Asal usul istilah ustad




Mungkin dapat dikatakan bahwa istilah ustadz ini adalah Bahasa universal, yaitu digunakan tidak hanya pada satu negara. Secara umum ia digunakan untuk menunjukkan profesi mengajar, di daerah melayu seperti Indonesia dan Malaysia kata ustaz hanya ditunjukkan kepada mereka yang mengajarkan agama Islam. Sedangkan di Arab ditujukan kepada dosen yang mengajar di suatu universitas, banyak yang menerjemahkannya sebagai professor.


Pada awalnya saya mengira bahwa istilah ini merupakan istilah modern dan berasal dari Arab. Kemudian saya menemukan keberadaan ulama klasik yang digelari dengan istilah tersebut, al Ustadz Abu Ishaq al Ispirayini, seorang teolog sunni yang malang melintang dalam berbagai kontroversi dan mendalami berbagai disiplin ilmu. Menurut beberapa penjelasan, gelar Al Ustadz hanya diberikan kepada seseorang yang telah menguasai sejumlah ilmu dan namanya besar dalam ilmu-ilmu tersebut.

Seorang teman bertanya kepada saya tentang panggilan yang ditujukan kepada guru non muslim di Arab. Tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu saya menjawab bahwa panggilan ustadz juga digunakan kepada guru non muslim. Karena istilah itu sendiri ditujukan kepada pengajar dari sisi bahwa ia seorang pengajar, sisi ajaran islaminya kemudian membuatnya dipanggil syeikh, kalau di Indonesia kiai atau tuan guru.

Mengingat bahwa Bahasa Indonesia adalah Bahasa yang masih muda dan berkembang, saya rasa belum ada perdebatan yang Nampak ke permukaan tentang asal-usul kalimat ustadz, apakah ia Bahasa pribumi atau serapan? Karena saya rasa semua orang akan menganggapnya berasal dari Arab. Sementara di Arab, istilah ini berbuntut kepada persesilihan panjang, yang ujungnya adalah problem pelestarian Bahasa Arab klasik atau yang kita kenal dengan istilah Arab Fusha (Dr. Ibrahim Hud-hud lebih senang dengan sebutan arab fasih, karena bahasa fusha telah punah bersama para penyair arab klasik), yaitu Bahasa yang mengikuti tatanan pengucapan Nahwu dan Sharf, dengan propaganda pemakaian Bahasa ‘Amiyah (popular) dan pemberantasan Bahasa fusha’

Minggu sebelumnya dosen saya yang mengajar Ulumu’l Qur’an menyinggung sedikit kejadian yang terjadi pada sekitaran tahun 40-60 an ketika sejumlah orang memprogandakan pemakaian Bahasa ‘Amiyyah pada pertemuan resmi, surat kabar, hal-hal resmi lainnya. Ungkapnya propaganda ini kemudian hilang begitu saja karena Tuhan sendiri telah berfirman “inna nahnu nazzalna al dzikra wa inna lahu lahâfidzûn” artinya Bahasa arab fusha’ itu adalah Bahasa al Qur’an, dan tentu Tuhan sendirilah yang akan langsung turun tangan menjaga Bahasa yang digunakan kitab-Nya.

Saya tidak melacak lebih dalam kejadian lama tersebut, tetapi saya memang pernah membaca bahwa progaganda berbahasa Amiyyah dipopulerkan bahkan semenjak kedatangan Napoleon Bonaparte ke Mesir. Kedatangannya untuk menjajah Mesir dengan mengaku sebagai muallaf dimulai dengan pemberantasan budaya yang mereka miliki, yaitu Bahasa.
Di masa modern pun, saya pernah berbicara dengan mahasiswa Mesir yang keliatannya berjuang untuk berbicara mengunnakan Bahasa Fusha, karena mahasiswa asing jarang mengerti Bahasa amiyyah. Ungkapnya, sebagian warga Mesir lebih senang menggunakan Bahasa ammiyah karena menurut mereka bahsa fusha adalah Bahasa yang sudah usang, ia dulu dipakai oleh orang-orang yang bodoh (jahiliyah). Saya sendiri terkejut dengan perkataan ini, karena dahulu di pesantren kita diajarkan bahwa Bahasa Arab itu sakral, ia nanti akan digunakan di surga, dan dahulu orang-orang Arab sangat membenci al lahn atau kesalahan berbahasa. Tetapi sekarang justeru malah terbalik. Bahkan bukan hanya warga, saya sangat menyayangkan bahwa sebagian dosen-dosen yang mengajar pun menggunakan Bahasa  ammiyah di tengah-tengah kerumunan mahasiswa yang datang dari belahan penjuru dunia. Hal ini sangat menyedihkan dan membuat kesal, contohnya anda orang Kalimantan dan kuliah di UIN Yogyakarta kemudian menemukan dosen yang mengajar filsafat menggunakan Bahasa jawa. Hal itu sangat mengesalkan karena mengajarkan materi yang sulit dengan Bahasa yang aneh pula. Di Arab mahasiswa asing pun kemudian terpaksa mempelari Bahasa ammiyah dan lama kelamaan malah lebih menyukai Bahasa ini yang tidak ribet memerlukan aturan-aturan gramatika. Mereka tidak mampu berbahasa Arab yang fasih karena di Arab mereka tidak pernah aau jarang menggunakannya. Maka jangan heran kalau ada seorang magister yang masih terbata-bata berbahasa Arab seperti saya ini.
Syaikh Fauzi Konati, orang Afrika yang mampu menagjar di masjid al Azhar, pesertanya memenuhi masjid karena Bahasa arabnya yang fasih.
Kembali ke kasus istilah Ustadz. Syaikh Muhammad Ali Najjar dalam buku Lughawiyyât wa Akhtâ’ menjelaskan bahwa istilah ini bukan Bahasa Arab, oleh karena itu beberapa aturan gramatika Arab tidak berlaku padanya, seperti menambahkan ta’ marbuthah (ة) kepada kata tersebut untuk menunjukkan perempuan.
Istilah Ustadz berasal dari Persia yang berarti orang yang kompeten dalam bidangnya. Menukil dari al Jawaliqi, bahwa istilah ini tidak ditemukan dalam syair-syair jahili. Secara umum ia digunakan untuk memuliakan para pengajar yang telah dikebiri. kata Ustadz sendiri berarti pengrajin, karena seorang ustadz biasanya memiliki murid yang mereka ajar, mereka seperti pengrajin dalam mengajar.
Karena berasal dari Persia, istilah ustadz kemudian digunakan oleh penduduk Iraq karena mereka paling dekat dengan Persia, setelah itu kemudian mulai menyebar ke mesopotamia dan Syam, lalu ke daerah-daerah Arab lainnya.
Diantara tokoh-tokoh klasik yang digelari Al Ustadz adalah:
1.  Al Ustadz Abu al Fadhl Muhammad bin al ‘amid. Seorang penulis, wafat 360 H.
2.  Al Ustadz Abu al Misk Kapoor al Ikhsyidi, pemerintah Mesir pada tahun 355 H.
3.  Al Ustadz Abu Ishaq al Isfirayini, tokoh mazhab syafii. Wafat 418 H.

