Simplikasi Hermeunetika beberapa pemikir muslim modern
1- Arkoun
Seperti para kritikus modern lainnya Arkoun
ingin memposisikan al Qur’an sebagai sebuah teks biasa seperti teks-teks
lainnya yang dapat dikritisi melalui teori-teori dalam ilmu linguistic dan
dekonstruksi para filsuf post-modern.
Dekonstruksi sebagaimana telah diketahui
bertujuan untuk mempertanyakan segala sesuatu yang tidak dapat diusik yang
biasanya disebabkan oleh klaim sakralitas yang disematkan oleh masyarakat
terhadapnya. Arkoun sangat memahami bahwa hal tersakral yang dimiliki oleh umat
Islam adalah kitab suci mereka. Menurutnya paham tentang kesakralan inilah yang
justru menumpulkan akal dan memundurkan budaya ilmiah dalam dunia Islam. Oleh
karena itu untuk menghacurkan paham tersebut Arkoun mengajak untuk mempercayai
bahwa: Al Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ini bukan al Qur’an yang sama
dengan al Qur’an yang asli. Al Qur’an yang berasal dari lauh al Mahfudz yang
kemudian diwahyukan kepada Nabi Saw. Dan kemudian disampaikan olehnya kepada
masyarakat secara verbal, lalu kemudian ditulis dan dikumpulkan ke dalam bentuk
buku. Di dalam urutan penyampaian tersebut, Arkoun menganggap bahwa kesakralan
hanya ada pada al Qur’an yang ada pada lauh al Mahfudz, dan yang
disampaikan Nabi Saw. Secara verbal. Sedangkan al Qur’an yang kemudian
dikumpulkan oleh Utsma Ra. Menurutnya telah melalui sejumlah
perubahan-perubahan yang membuatnya kehilangan originalitasnya. Hal ini
disebabkan menurut Arkoun bahwa tulisan huruf-huruf arab pada masa kenabian dan
setelahnya sangat jauh berbeda dari segi pemberian titik-titik dan harakat.,
selain itu, riwayat-riwayat yang
menjelaskan pengumpulan al Qur’an pada masa Nabi harus ditolak.
Berarti, dari segi hakikat, menurut Arkoun
al Qur’an memiliki dua, hakikat ilahinya yang sakral ketika ia berada dalam lauh
al Mahfudz, dan hakikat duniawinya yang profane dan dapat disetarakan
dengan teks-teks lainnya yang tunduk kepada kajiam sastra.
2- Nasr Abu Zaid
Dengan tujuan yang sama dengan Arkoun, Abu Zaid menggunakan beberapa asumsi yang tidak jauh berbeda dengan yang digunakan oleh seniornya itu, tetapi benar-benar persis dengan tesis-tesis yang dikemukakakan Syahrur dalam ALKITAB WA ALQUR'AN.
Pertama-pertama Abu Zaid berbicara seputar konsep hakikat al Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Saw. Dengan menggunakan bahasa manusia. Penggunaan bahasa manusia merupakan suatu hal yang lazim untuk memahamkan manusia atas kehendak Tuhan. Penggunaan ini juga merubah hakikat al Qur'an itu sendiri dari kondisi ilahi kepada kondisi manusiawi, maka al quran karenanya telah mengalami proses humanisasi, dan tunduk terhadap kaidah-kaidah teks manusia.
Karena telah memanusia maka dapat dikatakan bahwa al Quran seperti teks-teks lain juga terlahir dari sebuah kondisi historis, sosio-kultur, dan realita yang membentuknya. Dan pada kasus al Qur'an ia telah terbentuk secara sempurna setelah melewati 20 tahun. Dan selain menjadi produk budaya ia juga menjadi produsen.
Fakta ini mengharuskan bahwa interpretasi teks dengan pemahaman masyarakat yang semasa dengan teks itu akan membatasi interpretasi teks yang seharusnya plural dan dapat digunakan sepanjang waktu karena pemahaman tentangnya telah terhenti pada masa itu. Maka, dengan konsekuensi ini hadits-hadits Nabi dianggap sebagai upaya paling awal dalam interaksi manusia dengan teks, dengan kata lain ijtihad pribadinya sendiri,yang penerapannya dalam memahami al Qur'an dapat digunakan atau tidak sama sekali.
