pertarungan dalam dunia pertafsiran
Barangkali semenjak lahirnya metode mutakallimin dalam mengkaji ketuhanan, berbagai sarjanawan muslim mulai mengadaptasi cara ini dalam mengkaji berbagai disiplin ilmu.
Di antara yang paling kentara misalnya adalah ilmu ushul fiqh yang jelas-jelas telah memilah metodenya kedalam dua yaitu metode Mutakallimin dan Metode para fuqaha. Perbedaan kedua metode tersebut terletak pada pokok kajian, mutakallimin yang mengedepankan teori sedangkan fuqaha mengedepankan praktek.
metode mutakallimin dalam bidang ushul fiqh dianggap telah berakhir dengan kepergian pemuka terakhirnya Imam al Asnawi dengan Kitabnya Nihayat al sul pada abad ke-18 Hijriah. kitab ini diklaim sebagai kitab ushul fiqh terakhir yang menggunakan metode mutakallimin dalam mengkaji ushul fiqh. sementara kitab-kitab ushul fiqh setelahnya sampai sekarang menggunakan sintesis kedua metode atau hanya menyelaraskan ungkapan klasik yang terasa sulit sehingga mudah dipahami.
Salah satu dari pelopor metode mutakallimin adalah Imam al Razi. Bahkan didalam segala tulisannya ia selalu menggunakan metode ini. di dalam Ushul fiqh ia terkenal dengan mahakaryanya al Mahsul. begitupula didalam tafsir ia terkenal dengan tafsir al Kabir, sebuah predikat untuk tafsir tersebut karena mencapai berjilid-jilid dalam membahas ensiklopedia al Qur'an.
Tafsir al Kabir tidak hanya mendapatkan pujian, ia bahkan mendapatkan penghinaan yang halus dan kritikan dari berbagai ulama. Sebagaimana yang sangat masyhur sekali dari lidah Ibnu Taimiyah fihi kulla syai'in illa tafsir, meskipun saya tidak tahu Ibnu Taimiyah menyebutkannya dalam kitabnya yang mana. Tetapi yang sangat kentara dalam tafsir al Kabir adalah kelemahannya dalam menangkal pemikiran-pemikiran lawan yang di anggap oleh penulisnya sesat, ia menjelaskan pemikiran-pemikiran lawannya dengan penguraian yang begitu detil dan amat kuat, lalu kemudian menjawab pemikiran tersebut jawaban yang berbelit-belit dan lemah. Di dalam mengkaji dua pemikiran yang berlawanan memang seharusnya penulis menguraikan pendapat-pendapat lawan seakan pendapat tersebut diamini oleh penulis sendiri, dan ini merupakan bukti keobjektifan penulis. Tetapi al Razi dari awal menulis tafsir al Kabir telah subjektif, ia menulis tafsir tersebut dengan tujuan memenangkan pemikiran-pemikiran Asy'ariah, menyerang pendapat-pendapat sekte lain terutama Mu'tazilah, dan dalam hal ini memadamkan hegemoni tafsir al Kassyaf yang ditulis oleh seorang mu'tazilah, al Zamakhsyari.
Salah satu dari perdebatan panjang yang ada dalam tafsir al Kabir mengenai iman orang kafir, apakah Tuhan menghendaki mereka beriman atau tetap dalam kekafiran mereka. ayat dalam surat al An'am (ما كانوا ليؤمنوا الا ان يشاء الله) menjadi perdebatan dalam masalah ini.
Muktazilah dalam paham Tuhan menginginkan yang terbaik buat umat manusia mengaskan bahwa Tuhan menghendaki keimanan dari orang-orang kafir. Dalam hal ini al Razi menukil pendapat yang dikatakan dedengkot Muktazilah, al Jubba'i. ia berkata: ayat ini menegaskan bahwa Tuhan menghendaki orang kafir beriman, karena: 1)jika Tuhan tidak menghendaki keimanan mereka, lantas mengapa ia memerintahkan hal tersebut. Jika Ia tidak memerintahkan mereka berarti mereka tidak wajib beriman. 2) jika Tuhan menghendaki kekafiran orang kafir maka orang kafir tersebut telah mentaati Tuhan dengan kekafirannya. karena ketaatan adalah melakukan apa yang dikehendaki. 3) jika Tuhan menghendaki kekafiran maka Ia boleh memerintahkan hal tersebut. 4) jika Tuhan menghendaki kekafiran mereka maka bolehlah Ia memerintahkan kita untuk menghendaki kekafiran mereka. Dengan bukti-bukti ini maka muktazilah yakin bahwa Tuhan menghendaki keimanan orang kafir. Tetapi ayat di atas secara literal tidak sependapat dengan bukti nalar yang telah dikemukakan , maka diperlukanlah penafsiran yang dapat mendamaikan kedua bukti tersebut. Yaitu Tuhan menghendaki keimanan yang mereka lakukan secara sukarela bukan yang dilakukan secara paksa.
Al Razi tidak menyetujui penafsiran muktazilah tersebut. Ia mempertanyakan maksud sebenarnya di balik istilah iman pilihan, jika yang maksudnya manusia mampu beriman atau memilih antara beriman dan tidak tanpa ada sebab yang pasatai maka ini sangat mustahil. Atau kemampuan ini harus memiliki sebab yang mengharuskan adanya iman, maka kedua hal tersebut (kemampuan+ sebab) telah memaksa pelaku/ seseorang untuk beriman, dan ini merupakan paksaan dalam iman.
Comments
Post a Comment