifat Maksum karena kemaksuman akan menggugat ke-menjadi-an Alquran.
Sampai di sini kita dapat memahami dua hal penting dalam pemikiran Abu Zaid, yang pertama adalah metode yang digunakan oleh Abu Zaid di dalam membaca teks agama yang kita ketahui adalah, dia menggunakan prinsip materialisme yaitu mendahulukan realitas atas teks. yang kedua adalah hakikat dari Alquran menurut Abu Zaid. Al Quran sesungguhnya adalah produk budaya. ia diciptakan oleh realitas manusia dan bahasa manusia di mana ia diturunkan. Kedua hal tersebut menjelaskan bahwa Alquran bersifat manusiawi dan semua pembacaan terhadapnya bersifat relatif dan historis.
Bagaimana dokter Salim menjawab syubhat syubhat yang dikemukakan oleh Abu Zaid.
Yang pertama adalah menjelaskan kerancuan berpikir yang digunakan oleh Abu Zaid. Terdapat kontradiksi dalam perkataannya ketika dia menjelaskan bahwa bahwa tidak ada yang dapat diketahui dari sisi ketuhanan Alquran, atau dengan kata lain bahwa sisi ketuhanan ini mencegah untuk dilakukan penelitian ilmiah terhadap Alquran. Pendapat ini bertentangan dengan pengakuannya terhadap eksistensi sisi ketuhanan tersebut tidak menafikan bahwa teks bersumber dari budaya dan realitas oleh karena itu ia dapat dikaji secara realistis.
mengenai sisi transendental Alquran yang tidak dapat dimengerti sama sekali, doktor Salim kemudian bertanya apakah kemudian kata-kata Alquran tidak memiliki makna sama sekali atau sebaliknya? apabila ia tidak memiliki makna sesungguhnya itu merupakan tuduhan perbuatan yang sia-sia terhadap Tuhan dengan diturunkannya Alquran. Tetapi jika jawabannya adalah iya, bahwasanya Alquran memiliki makna maka pertanyaan selanjutnya adalah: apakah manfaat atau nilai dari sebuah makna jika ia tidak tetap.
Menurut saya Abu zayd tidak menafikan adanya makna yang terkandung dalam Alquran yang diturunkan ke dunia karena ia membedakan antara Alquran transendental yang tidak diketahui sama sekali tentangnya dan Alquran yang bersifat manusiawi yang bisa diteliti secara ilmiah. Mungkinkah pemikirannya ini serupa dengan yang dikemukakan dalam konsep pemikiran Aswaja tentang dikotomi hakikat Alquran.terdapat Alquran yang merupakan sifat kalam Allah subhanahu wa ta'ala yang tidak serupa dengan makhluk, artinya ia tidak tersusun atau terbentuk dari huruf dan kata-kata, sementara Alquran yang yang dapat kita lihat dan dengar sesungguhnya merupakan refleksi dari hakikat Alquran yang transendental tersebut. Sayang sekali, dokter Abu ASI tidak menjelaskan tentang hal tersebut. Sebaliknya beliau mempertegas bahwa Abu Zaid menafikan eksistensi yang lebih dahulu ada sebelum Alquran yang menurutnya telah menjadi manusia.
Pertanyaan selanjutnya tentang pemahaman nabi terhadap Alquran apakah hal tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah atau sebaliknya? Jika iya, maka pemahaman tersebut juga memiliki sifat ke keilahian tetapi jika tidak, lalu bagaimana mungkin Tuhan mengamini pemahaman nabi yang keliru!
Yang saya pahami dari perkataan Abu Zaid adalah bahwa dia tidak mengatakan bahwa pemahaman nabi terhadap Alquran itu salah tetapi Iya bersifat relatif dan tidak dapat dipraktekkan pada saat ini. sama dengan penafsiran penafsiran sarjanawan lain terhadap Alquran yang bersifat historis dan non absolut.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Alquran diturunkan dengan bahasa Arab yang dapat dimengerti atau menggunakan bahasa yang tidak dapat dimengerti? Jikalau tidak maka sesungguhnya hal tersebut merupakan pembodohan terhadap Alquran sendiri karena terdapat ayat yang yang menyatakan bahwa Alquran diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas tetapi jika Iya bahwasanya Alquran diturunkan dengan bahasa Arab yang dapat dimengerti maka sesungguhnya bahasa mengandung makna-makna.
Dalam pertanyaan tersebut dr Salim menegaskan adanya makna dari suatu bahasa akan tetapi Abu Zaid tidak pernah menafikan adanya hal tersebut. hal yang dinafikan oleh Abu Zaid adalah ketidakmampuan manusia untuk memahami sisi transendental Alquran.
Pertanyaan selanjutnya adalah jika level keilahian Alquran telah turun dan menjadi teks manusiawi, lalu nilai apakah yang terdapat di dalam teks yang bersumber dari realitas? Dan jika teks ilahi itu absolut dan metafisis, yang tidak diketahui apapun tentangnya maka manfaat apakah yang yang kita dapatkan dari perintah-perintah Tuhan, karena untuk memberikan manfaat, perintah-perintah tersebut haruslah dapat dipahami.
Disini kita mengerti bahwa konsep dikotomi hakikat Alquran yang dikemukakan oleh Abu Zaid tidak sama dengan konsep yang dikemukakan oleh Aswaja, karena menurut Abu zayd hakikat keilahian Alquran telah berubah menjadi manusia sehingga tidak ada gunanya membahas hakikat keilahian tersebut karena ia tidak dapat bergumul Dengan pemahaman manusia. Artinya, dalam pemikiran Abu Zaid tidak terdapat dikotomi, yang ada adalah perubahan hakikat Alquran dari hakikat keilahian menjadi manusia.
Pertanyaan selanjutnya adalah kasus yang terdapat pada teks cerita cerita di dalam Alquran atau informasi pertanyaannya adalah bagaimana informasi tersebut dapat menerima berbagai makna dan makna-makna yang kontradiktif karena suatu informasi dikatakan benar jika ia mengejawantah dalam realitas bukan hanya konsep yang terdapat di dalam pikiran.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah penafsiran Alquran dengan hadits-hadits shohih juga merupakan pemahaman yang bersifat manusiawi, padahal allah menjelaskan dalam Alquran bahwa tugas nabi adalah menjelaskan Alquran. Doctors Salim mengatakan bahwa Abu Zaid menganggap bahwa penafsiran berdasarkan sunnah yang shahih juga bersifat manusiawi dilihat dari banyaknya syak wasangka dalam periwayatan hadits.
dari metode yang digunakan oleh dr Salim dalam mengkritik poin-poin pemikiran Abu zayd tersebut saya menyimpulkan kan bahwa sebagian dari kritik tersebut berusaha untuk menolak pemikiran dengan menjelaskan ketimpangan dalam pemikiran tersebut, akan tetapi sebagian dalam kritik-kritik tersebut hanya mengulang pemikiran yang sudah ada, artinya kritik yang digunakan adalah mengemukakan kontradiksi antara pemikiran Abu Zaid dengan dengan pemikiran yang sudah mapan.
Yang masih menjadi pertanyaan adalah adakah perbedaan antara keilahian Alquran dalam perspektif Abu Zaid dan perspektif Aswaja. Jika kita teliti, tujuan dari Abu Zaid dalam mengetengahkan pemikiran tentang kemanusiaan Alquran adalah untuk menyetarakan teks teks al-quran dengan teks teks lainnya agar penelitian terhadap teks Alquran juga menggunakan metode yang sama dengan pembacaan atas teks yang lain yaitu pembacaan historis fenomenologis dan hermeneutis. Adapun kemanusiaan Alquran dalam perspektif Aswaja adalah untuk menafikan sifat kalam Allah terbentuk dari huruf dan kata-kata. Refleksi dari hakikat Alquran yang berupa kalam Allah menjadi Alquran yang dapat kita baca dan dengarkan kan tidak menjatuhkan derajatnya seperti yang dikemukakan oleh Abu Zaid, Iya tetap merupakan teks-teks suci yang merupakan mukjizat nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang abadi. Akan tetapi jawaban ini memunculkan pertanyaan lagi yaitu apakah perbedaan dalam konsep pemikiran kedua belah pihak hanya terdapat dalam tujuannya saja?
Kontradiksi yang dijelaskan oleh doktor Salim dalam pemikiran Abu Zaid tentang hakikat Alquran adalah pendapatnya yang mengatakan bahwa Alquran merupakan produk budaya dan di saat yang sama dia juga mengamini adanya nya eksistensi Alquran yang lebih dahulu ada dengan Alquran sekarang yang menurutnya manusiawi. Bukankah seharusnya jika eksistensi transendental tersebut ada maka ialah yang membentuk realitas dan budaya, hal yang sejalan dengan konsep pemikiran Aswaja bahwa Alquran lah yang membentuk realitas atau teks-teks Alquran itu sudah lebih dahulu ada daripada masalah-masalah yang di jawabnya.
Comments
Post a Comment