Setelah menjelaskan sekilas tentang asal-usulnyas, Syaikh Ali Najjar kemudian menjelaskan penggunaan istilah tersebut sesuai kaidah gramatika. Kata Ustadz merupakan Isim Jamid¸ia buka kata sifat. Oleh karena itu untuk menunjukkan seorang Ustadz berkelamin wanita tidak perlu menambahkan ta’ marbuthah. Mengingat bahwa istilah ini sering digunakan kepada pria, maka ia tetap dalam bentuk yang sama walaupun digunakan untuk menunjukkan perempuan. Sebagaimana diamini oleh Ibn al Sikkit; dalam beberapa istilah seperti al washiy (الوصي), al amir (الأمير), al ‘alim (العالم), al wakil (الوكيل), tetap dalam bentuk seperti itu ketika ditujukan kepada wanita, karena seringkali digunakan untuk laki-laki mak ia tetap dalam bentuknya yang asli tanpa menambahkan ta’. Begitupula dalam beberapa istilah dalam Bahasa Prancis terdapat istilah-istilah yang memiliki kasus yang sama seperti; Professeur, Docteur, Auteur, Amateur.[1]

Saya ingin menambahkan sedikit hal menarik dari Dr. Muhammad Fathi Hariri dalam situs Forum penerjemah WATA (World Association of Arab Translation):
Di dalam Bahasa Arab, huruf Sin dan Zal yang asli tidak dapat bertemu pada satu kata. Adapun kalimat seperti ساذج  (sederhana) dan سذاب  (nama tumbuhan) bukan merupakan Bahasa Arab.
Istilah Ustadz sendiri merupakan istilah Iran kuno yang dekat maknanya dengan Khoja (خواجة) yang berarti pengajar. Istilah ini muncul dari peristiwa bersejarah ketika pendidikan hanya dimiliki orang-orang kaya dan elit. Orang-orang ini kemudian mempekerjakan para pengajar dan memberikannya akses ke dalam istana. Karena dikhawtirkan berselingkuh dengan selir-selir mereka, para pengajar itu kemudian dikebiri. Orang yang telah dikebiri ini dikenal dengan istilah Ustadz, semenjak itulah setiap pengajar kemudian dipanggil dengan orang yang telah dikebiri (ustadz).[2]

Dari kacamata yang lain Dr. Said al Din Hilali dalam salah satu siaran radio mengejawantahkan istilah ustaz sebagai propaganda berbahasa ammiyah. Menurutnya istilah Ustaz adalah bahasa asing yang kemudian diarabkan oleh keputusan masyarakta bukan Tuhan. Ini berarti dalam hal ini hokum ada di tangan masyarkat. Masyarkat boleh mengarabkan kata asing manapun yang mereka inginkan karena Bahasa Arab bukan wahyu yang sakral yang membuatnya dilarang untuk berubah dan menambahkan istilah yang bukan arab.

Ada sejumlah orang yang mengatakan bahwa Bahasa Arab adalah Bahasa al Qur’an yang harus dijaga, oleh karena itu setiap penyiar harus paham tentag kaidah-kaidah Bahasa Arab. Orang –orang ini ketika mendengarkan Bahasa ammiyah meraka dongkol dan bergumam “Kita telah menelantarkan Bahasa Arab”. Padahal yang meggunakan Bahasa ammiyah adalah warga Arab, warganya sendiri, warga merasa lebih mudah menggunkan Bahasa ammiyah, maka kita tidak perlu kemudian mempersulit mereka dengan mewajibkan Bahasa fusha yang berbelit-belit dengan bermcam aturannya, padahal Bahasa itu sendiri adalah perantara yang bertujuan menyampaikan makna, untuk sampai kepada tujuan, tentu ada banyak cara, yang lebih mudah dan sebaliknya, tidak perlu mengharuskan cara lama untuk sampai ke tujuan yang sama, seperti sekarang ini kita memiliki kereta api yang mengantarkan ke tempat tujuan dengan lebih cepat, mengapa harus menggunakan transportasi kuno yang lebih lamban.[3]





[1] Muhammad Ali Najjar, Lughawiyyat wa akhta lughawiyyah syaiah, cet. Dar al hidayah, 1986, Hal. 40-44.
[2] http://www.wata.cc/forums/showthread.php?54809
[3] https://www.youtube.com/watch?v=ZXYm1Dc3WAw

Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons