Tentang Kesufian Imam Al Razi PART I





Sebagian orang mengklaim sufisme merupakan alternatif paling mujarrab dalam meniti karir kehambaan. Metodenya yang sunyi sepi seringkali diminati oleh orang yang lanjut usia sementara, pemuda atau yang masih bersemangat biasanya hanya menjadikan metode ini sebagai studi teoritis saja.

Para pendahulu biasanya diidentifikasi sebagai sufi ketika ia mengajarkan sufisme, menulis tentang sufi, atau paling tidak berperilaku aneh. Tokoh-tokoh puritan seperti Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Jauzi sepertinya tidak mungkin dikatakan seorang sufi, walaupun ia sendiri memiliki pendapat tentang sufisme.
Lalu pada tataran permukaan, nampak terjadi perebutan tokoh-tokoh. Pro dan kontra sufisme berlomba mengklaim beberapa tokoh untuk direkrut dalam kelompoknya.
Inilah yang terjadi terhadap sosok Al Razi. Raibnya tema-tema sufistik dalam karyanya membuat para pembenci sufi beranggapan bahwa ia bukanlah satu dari kelompok sufi. Al Razi meninggal tanpa mewariskan sedikitpun dari ajaran tersebut.
Di pihak yang berlawanan Nampak mulai menemukan ketidak-benaran argument lawan. Mereka berhasil menemukan materi-materi sufistik dalam beberapa karya Al Razi terutama, dalam karya terakhirnya tafsir al Kabir.
Pada akhirnya perebutan ini bukan sekedar rekrut tetapi, justifikasi dan falsifikasi keabsahan ajaran sufisme.
Terdapat lima mufasir yang di tampakan kesufiannnya atau lebih tepatnya menggunakan ajaran sufi tertentu untuk menjelaskan makna, atau kandungan sebagian ayat Al-Quran di dalam buku berjudul  al ittijah al sufi inda a’immati tafsir al quran” karya Dr Muhammad Abu Yazid Al Mahdi. Dan Al Razi adalah salah satu dari mereka. Al Mahdi menjelaskan bahwa, peralihan pribadi Al Razi dari yang sebelumnya mutakallim yang semangat mengelilingi negeri mencari lawan debat individu maupun kelompok  yang tidak sefaham dengannya menjadi seorang yang lebih tenang dan mengamalkan ajaran sufi, sampai-sampai ia mengucapkan pengakuannya yang terkenal “puluhan tahun aku mendalami filsafat tapi tetep saja tidak ku temui kebenaran tentang tuhan dan ternyata kebenaran itu ada di dalam al quran”. Hal ini di sebabkan pertemuannya dengan dua tokoh sufi, Abu Janab Al Kubra dan ibnu Arobi.
Pertemuannya dengan Al Kubra di abadikan oleh Ahmad Bin Musthofa Thasy Kubra Zarah, dalam kitab  miftah al sa’adah”. Meskipun terdapat sesuatu yang kurang enak di dengar dari kisah ini. Ahmad menuturkan bahwa suatu hari, ketika Al Razi mengunjungi Herat seperti biasanya ia di kunjungi oelah semua ulama dan penguasa yang ada di dalam negeri itu. Al Razi kemudian bertanya adakah yang belum sempat mengunjungi persinggahannya?. Dan beberapa orang membenarkan pertanyaan tersebut bahwa ada satu lelaki taat yang menyepi di gubuknya.
Sontak Al Razi berkata “ aku orang terhormat, aku pemimpin umat Islam, mengapa ia tidak mengunjungiku ?”
Masyarakatpun memberitakan hal itu kepada Al Kubra. Dia enggan untuk menanggapi tetapi masyarakat memaksa agar Al Kubra angkat bicara. Mereka membuat pesta yang puncak acaranya adalah perdebatan antara Al Razi dengan Al Kubra.
Ketika dua tokoh ini berjumpa, Al Razi bertanya “ mengapa kau tidak mengunjungiku ?” Al Kubra menjawab “ saya rakyat jelata, kedatanganku bukanlah hal mulia, keabsenankupun tidak mengurangi apapun.”
Al Razi mengerti bahwa ini jawaban sufistik maka iapun bertanya “ apa sebenarnya yang terjadi?” Al Kubra bertanya “ mengapa aku harus mengunjungimu?” Al Razi berkata “ aku ini adalah Imam, aku ini harus dihormati.
Al kubra: kebanggaanmu karena ilmu, dan ilmu yang paling adalah ma’rifatullah, maka bagaimana kau mengenalnya.
Al Razi: dengan ratusan bukti.
Al kubra: bukti untuk mengusir keraguan, sedangkan Allah telah menganugerahkanku cahaya, yang mencegah masuknya segala keraguan-keraguan dan tidak perlu kepada suatu bukti.
Perkataan itulah yang sangat berpengaruh pada al razi yang mentaubatkannya dan menggugah hatinya untuk menulis tafsir. Al Kubra menjadi gurunya, mursyidnya dalam tarekat Kubrawiyah, dan mengilhami penamaan “mafâtih al ghaib” sebagai isyarat terbukanya symbol-simbol dan rumus sufisme yang ia dapatkan.
Itulah kisah pertemua al Razi, dengan mursyidnya al Kubra yang meskipun meninggalkan kesan angkuh dan klimaks yang kurang memuaskan.
Adapun dengan Ibnu Arabi belum ada sejarah yang menuliskannya. Tetapi, Ibnu Arabi pernah berkirim surat pada al Razi guna mengajaknya meniti jalan sufisme. Disini saya akan menukil sebagian saja dari kandungn surat tersebut.\
Di dalam surat itu Ibnu Arabi memuji keistimewaan al Razi dalam berfikir dan studinya tentang alam semesta dan Tuhan. Tetapi, agar jangan sampai seseorang tersibukkan dengan ilmu-ilmu keduniaan, sehingga lupa dengan Tuhannya. Cara berfikir tentang Tuhan pun tidak boleh mengandalkan akal budi saja. Sesungguhnya terdapat perbedaan besar antara ilmu ketuhanan dan ilmu tentang keberadaan Tuhan. Akal hanya dapat mencapai Tuhan hanya pada aspek wujudnya, mengenal Tuhan dengan menegasikanNya bukan dengan menetapkanNya. Tuhan sangat mulia untuk dimengerti akal dengan semua teori dan pemikirannya. Oleh karena itulah, orang berakal harus mengosongkan hatinya dari pikiran-pikiran apabila ia ingin mengena Tuhan melalui musyahadah.
Orang yang ingin mengenal Tuhan tidak boleh bergantung pada orang fakir, segala sesuatu yang masih membutuhkan yang lain maka ia fakir dan inilah hakikat semua yang bukan Tuhan.


Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons