Selayang Pandang Pemikiran Politik Plato
Kematian
Sokratez memberi pengaruh besar terhadap kehidupan intelektual Plato, seorang
aristokrat Athena yang sejatinya dikandidatkan menjadi politisi. ia justru
menjadi seorang Filosop yang Getol memikirkan hal-hal esensial, dan mengajarkan
metode rasional kepada peserta didiknya di dalam sebuah institusi pertama di
dunia, Akademi.
Kematian
Sokratez menyadarkan Plato bahwa satu-satunya prasyarat mutlak terwujudnya
keadilan dalam sebuah negara adalah dengan mendudukkan
filosop dalam kursi pemerintahan, atau dengan kata lain seorang pemerintah
merupakan sosok yang mampu berpikir filosopis. Karena hanya seorang filsuflah
yang mampu memahami makna-makna moralistik, dan mengejawantahkannya pada
tataran permukaan tanpa campur tangan ambisi tersembunyi yang galibnya ada
dalam diri manusia. Artinya seorang filosop melakukan kebaikan karena hal itu
baik, bukan karena pahala yang ia tawarkan, atau Karena ia merupakan perintah
dewa.
Kematian
Sokratez menyadarkan Plato bahwa seorang filosop tidak akan pernah menjadi
sosok yang bijak selama ia masih berada di dalam kota yang kejam, di dalam kota
ini ia hanya dapat menjadi Filosop, seorang yang mencari kebijaksanaan.
Tidak
dapat dipungkiri, bahwa kota yang menghukum mati Sokratez adalah perlambang
lembaga pemerintahan dan masyarakat yang zalim, bodoh, Dan terkungkung dalam
hukum rimba. Sokratez, seorang filsuf yang mencintai kotanya, Menghormati
dewa-dewa, salah satu tokoh yang paling bijak dan mulia, dihukum mati oleh
penduduk kotanya sendiri.
Walaupun
begitu, kematian tampaknya merupakan satu-satunya jalan paling terhormat bagi
Sokratez, ia tidak dapat menghindari takdir ini. Kematian tersebut takkan
menyatakan bahwa Sokratez bersalah, justru sebaliknya ia menjelaskan kebobrokan
pemerintahan dan masyarakat yang meliputinya.
Sokratez
harus mati sebagai martir karena ia tidak memiliki tempat lagi di dalam kota
tersebut. Dan kalaupun ia tidak mati, apakah ia harus lari keluar dari kota
hanya untuk mencari tempat aman dimana ia dapat berkontemplasi dengan tenang?
Padahal kemanapun destinasinya sesungguhnya ia masih diburon oleh kezaliman
lain. Tidak hanya itu, seorang filsuf meskipun fisiknya terdiam di suatu
tempat, tetapi akal budinya melayang jauh Ke berbagai tempat menjangkau ruang
dan waktu, menganalisa angkasa, Dan mengungkap esensi-esensi segala hal
partikular dan universal.
Seorang
filosop merupakan orang asing di kotanya sendiri, bahkan di seluruh kota
lainnya karena ia merupakan warga di dalam Kerajaan Akal budi, warga alam
semesta. Kematian merupakan satu-satunya solusi yang mungkin bagi seorang
filosop. Herodotus mengatakan bahwa kota manusia sudah rusak dengan berbagai
bentuk pemerintahannya, monarki, aristokrat, atau demokrasi semuanya tidak
mampu menuntaskan masalah kekuasaan sewenang-wenang.
Kalau
begitu, apakah yang harus dilakukan oleh orang yang tidak dapat tinggal di
sebuah kota tetapi juga tidak dapat keluar darinya? Satu-satunya cara adalah dengan memperbaiki kota
tersebut. hal ini tentu menciptakan simbiosis mutualisme bagi kota tersebut dan
sang filsuf. Karena kota yang menghukum seorang seperti Sokrates hanyasanya
merupakan kota yang buruk. Kota itu keji karena ia tidak mampu mengemban
keadilan. Kota itu bodoh karena ia tidak mampu mengayomi seorang yang memiliki
pengetahuan yang mampu menunjukkan kebobrokannya.
