Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains


Pernahkah anda terbangun dari mimpi indah yang terasa begitu nyata? Setidaknya anda akan berpikir dua kali untuk hidup di dalam realitas ini. Pernahkah anda terbangun dalam keadaan bingung manakah yang nyata dan tidak? Adakah yang menjamin anda tidak sedang bermimpi? Bukankah sensasi yang anda rasakan dalam tidur sangat persis dengan kejadian dalam dunia ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana anda memaknai kenyataan?
Apakah kenyataan? Jika ia apa yang dapat anda lihat, anda dengar, cium, dan rasakan, maka kenyataan hanyalah sinyal listrik yang diterjemahkan otak anda.
Apakah dunia ini nyata? Sesungguhnya pandangan anda terbias sehingga anda melupakan tujuan sebenarnya. Pikiran anda terjebak di dalam dunia ini, sehingga tanpa sadar anda meyakinkan diri bahwa inilah kenyataan.
Anda terpaksa menerima kenyataan walalu terkadang terasa pahit. Budha berkata “kenyataan memang pahit”. Tetapi yang akan ditawarkan kepada anda kali ini adalah sesuatu yang melampaui kenyataan, kenyataan yang sangat indah jika anda mau menerimanya.

Pertanyaan-pertanyaan ini setidaknya dapat mengawali gagasan tokoh-tokoh yang akan dibahas dalam tulisan ini. Plato, Ibnu Arabi, dan The Matrix membangun gagasannya dengan paradigma yang sama, paradigma hologram.
Apakah paradigma hologram? Sebelum mengetahuinya terlebih dahulu anda harus memahami hologram dan cara kerjanya. Sebuah hologram adalah suatu potret tiga dimensional yang dibuat dengan sinar laser. Untuk membuat hologram, obyek yang akan difoto mula-mula disinari dengan suatu sinar laser. Lalu sinar laser kedua yang dipantulkan dari sinar pertama ditujukan pula kepada obyek tersebut, dan pola interferensi yang terjadi (bidang tempat kedua sinar laser itu bercampur) direkam dalam sebuah pelat foto.
Ketika pelat itu dicuci, gambar terlihat sebagai pusaran-pusaran garis-garis terang dan gelap. Tetapi ketika foto itu disoroti oleh sebuah sinar laser lagi, muncullah gambar tiga dimensional dari obyek semula di situ.
Sifat tiga dimensi dari gambar seperti itu bukan satu-satunya sifat yang menarik dari hologram. Jika hologram sebuah bunga mawar dibelah dua dan disoroti oleh sebuah sinar laser, masing-masing belahan itu ternyata masih mengandung gambar mawar itu secara lengkap (tetapi lebih kecil).
Bahkan, jika belahan itu dibelah lagi, masing-masing potongan foto itu ternyata selalu mengandung gambar semula yang lengkap sekalipun lebih kecil. Berbeda dengan foto yang biasa, setiap bagian sebuah hologram mengandung semua informasi yang ada pada hologram secara keseluruhan. Sifat “keseluruhan di dalam setiap bagian” dari sebuah hologram,memberikan kepada kita suatu cara pemahaman yang sama sekali baru terhadap organisasi dan order.
memang, tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing dari Plato, Ibnu Arabi, dan The Matrix berbeda. Plato ingin menjelaskan konsep dunia ide, yaitu adanya dualism di dalam realitas yang kita temui. Sedangkan Ibnu Arabi mencanangkan gagasan kesatuan eksistensi, yaitu realitas absolut hanya dimiliki oleh Tuhan. Dan Morpheus berusaha menghancurkan realitas artifisial yang disebut Matrix.
Satu-satunya hal yang menyatukan mereka adalah pandangan mengenai bahwa dunia yang kita temui ini sesungguhnya tidak ada, ia hanyalah bayangan atau refeleksi holografik dari realitas yang lebih tinggi.
Plato berpendapat bahwa benda-benda yang ada di sekitar kita merupakan hasil dari sebuah cetakan asli yang terdapat dalam dunia ide. Cetakan asli tersebut tentunya jauh lebih indah daripada benda-benda yang dihasilkan melalui dirinya, dan dalam waktu tertentu kita berharap untuk melihat cetakan asli tersebut.
Seorang filosof berusaha untuk memahami sesuaatu yang kekal abadi, hal itu karena kita tidak dapat memiliki pengetahuan sejati tentang segala sesuatu yang selalu berubah. Kita hanya dapat mempunyai pendapat tentang benda-benda yang ada di dunia indrawi, benda-benda nyata. Kita hanya dapat mempunyai pengetahuan sejati tentang segala sesuatu yang dapat dipahami akal kita.
Plato percaya bahwa realitas itu terbagi menjadi dua wilayah. Satu wilayah adalah dunia indra, yang mengenainya kita hanya dapat mempunyai pengetahuan yang tidak tepat atau tidak sempurna dengan menggunakan lima indra kita. Di dunia indra ini, “segala sesuatu berubah” dan tidak ada yang permanen. Dalam dunia indra ini tidak ada sesuatu yang selalu ada, yang ada hanyalah segala sesuatu yang datang dan pergi.
Wilayah yang lain adalah dunia ide, yang mengenainya kita dapat memiliki pengetahuan sejati dengan menggunakan akal kita. Dunia ide ini tidak dapat ditangkap dengan indra, namun ide (atau cetakan-cetakan) itu kekal dan abadi.
Selain memiliki tubuh indrawi yang berubah-ubah dan tidak kekal, manusia juga memiliki jiwa yang kekal. Sebelum mendiami tubuh, ruh ini berada bersama cetakan-cetakan tersebut. tapi begitu jiwa bangkit dalam tubuh manusia, ia telah melupakan semua ide-ide yang sempurna. Lalu sesuatu mulai terjadi. Ketika manusia menemukan berbagai bentuk di dunia alamiah ini, suatu ingatan yang samar-samar menggerakkan jiwanya. Dia melehat seekor kuda tetapi kuda yang tidak sempurna. Penglihatan atas kuda itu sudah cukup untuk membangkitkan dalam jiwanya ingatan yang samar-samar tentang “kuda” yang sempurna, yang pernah dilihat jiwa di dunia ide, dan ini menggeakan jiwa dengan suatu kerinduan untuk kembali ke tempatnya yang sejati. Plato menyebut kerinduan ini sebagai cinta. Maka, jiwa mengalami “kerinduan untuk kembali pada asal-usulnya yang sejati.” Sejak itu, tubuh dan seluruh dunia indra dianggap tidak sempurna dan tidak penting.
Plato menggambarkan suatu jalan hidup yang ideal, sebab tidak semua manusia membiarkan jiwanya bebas untuk memulai perjalan ke dunia ide. Kebanyakan orang bergantung pada “bayangan” ide di dunia indra. Mereka mellihat seekot kuda dan kuda yang lain, namun mereka tidak pernah mengerti bahwa setiap kuda itu hanyalah tiruan yang buram.
Plato percaya bahwa semua fenomena alam itu hanyalah bayang-bayang dari bentuk atau ide yang kekal. Tapi kebanyakan orang sudah puas dengan kehidupan di tengah bayang-bayang. Mereka tidak memikirkan apa yang membentuk bayang-bayang itu. Mereka mengira hanya bayang-bayang itulah yang ada, tanpa pernah menyadari bahwa bayang-bayang tersebut, sesungguhnya, hanyalah bayang-bayang. Dan dengan begitu mereka tidak mengindahkan keabadaian jiwa mereka sendiri.  (Jostein Gaarder: Dunia Sophie)
Film The Matrix menggunakan konsep dunia ide Plato dalam menjelaskan realitas yang ada dalam Matrix. Film ini mencitrakan sebuah dunia artifisial yang diciptakan sebagai dimensi alternatif di masa depan nanti. Kondisi Bumi yang tidak layak huni memaksa manusia untuk tinggal di dalam dunia buatan itu.
