Mukjizat Saintifik Al Quran; antara Penafsiran dan Cocoklogi.


Anzuru Wahyan 


Tuntutan keilmuan yang diajukan kepada seorang kandidat penafsir mencakup berbagai bidang ilmu, sebab itulah sampai sejauh ini para penafsir yang kita temui hanya menitik beratkan pembacaannya pada disiplin ilmu tertentu. Al Zamakhsyari misalnya mengetengahkan elokuensi serta retorika penaskahan al Qur’an, atau al Qurthubi mengutamakan jurisprudensinya. Hal ini tentunya disebabkan realita keterbatasan pengetahuan yang dapat dimiliki manusia, atau tendensi beberapa individu terhadap disiplin tertentu. Satu-satunya tafsir yang mencoba menjelaskan seluruh aspek keilmuan yang dimuat dalam al Qur’an adalah Tafsir al kabir
buah karya Imam al Razi, walau menuai sejumlah kritik dari beberapa pemikir yang menuduhnya menggunakan metodologi tidak konsisten sehingga seringkali penafsirannya nampak tidak berkaitan sama sekali dengan ayat yang diteliti. Marak diperdengarkan bahwa tafsir tersebut mengandung seluruh disiplin ilmu kecuali tafsir.
Faktanya, walaupun sebagian besar buku-buku penafsiran tersebut mengetengahkan salah satu disiplin ilmu, hampir semua disiplin keilmuan --dalam territorial Islam tentunya—memiliki buku khusus yang mengelaborasi kandungan dalam susunan kalimat al Qur’an, hingga kerapkali memberi kesan bahwa tiada lagi disiplin yang perlu dikaji, problematika yang harus diteliti, atau ayat yang menunggu untuk ditafsirkan oleh generasi berikutnya. Perspektif semacam ini tidak dapat dipungkiri memiliki andil dalam mendegradasikan budaya intelektualisme Islam, baik di masa ini ataupun pada kurun-kurun sebelumnya, hingga pada akhirnya yang terjadi hanyalah proses pe-mumi-an ilmu, bukan mereproduksi dan mengembang-biak-kannya.
Sikap yang diambil dalam wacana keilmuan ini menjadikan hal-hal (baca; disiplin ilmu) baru ditolak dan disingkirkan jika ia dianggap menyeleweng atau menggunggat sakralitas dan konstanitas pemikiran klasik yang kita kenal sekarang sebagai al turats, padahal kenyataannya al turats ini sendiri merupakan buah pemikiran yang terlahir dalam ruang sejarah tertentu, yang terpanggil oleh kondisi zamannya, dan pada hakikatnya ia merupakan teori kritis yang belum dapat dipastikan sebagai suatu yang mutlak, yaitu kemutlakan dalam relevansinya di setiap ruang dan waktu. Oleh karena itu kritik turats bukan berarti merendahkannya tetapi merupakan upaya penyelarasan pemikiran klasik atau al turats dengan realita kekinian. Sebagaimana yang ingin dicapai Hasan Hanafi dalam projek turats wa tajdid (warisan dan pembaharuan), bahwa turats adalah garis start, dan tajdid merupakan reinterpretasi turats yang selaras dengan tuntutan kekinian. Turats adalah perantara dimana tajdid merupakan tujuan, yaitu ketika  turats turut serta merevolusi realita, menuntas problematika, menghapus segala alasan keterpurukan, dan membuka pakem-pakem yang mengunci pertumbuhannya. Maka nilai yang dimiliki turats hanya terletak pada sejauh manakah ia mampu mengemukakan teori ilmiah dalam menafsirkan kenyataan dan usaha mengembangkannya.[2]
Penolakan serupa juga terjadi pada jenis tafsir yang relatif baru dan marak diperbincangkan sekarang, suatu penafsiran yang mengetengahkan saintifik ilmiah dalam menjelaskan kalimat-kalimat al Qur’an, dan berusaha mencocokkan penemuan ilmiah dengan sejumlah ayat-ayat tertentu.
Penafsiran ini menurut penggelutnya tidak hanya menjadi reproduksi intelektual, tetapi ia merupakan upaya pembuktian kemukjizatan yang al Qur’an sandang, ia berusaha menampilkan mukjizat tersebut dengan menjelaskan bahwa al Qur’an jauh lebih dahulu menyinggung fakta-fakta saintifik yang ditemukan oleh para ilmuwan.
Urgensitas penerimaannya semakin kuat setelah menyadari realita ketidak-mampuan masyarakat Islam untuk meresapi (tadzawwuq) nilai sastra  dalam Sya’ir-sya’ir Masyarakat Arab Klasik (Jahiliah). Dr. Salim Abu Ashi mengatakan bahwa kemampuan meresapi ini telah lama hilang bahkan pada abad-abad pertama Hijiriah. Menurutnya sarjana-sarjana yang meneliti keindahan syair-syair tersebut menggunakan metode yang berbeda dalam meresapinya, mereka menggunakan penalaran dan metode ilmiah dalam menjelaskan elokuensi karya-karya sastra itu, karena  bakat meresapi melalui dzauq (perasaan) sudah jarang dimiliki. Hal ini disebabkan akulturasi antara Masyarakat Arab dan Non Arab (‘Ajam) melalui ekspansi Agama Islam ke negeri-negeri tetangga, secara tidak langsung masyarakat campuran ini telah melahirkan bahasa dan perspektif baru tentang kesusasteraannya.
Mukjizat al Qur’an merupakan misteri terbesar dalam sejarah budaya intelektual Islam, berbagai bentuk dedikasi penalaran disumbangkan dalam rangka mengungkap hakikat kemukjizatan tersebut. Pertanyaan seputar problematika ini tidak berujung karena setiap jawaban selalu mengundang pertanyaan baru. Hal ini disebabkan bentuk mukjizat yang ditampilkan al Qur’an sama sekali tidak sama dengan mukjizat-mukjizat lain, ketika mukjizat-mukjizat itu menampilkan fenomena yang merusak tatanan alam dan mustahil didatangkan manusia karena kejadian tersebut berada di luar kemampuannya, mukjizat yang diklaim al Qur’an berbentuk atau termuat dalam kata-katanya, yang mana kata-kata ini merupakan kata-kata dengan Bahasa sejenis dengan bahasa manusia teristimewakan Bahasa Arab.
Sejumlah cendekiawan dari berbagai penjuru sectarian pada masa-masa kejayaan Islam (abad pertengahan) mencoba mengungkap tabir tersebut dengan metodologi yang relative sama, yaitu metode mutakallimîn tetapi mampu melahirkan perspektif yang berbeda. Dari sejumlah sarjana yang terkemuka masing-masing memberikan jawaban yang berbeda terkait bentuk kemukjizatan al Qur’an. Dan tidak ada satupun perspektif tersebut selamat dari kritikan karena jawaban yang ia tawarkan tidak dapat diterapkan untuk semua ayat. Hingga sebuah teori dicetuskan oleh al Nadzam dan kemudian dielaborasi oleh al Jurjani, semua kalangan pemikir mengakui keabsahan teori tersebut, teori tentang al nadzm, susunan kalimat al Qur’an sebagai bentuk kemukjizatannya.
Pada masa-masa ini penafsiran saintifik al Qur’an belum termasuk dalam kategori varian kemukjizatannya, karena persektif sains dalam pembacaan al Qur’an baru muncul pada abad ketujuh Hijriah di tangan Imam al Razi (544-606 H). Beliau mengkodifikasi segala penemuan baru dalam bidang keilmuan pada masanya yang berkaitan dengan tafsir saintifik khsusunya astronomi dan fisika.
Perspektif saintifik dalam penafsiran tersebut tidak dapat diterapkan oleh imam al Razi dalam setiap ayat yang ada, karena pembacaan jenis ini hanya dapat diterapkan pada terma-terma yang berkaitan dengan alam.
Pada abad ke-14 Hijriah metode yang dimulai oleh imam al Razi tersebut dapat disempurnakan oleh Syaikh Thanthawi al Jauhari, dan diejawantahkan dalam seluruh ayat yang termuat dalam al Qur’an. Pada tahun 1350 H, untuk kedua kalinya tafsir seukuran 25 jilid tersebut dicetak oleh percetakan tertua di Mesir, percetakan al Halabi.