Lalu siapa lagi yang mampu memperbaiki
kota keji dan bodoh kecuali dia yang memiliki pengetahuan, dia seorang filsup.
Tetapi pengetahuan saja tidak tidak cukup untuk untuk memeperbaikinya, maka dibutuhkan
pula kekuasaan. Sokrates adalah contoh tidak terpenuhinya kedua hal tersebut.
Pemikiran bahwa seorang filsup harus
menjadi pemerintah merupakan gagasan utama yang ditulis Plato dalam “Republik”.
Terma ini muncul perama kali lewat buku tersebut. Dan semenjak kematian
Sokrates nampaknya pemikiran tersebut mendapat posisi penting dalam pemikiran
Plato.
Problematika politis memainkan peran
penting dalam filsafat Plato. Hal ini tidak mengherankan karena warga Yunani,
teristimewakan Athena tidak akan pernah mampu mengenyampingkan urusan tersebut.
Masyarakat Yunani percaya kalau partisipasi seseorang dalam politik merupakan
keistimewaan orang merdeka, menurut mereka hal itu adalah keistimewaan yang
membedakan mereka dari bangsa Barbar. Selain itu tidak ada komunitas yang
memperhatikan politik seperti warga Yunani yang telah mencoba segala bentuk
pemerintahan yang dapat dibayangkan manusia, tetapi belum saja puas dengan itu.
Mereka satu-satunya komunitas kuno yang berhasil meletakkan pondasi-pondasi pilsafat
politik.
Sampai sini mungkin kita
bertanya-tanya, lalu mengapa Plato tidak menjadi politisi saja padahal itu
sangat mungkin baginya? Plato menyadari bahwa ia hidup dimana kejahatan telah
menyebar luas. Ia takkan mampu berbuat apapun terhadap komunitas yang telah
dibentuk sebelumnya, dirusak oleh kota dan sistem pendidikan yang mereka
terima. Maka dari itu perlulah mencari titik tolak masalah tersebut, yaitu
memperbaiki kota dengan memperbaiki sistim pendidikannya.
Para penguasa yang memerintah pada masa
Plato merupakan didikan kaum Shopis yang memandang segala sesuatu dari
perspektif enaknya saja. Pada waktu itu diberlakukan sebuah kebijakan yang
menyatakan bahwa filsafat sekedar produk budaya saja, oleh karena itu para
filsuf harus menjauh dari segala bentuk aktivitas politik yang mana mereka
tidak mampu melakukannya.
Kaum Shopis dan pendidikan moral
politik
Kritik atas kaum Shopis merupakan
salah satu agenda besar dalam mayoritas tulisan Plato. Menurutnya seorang
Shopis adalah dia yang mengajarkan disiplin moral, kesuksekan, dan kesenangan
pribadi. Yang memungkiri adanya makna yang tekandung pada kebenaran dan
kebaikan objektif. Pendidikan sophistic membentuk orator publik, gambaran semu
seorang politikus sejati, seoranag yang mampu memimpin masyarakat dengan
argument yang tidak berlandaskan ilmu pengertahuan. Bagaimana ia mampu
mengetahuinya padahal ia tidak mengetahui apapun, ia mengkerdilkan pengetahuan
dan meragukan eksistensinya, ia hanya melihat hal-hal material saja.
Menurut Plato kezaliman dan shopistik
adalah kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Karena keadilan menurut kaum Shopis adalah keistimewaan orang kuat.
Menurut mereka negara hanyalah kelaliman yang tertata rapi, ia ditata untuk
memberikan manfaat kepada penguasa dengan seluruh kekuasan dan pengaruhnya.