The Matrix menceritakan bahwa manusia nanti akan menciptakan sebuah realitas baru, sebuah dunia yang mampu mewujudkan mimpi-mimpi manusia, hanyasaja realiatas baru ini hanya terjadi di dalam otak yang telah disambungkan dengan kabel ke dalam dunia matrix. Jadi, semua hal yang dapat dirasakan dan ditemui sejatinya hanyalah serat optic yang diproyeksikan ke dalam otak. Tidak ada realita melainkan transliterasi otak semata.
Sementara mayoritas manusia terhanyut dalam realita palsu dunia matrix, beberapa dari mereka membebaskan pikiran dan menolak dunia buatan tersebut. akan tetapi realita bahwa tiada tempat yang dapat ditinggali memaksa mereka untuk tinggal di inti bumi, satu-satunya tempat yang masih hangat.
Satu-satunya cara untuk mengembalikan realitas yang dulu adalah dengan menghancurkan matrix dan menyadarkan manusia yang terbuai mimpinya.
Bagaimana dengan Ibnu Arabi. Ia juga mencanangkan konsep “Kesatuan Eksistensi” dengan menggunakan paradigm hologram. Ibnu Arabi mengatakan bahwa realitas yang kita lihat ini sesungguhnya merupakan refleksi Tuhan, jadi Tuhan menurutnya melihat dirinya sendiri dalam makhluk-makhluk yang Ia ciptakan.
Bayangkan anda melihat diri anda dalam sebuah cermin. Citra yang dihasilkan oleh cermin itu menurut Ibnu Arabi bukan anda, dan juga bukan selain anda, ia adalah refleksi diri anda yang terlihat dalam cermin.
Begitupula dengan korelasi Tuhan dan makhluk, keduanya merupakan eksistensi yang satu dalam dua perspektif yang berbeda.
Ibnu Arabi ingin mengatakan bahwa satu-satunya eksistensi yang mutlak dalam realitas ini hanya entitas Tuhan, sementara entitas-entitas lainnya meminjam eksistensi dari Tuhan. Semua realitas yang kita temui adalah hologram yang merefleksikan entitas Tuhan.
Konsep kesatuan eksistensi atau biasa dikenal dengan wahdat al wujûd merupakan pencapaian yang didapatkan seorang ahli mistik melalui kondisi (al hâl) kekosongan (al fana) yang telah ia lewati. Seketika penglihatan spiritualnya dapat menembus realitas yang lebih tinggi dimana ia menemukan satu-satunya eksistensi absolut. Sementara realitas yang ditemui melalui indra menurut perspektifnya hanya bayangan eksistensi absolut itu.
Paradigma hologram dalam sains
Enstein menyatakan bahwa Cahaya merupakan hal tercepat di alam semesta ini. Tetapi pada tahun 1982 Alain Aspect bersama timnya menemukan bahwa dalam lingkungan tertentu partikel-partikel subatomik, seperti elektron, mampu berkomunikasi satu sama lain dengan seketika tanpa peduli jarak yang memisahkan mereka. Tidak ada bedanya apakah mereka terpisah 10 kaki atau 10 milyar km satu sama lain. Entah bagaimana, tampaknya setiap partikel selalu tahu apa yang dilakukan oleh partikel lain.
David Bohm berteori bahwa temuan Aspect menyiratkan bahwa realitas obyektif itu tidak ada; bahwa sekalipun tampaknya pejal [solid], alam semesta ini pada dasarnya merupakan khayalan, suatu hologram raksasa yang terperinci secara sempurna.
Bohm yakin bahwa alasan mengapa partikel-partikel subatomik mampu berhubungan satu sama lain tanpa terpengaruh oleh jarak yang memisahkan mereka adalah bukan karena mereka mengirimkan isyarat misterius bolak-balik di antara satu sama lain, melainkan oleh karena keterpisahan mereka adalah ilusi. Bohm berkilah, bahwa pada suatu tingkat realitas yang lebih dalam, partikel-partikel seperti itu bukanlah entitas-entitas individual, melainkan merupakan perpanjangan [extension] dari sesuatu yang esa dan fundamental.