Jika penafsiran nabi saja tidak mutlak maka penafsiran selainnya pun juga sama disebabkan oleh realitas yang berubah-ubah tidak tetap.
3- Hasan Hanafi
Hanafi memiliki sebuah proyek ambisius yang dinamakannya dengan turats wa tajdid dimana ia membahas mengenai hakikat turats berikut cakupannya dan sikap kita terhadapnya.
lebih dari suatu benda pusaka, menurut Hanafi turats merupakan cara berfikir dan problem kemasyarakatan yang berhubungan dengan kehidupan warga negara nya. Oleh karena itu, agama pun dengan sendirinya menjadi turats, sebab agama telah diperankan oleh sekelompok manusia dan telah mengubahnya menjadi budaya sesuai tuntutan zamannya. Karena telah menjadi budaya maka ia pun dapat menerima perubahan dan pengembangan.
Perangkat-perangkat agama pun memiliki nasib yang sama. Al quran misalnya menurut Hanafi lahir sebagai solusi atas keresahan terhadap problem yang menimpa masyarakat pada masa diturunkannya. Hal ini terbukti dengan merujuk pada konsep asbabun nuzul yang menjelaskan kejadian yang mengiringi turunnya ayat-ayat Al quran. Solusi yang ditawarkan nya kemudian tidaklah selalu sesuai dengan setiap waktu dan tempat, dan ini dibuktikan dengan konsep nasakh-mansukh yang menjelaskan mengenai terhapusnya hukum tertentu yang tidak dapat digunakan lagi.
Maka dari itu, budaya klasik yang selalu membangun realitas dengan berpedoman pada acuan-acuan teks-teks suci harus dibalik dengan melihat realita yang paling baik lalu kemudian mencarikan justifikasinya dari teks. Mengapa? Karena satu-satunya sumber yang dapat digunakan dalam memahami teks adalah pengalaman manusia itu sendiri, dimana ia berkontemplasi atas pengalaman hidupnya dan kemudian mencoba mempelajari makna dari kehidupannya itu. Interpretasi teks tidak lagi harus disyaratkan dengan kemampuan bahasa karena konsekuensi nya adalah mengasumsikan ketidak jelasan teks itu sendiri.
Mengapa tidak perlu memahami bahasa Karena menurut Hanafi bahasa turats klasik sudah terkontaminasi oleh istilah-istilah teologis yang pembahasan nya melulu tentang tuhan. Ia adalah bahasa historis yang hanya menjelaskan sejarah bukan pemikirannya. Ia adalah bahasa agamis, formal, dan abstrak.
Dalam membangun konsep hermeunetiknya, ada tiga konsep filsafat yang digunakan Hanafi untuk memuluskan rencana nya: postivisme, materialis historis, dan fenomenologi.
Positivisme digunakan agar pembahasan keagamaan tidak terhenti pada kajian teosentris. Dan memusatkan perhatian pada problem kemanusiaan agar mendekatkan wahyu dengan realita. Aliran Positivisme dalam filsafat sangat membenci istilah-istilah teologis dan hanya mempercayai objek yang dapat dindera sebagai Wilayah observasi.
Materialisme digunakan agar sentralitas pembahasan ditujukan bukan lagi kepada obyek, tetapi kepada subjek yang telah memberikan efek pada objek yang membentuk realitas. artinya, realitaslah yang membentuk ide bukan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk mengganti budaya spekulatif ke budaya praksis.
Adapun fenomenologi digunakan untuk memahami realita maupun teks sebagaimana adanya tanpa intervensi praduga subjektif dan objektif mengenainya. Dengan fenomenologi diharapkan sebuah fenomena seakan menjelaskan dirinya sendiri kepada pembaca.
Comments
Post a Comment