Peraturan sendiri, keadilan dan moral, hanyalah terma yang dikenal sebagai
realita hegemonial dan perbudakan yang ada di dalam kota.
Trasimakhos, seorang Sophis, berkata
bahwa baik kota dengan sistem pemerintahan despotik, demokrasai ataupun
aristocrat meskipun Nampak berbeda tetapi semuanya menunjukkan bahwa oknum
terkuat di dalam suatu kota adalah yang berkuasa. Bahkan, semua undang-undang
diberlkaukan hanyalah untuk kepentingan penguasa, yang mana undang-undang
tersebut kemudian dilabeli cap adil bagi masyarakat, maka bagi mereka yang
menentang peraturan tersebut telah melanggar keadilan. Kalau begitu keadilan
berarti yang bermanfaat bagi kebijakan penguasa. jika keadilan merupakan
manfaat bagi mereka yang kuat. Dan kezaliman lebih mulia daripada keadilan,
karena kezaliman lebih bermanfaat dalam kehiduplan.
Jika kehidupan hanyalah konflik maka
orang yang adil adalah orang yang berjiwa lemah, oleh karena itu ia akan
mendapatkan posisi terendah. Jika kezaliman sistematis merupakan factor yang
membentuk esensi negara, maka sistem pemerintahan despotik merupakan gambaran
paripurna suatu kezaliman yang dapat merealisasikan kemuliaan dalam hidup
manusia, setidaknya kebahagiaan penguasa dalam sistem pemerintahan tersebut.
Negara Filsosofis
Dalam
“Republik” Plato memberikan gambaran tentang “negara ideal,” yaitu suatu negara
bayangan dan ideal, atau yang kita namakan negara Utopis. Plato percaya negara
hendaknya diperintah oleh para filosof. Dia mendasarkan penjelasannya ini pada
susunan tubuh manusia.
Menurut
Plato, tubuh manusia terdiri dari tiga bagian: kepala, dada, dan perut. Untuk
etiap bagian ini ada bagian jiwa yang terkait. Akal terletak di kepala, kehendak terletak di dada, dan nafsu
terletak di perut.
Masing-masing dari bagian jiwa ini juga memiliki cita-cita, atau “kebajikan.”
Akan mencita-citakan kebijaksanaan, Kehendak mencita-citakan keberanian,
dan Nafsu harus dikekang sehingga kesopanan dapat ditegakkan. Hanya
jika ketiga bagian itu berfungsi bersama sebagai suatu kesatuan sajalah maka
kita dapat menjadi seorang individu yang selaras atau “berbudi luhur.” Di
sekolah, seorang anak pertama-tama harus belajar untuk mengendalikan nafsu
mereka, lalu ia harus mengembangkan keberanian, dan akhirnya akal akan
menuntunnya menuju kebijaksanaan.
Plato membayangkan sebuah negara yang
dibangun dengan cara persis seperti tubuh manusia yang terdiri dari tiga bagian
itu. Jika tubuh mempunyai kepala, dada, dan perut, maka Negara mempunya pemimpin,
pembantu, dan pekerja. Plato menggunakan ilmu pengobatan Yunani sebagai
model. Sebagaimana manusia yang sehar dan selaras mempertahankan keseimbangan
dan kesederhanaan, baegitu pula negara yang “baik” ditandai dengan adanya
kesadaran setiap orang akan tempat mereka dalam keseluruhan gambar itu.
Seperti setiap aspek dari filsafat
Plato, filsafat politiknya ditandai dengan rasionalisme. Terciptanya
negara yang baik tergantung apakah negara itu diperintah oleh akal. Sebagaimana
kepala mengatr tubuh, maka para filosoflah yang harus mengatur masyarakat.
Marajik
Alexander Coure, Madkhal li qirâti
aflâthun, Hai’ah Ammah al Mishriyyah.
Jostein Gardner, Dunia Shopie.
Comments
Post a Comment