Menurut Bohm, inilah sesungguhnya yang terjadi di antara partikel-partikel ubatomik dalam eksperimen Aspect itu. Menurut Bohm, hubungan yang tampaknya “lebih cepat dari cahaya” di antara partikel-partikel subatomik sesungguhnya mengatakan kepada kita bahwa ada suatu tingkat realitas yang lebih dalam,yang selama ini tidak kita kenal, suatu dimensi yang lebih rumit di luar dimensi kita.
Tambahnya, kita memandang obyek-obyek seperti partikel-partikel subatomik ebagai terpisah satu sama lain oleh karena kita hanya memandang satu bagian dari realitas sesungguhnya.
Partikel-partikel seperti itu bukanlah “bagian-bagian” yang terpisah, melainkan faset-faset dari suatu kesatuan (keesaan) yang lebih dalam dan lebih mendasar,yang pada akhirnya bersifat holografik dan tak terbagi-bagi seperti gambar mawar di atas. Dan oleh karena segala sesuatu dalam realitas fisikal terdiri dari apa yang disebut “eidolon-eidolon” ini, maka alam semesta itu sendiri adalah suatu proyeksi, suatu hologram. Di samping hakekatnya yang seperti bayangan, alam semesta itu memiliki sifat-sifat lain yang cukup mengejutkan. Jika keterpisahan yang tampak di antara partikel-partikel subatomik itu ilusif, itu berarti pada suatu tingkat realitas yang lebih dalam segala sesuatu di alam semesta ini saling berhubungan secara tak terbatas.
Elektron-elektron didalam atom karbon dalam otak manusia berhubungan dengan partikel-partikel subatomik yang membentuk setiap ikan salem yang berenang, setiap jantung yang berdenyut, dan setiap bintang yang berkilauan di angkasa. Segala sesuatu meresapi segala sesuatu; dan sekalipun sifat manusia selalu mencoba memilah-milah, mengkotak-kotakkan dan membagi-bagi berbagai fenomena di alam semesta, semua pengkotakan itu mau tidak mau adalah artifisial, dan segenap alam semesta ini pada akhirnya merupakan suatu jaringan tanpa jahitan. Di dalam sebuah alam semesta yang holografik, bahkan waktu dan ruang tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang fundamental.
Pada tingkatan yang lebih dalam, realitas merupakan semacam superhologram yang di situ masa lampau, masa kini, dan masa depan semua ada (berlangsung) secara serentak. Ini mengisyaratkan bahwa dengan peralatan yang tepat mungkin di masa depan orang bisa menjangkau ke tingkatan realitas superholografik itu dan mengambil adegan-adegan dari masa lampau yang terlupakan. Apakah ada lagi yang terkandung dalam superhologram itu merupakan pertanyaan terbuka. Bila diterima –dalam diskusi ini- bahwa superhologram itu merupakan matriks yang melahirkan segala sesuatu dalam alam semesta kita, setidak-tidaknya ia mengandung setiap partikel subatomik yang pernah ada, dan akan ada setiap konfigurasi materi dan energi yang mungkin, dari butiran salju sampai quasar, dari ikan paus biru sampai sinar gamma.
Itu bisa dilihat sebagai gudang kosmik dari “segala yang ada”. Sekalipun Bohm mengakui bahwa kita tidak mempunyai cara untuk mengetahui apa lagi yang tersembunyi di dalam superhologram itu, ia juga mengatakan bahwa kita tidak mempunyai alasan bahwa superhologram itu tidak mengandung apa-apa lagi. Atau, seperti dinyatakannya, mungkin tingkat realitas superholografik itu “sekadar satu tingkatan”, yang diluarnya terletak “perkembangan lebih lanjut yang tak terbatas.”

Referensi
Jostein Gaarder: Dunia Sophie
Abu Ala Afifi: Tasawwuf; al tsaurat al ruhiyyah fi islam




Comments

Popular posts from this blog

Filosofi Battousai

review film da vinci demons