Metode yang dipergunakan al Jauhari adalah menerapkan teori-teori ilmiah yang berkembang pada zamannya dengan memanfaatkan similaritas dalam kedua subjek penelitian (ayat dan teori) sekecil apapun similaritas tersebut.
Cotohnya ketika al Jauhari menafsirkan ayat pertama dalam surat al Fatihah (bismillah), ia menyebutkan bentuk-bentuk karunia yang Tuhan berikan kepada berbagai hewan seperti lebah, semut, dan laba-laba tentang bagaimana mereka dapat bertahan hidup. dan ini semua merupakan Ilham dari Tuhan. Hal ini menurut al Jauhari juga terjadi pada para Nabi bahwa Tuhan mewahyukan kepada mereka untuk mengajarkan manusia cara memohon berkah-Nya dalam setiap laku yang mereka perbuat, yaitu dengan mengucap basmalah.
Lebih jauh metode penalaran ini menurut al Jauhari memiliki urgensitas yang tinggi bahkan lebih tinggi daripada mempelajari syariat. Hal ini karena ayat-ayat yang menyinggung syariat sangat terbatas sementara ayat-ayat yang menyinggung alam semesta mencapai 750 ayat. setiap madrasah pemikiran tidak akan bertentangan dalam memahaminya, mereka justeru berbeda pandangan ketika membaca ayat-ayat syariah. Hal ini karena ayat-ayat alam semesta (kauniah) bagaikan makanan sementara ayat-ayat syariah bagaikan obat. Tentunya dapat dibayangkan apabila manusia diberikan obat terus menerus maka ia akan over-dosis, tetapi tidak dengan makanan yang selalu dibutuhkan manusia. penganjuran al Qur’an untuk memahami alam semesta adalah satu-satunya yang membedakan agama Islam dengan agama-agama lain, karena ia satu-satunya cara merealisasikan ayat “liyudzhirahu ‘ala al dîni kullihi”.[3]
Penerapan metode ini memaksa al Jauhari untuk seringkali melenceng dari pembahasan karena penjelasan yang ia berikan sama sekali tidak berhubungan dengan leksikal ayat. tafsir al Jawahir memang berhasil mencetuskan perubahan bentuk tafsir tetapi gagal dalam mengejawantahkan nilai-nilai al Qur’an. Karyanya bahkan seringkali dianggap bukan penafsiran tetapi semacam ensiklopedia saintifik.
Untuk menanggulangi ketimpangan serupa maka dibentuklah kriteria tambahan dalam menafsirkan al Qur’an secara saintifik, kriteria-kriteria ini lahir dari kesadaran bahwa al Qur’an merupakan buku pedoman bukan kumpulan teori atau dokumen sejarah.
1.      Penafsiran al Qur’an tidak boleh didasari pada teori-teori yang belum teruji kebenarannya.
2.      Kajian mukjizat saintifik al Qur’an hanya disandingkan dengan fakta ilmiah.
3.      Tidak boleh mengabaikan literasi al Qur’an untuk menakwilnya dengan teori maupun fakta tersebut.[4]

Jadi mengapa syarat-syarat ini harus dibentuk?! Bukankah ia memberi kesan bahwa penafsir menunggu sebuah teori menjadi fakta lalu kemudian berusaha mencocokkannya dengan ayat-ayat tertentu!
Syarat-syarat ini diberlakukan karena pertama; pada dasarnya al Qur’an bukan kumpulan teori saintifik. Kedua; klaim kebenaran abadi al Qur’an akan memudar ketika ayat-ayatnya diinterpretasikan dengan teori-teori yang belum teruji, karena tidak ada yang dapat memastikan kebenaran teori tersebut di masa-masa mendatang. Ketiga; agar para penafsir tidak memaksakan kehendaknya dalam mencocokkan sebuah teori dengan ayat-ayat al Qur’an.
Dan benar, ketika seorang penafsir tidak mengindahkan syarat-syarat terrsebut maka penafsiran yang ia kelola sangat berpotensi cacat.
Mari kita lihat interpretasi yang digunakan Imam al Razi dalam tafsirnya yang sangat fenomenal, “Mafâtih al Ghaib” kunci dunia astral. Al Razi berpendapat bahwa firman Allah Swt.: “ja’ala lakumu’l ardha pirâsya” menjelaskan bahwa bumi ini diam. Menurutnya kata “pirâsy” atau hamparan dapat terjadi hanya ketika bumi itu diam atau tidak bergerak, karena ketika bumi bergerak maka gerakan tersebut akan terbatas pada dua bentuk, vertikal atau berputar, dan dua pergerakan tersebut mustahil. Karena ketika bumi bergerak vertical ke bawah (jatuh) misalnya, maka orang yang melompat dari ketinggian tidak akan pernah sampai ke Bumi, hal ini karena dua materi dengan bobot yang berbeda jika keduanya terjatuh mereka tidak akan bertemu. Begitupula ketika Bumi bergerak memutar, jika ia berputar ke barat misalnya maka orang yang berjalan ke timur tidak akan pernah sampai ke tujuan karena kedua materi melawan arus masing-masing.[5]
Baiklah, sampai disini bisa disimpulkan bahwa pendapat yang diamini Imam al Razi terkait bumi itu tidak dipergunakan lagi. Tetapi ada suatu hal yang menarik tentang ini, jika melihat periode dimana Imam al Razi hidup yaitu antara 1150-1210 Masehi, periode dimana perspektif geosentrisme sangat dominan, terutama di kalangan Gereja Kristen, anda mungkin berpikir bahwa sang Imam juga meyakini hal tersebut, padahal pemikirannya tentang alam semesta terlampau canggih jika dibandingkan kepicikan perspektif bahwa bumi merupakan pusat alam semesta dan tata surya adalah satu-satunya alam semesta.
Imam al Razi menentang gagasan geosentrisme yang galibnya diamini oleh filosop paripatetik pada abad pertengahan, hal ini karena bumi tidak lebih istimewa daripada planet-planet lainnya.[6] Al Razi terkait hal ini menggagas pendapat tentang multiverse sebelum Copernicus dan Giordano Bruno bahkan ilmuwan-ilmuwan modern yang mencanangkannya.
Dalam menfsirkan ayat “al hamdu lillâhi Rabbi’l ‘âlamîn” al Razi menjelaskan bahwa di luar alam semesta ini terdapat ruang yang tidak berujung (al khalâ’ lâ nihâyata lahâ), dan Allah Swt. terbukti mampu menciptakan segala hal yang mungkin, Ia kuasa untuk menciptakan berjuta alam semesta yang jauh lebih besar dari alam semesta yang kita ketahui, dan semua alam semesta itu memiliki tata suryanya sendiri.[7]




[1] Mahasiswa Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir.
[2] Dr. Hasan Hanafi, al turâts wa al tajdid, Al Muassasah al Jami’iyyah li al dirâsar wa al nasyr wa al tauzi’. Beirut, cet. Iv, 1992, hal 12.
[3] Lihat; Syaikh Thanthawi al Jauhari, al jawâhir fi tafsîri’il Qur’âni’l karîm; al musytamil ‘alâ ‘ajâ’ibi badâ’i’i’l mukawwanât wa gharâ’ibi’l bâhirât. Mushtafa al Babi al Halabi, Kairo, Mesir, Cet. II, 1350 H. Vol. i, hal. 7-8.
[4] Kriteria-kriteria ini dapa dilihat pada; Dr. Muhammad Sâlim Abu Ashi, lâ ya’tûna bimitslihi; dirâsah fî i’jâzi’l Qur’ân, Mathba’ah al Rasahwan, Kairo, Mesir, 2016, hal 180.
[5] Lihat; Imam Fakhruddin al Razi, Mafâtîhû’l Ghaîb, Maktabah al Taufiqiah, Kairo, Mesir, Vol. ii, hal 103-104.
[6] Lihat; ibid 104. Imam al Razi berkata: وخامسها: أن الأرض بالطبع تلب وسط الفلك، وهو قول أرسطو وأتباعه وهو ضعيف....الخ.
[7] Ibid. vol. i. hal 20.

Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons