Omar Khayyam; Sufi Yang Terdistorsi
Aku tak
bisa hidup tanpa anggur,
Tanpa
cangkir penuh dengan anggur,
aku tak
mampu membawa tubuhku
Aku
hamba sang nafas yang dikatakan Saki (Pemabuk)
"Minumlah
secangkir lagi" -- tapi aku tak bisa
Maraknya penistaan
atas sufi kerapkali dilatari oleh kedangkalan dalam memaknai ungkapan-ungkapan
mistis mereka, pembacaan literal melahirkan interpretasi yang jauh dari
kehendak objektif, hermeunetika subjektif memaksakan kehendak pembaca yang ada,
sebab itu, seringkali pembaca merasa lebih pintar dan mampu menghukumi pemilik
ungkapan.
Dalam sejarahnya,
sufi-sufi yang berpikiran eksentrik seringkali menjadi sorotan public dan
mengalami akhir yang nahas, sebagian mereka dibunuh lantaran dianggap ajarannya
akan menyesatkan masyarakat, dan sebagian lagi dikucilkan dan dipaksa untuk
menelan kembali pemikiran nyelenehnya. Padahal, derajat kesufian sendiri tidak
akan mereka dapatkan kecuali setelah menguasai dimensi-dimensi syari’at,
filsafat, bahkan sains yang menciptakan dunia modern. Sufi bukanlah mereka yang
langsung menyelami sufisme tanpa bekal-bekal tersebut, dan pemerhati sufi yang
baik adalah mereka yang telah memahami hal-hal tersebut.
Pada tahun 1859, untuk
pertama kalinya kwartrin Omar Khayyam “ruba’iyyât al Khayyam” diterjemahkan
ke dalam Bahasa Inggris dan dipublikasikan oleh seorang orientalis bernama
Fitzelgard. Terjemahan kwartrinnya ini pada awalnya tidak mendapat banyak
apresiasi, jika bukan karena Rosseti yang kemudian menulis resensi atas
terjemahan tersebut dan memaparkan nilai serta kedudukannya di antara literatur
sastra lainnya, terjemahan tersebut sudah dipastikan punah. Tidak lama setelah
itu, terjemahan Fitzelgard mendapat apresiasi yang begitu besar sampai beberapa
individu rela merogoh kocek membayar dua puluh poundsterling tetapi tidak
menemukan satupun Salinan terjemahan tersebut, sehingga kemudian terjemahan
tersebut dicetak ulang dan dipublikasikan kembali. Fitzelgard telah berhasil
merepresentasikan Omar Khayyam yang diklaim sebagai tokoh marjinal dan
terlupakan semasa hidup dan sepeninggalnya.
Omar Khayyam lahir di
Nisyapur pada tahun 1050 Masehi dari seorang ayah yang bekerja sebagai tukang
tenda. Pada waktu itu Nisyapur merupakan kota masyhur yang melahirkan
penyair-penyair besar seperti farid al din al Atthâr penulis “manthiq al
thair”, Jalal al din al Rumi, Jâmi, dan Hâtifi. Nama aslinya adalah
Giyats al Din Abu’l Fath Umar bin Ibrahim al Khayyam. Sebagian peneliti
berpendapat bahwa “al Khayyâm” pembuat tenda merupakan mata pencaharian
ayahnya, dan sebagian lain berpendapat bahwa nama tersebut dipilih Omar sebagai
julukan untuk seorang penyair yang rendah hati dan bersahaja, berbeda dengan al
Atthar dan al Firdausi dan penyair lainnya yang menggunakan julukan
berwibawa.
Pada masa hidupnya, ia
terkenal sebagai seorang matematikawan dan astronom yang memperhitungkan
bagaimana mengoreksi kalender Persia. Pada 15 Maret 1079, Sultan Jalaluddin
Maliksyah Saljuqi (1072-1092) memberlakukan kalender yang telah diperbaiki Omar,
seperti yang dilakukan oleh Julius Caesar di Eropa pada tahun 46 SM dengan
koreksi terhadap Sosigenes, dan yang dilakukan oleh Paus Gregorius XIII pada
Februari 1552 dengan kalender yang telah diperbaiki Aloysius Lilius (meskipun
Britania Raya baru beralih dari Kalender Julian kepada kalender Gregorian pada
1751, dan Rusia baru melakukannya pada 1918). (Wikipedia: Umar Khayyam)
Selain menjadi ilmuwan,
Omar merupakan seorang sufi dan filsuf yang pandai menggubah syair, Kwartrinnya
merupakan bukti perjalanan spiritual sang sufi. Untuk memahami teori-teori
filosofisnya diperlukan pengetahuan tentang sosio-kultur yang meliputi
kehidupan Omar.
Masa dimana Omar hidup
merupakan fase meluasnya budaya sufistik, ditambah lagi maraknya para pengaku
sufi yang gemar menampilkan bid’ah. Omar yang memiliki kepandaian dalam
mengidentifikasi para peniru tersebut kerapkali mengkritik perilaku mereka yang
pada akhirnya memaksa mereka untuk menuduh Omar kafir. Setidaknya inilah salah
satu pendapat sebagian penerjemah Omar.
Profesor Cowell yang
telah memperkenalkan Omar kepada FitzGerald menemukan kandungan Sufistik dalam
karya Omar setelah berbagai diskusinya dengan sarjana-sarjana India asal
Persia. Beberapa pakar Barat tidak mengungkapkan kandungan Sufi dalam karya
Omar. Sementara Pendeta Dr. T.H. Weir, seorang ahli sastra Arab (Khayyam
menulis karyanya dalam bahasa Persia), menulis sebuah buku tentang Omar yang di
dalamnya menyatakan dengan sangat jelas persoalan ini. "Yang benar
adalah," katanya (dalam Omar Khayyam the Poet), "tidak mungkin seorang
(sarjana) membaca enam baris syair Omar tanpa melihat bahwa tidak ada
mistisisine di dalamnya, apalagi dalam Burns." Namun ia tidak menjelaskan:
apa jenis mistisisme yang diacunya, bagaimana ia mengidentifikasikannya. FitzGerald
sendiri merasa kebingungan terhadap pribadi Omar. Ia kadangkala mengangap Omar
sebagai Sufi, namun terkadang bukan. Padahal ia sendiri telah memahami sebagian
besar pemikiran Sufi. Heron-Allen, sarjana yang telah menganalisa secara sangat
seksama, menunjukkan bahwa bahan-bahan yang oleh banyak orang dianggap hasil
racikan FitzGerald, acapkali berasal dari penyair Persia lainnya. Para
pengarang Persia ini, yaitu para Sufi: Aththar, Hafizh, Sa'di dan Jami, adalah
para penyair yang sejak Chaucer sangat berpengaruh di kalangan penulis Inggris.
(Idries Shah; Mahkota Sufi)
Ada dua factor yang
membuat banyaknya penisbatan palsu atas syair-syair dalam Kwatrin Omar, pertama;
Seperti pemikir lainnya, Omar memiliki pendukung yang membelanya, dan musuh
yang senantiasa menentangnya. Para pendukung inilah yang kemudian menyelipkan
syair-syair buatan ke dalam Kwartrin dan menyematkannya kepada Omar meskipun
Syair-syair tersebut sejalan dengan pemikirannya yang mengajarkan asketisme dan
peribadatan, sementara musuh-musuhnya mengarang syair-syair kemaksiatan yang
kemudian disematkan kepada Omar seperti kecintaannya terhadap dunia dan minuman
keras. Kedua; para penukil Kwartrin mendapat bayaran lumayan untuk
setiap kwartrin-kwartrin yang mereka tulis. Ketamakan pada gaji membuat mereka
melebih-lebihkan hal-hal yang tidak pernah ada. Teori ini sangat logis melihat
Salinan Kwartrin yang ditulis dengan indah dan hiasan mewah, hal yang wajar
mengingat para pemiliknya merupakan pejabat-pejabat pemerintahan yang hidup
pada zaman Omar ataupun sestelahnya.
Omar bisa jadi
kerapkah dipahami di Timur maupun Barat sedemikian rupa. Yang sangat
mengkhawatirkan adalah begitu banyak mahasiswa Muslim yang berbahasa Inggris di
India terlampau meminati Khayyam dari terjemahan FitzGerald itu. Namun
setidaknya seorang teolog Muslim telah mengedarkan suatu peringatan. Dalam The
Explanation of Khayyam (Molvi Khanzada, Lahore, 1929), sebuah pamflet yang
beredar luas, ia telah berusaha sebisa mungkin membawa masalah itu ke dalam
perspektifnya sendiri. Pertama ia membuktikan, dan bukan tanpa alasan, bahwa
FitzGerald sebenarnya tidak mengetahui bahasa Persia dengan baik. Kedua, ia
menegaskan bahwa Cowell juga tidak tahu bahasa Persia dengan baik (tulisan
mereka berdua seperti cakar ayam, seperti tulisan anak kecil). Orang yang ingin
mengkaji Khayyam pertama kali seharusnya mempelajari bahasa Persia, bukan
bahasa Inggris. Bahkan sebelum mengkaji Khayyam, ia harus mampu memahami
dasar-dasar Islam secukupnya sebelum memasuki materi pelik seperti Sufisme.
Akhirnya, Khayyam merupakan sebuah istilah generik yang diterapkan para Sufi
sebagai suatu metode pengajaran, yang bila dikaji sendiri tanpa mengacu pada kitab-kitab
lain dan tanpa bimbingan seorang guru pasti akan menyesatkan. (Idries Shah;
Mahkota Sufi)
Profesor Browne salah
seorang pakar sastra Persia berkebangsaan Inggris dan pengarang buku Literary
History of Persia mengutip sebuah dongeng dari penyair Sufi ini, menurutnya
dongeng ini membuktikan bahwa Omar percaya pada reinkarnasi.
Konon Omar melewati
sebuah padepokan tua di Nisyapur beserta sekelompok muridnya. Sekelompok
keledai masuk ke dalamnya dengan membawa batu-bata untuk perbaikan bangunan
itu. Namun salah satunya enggan melewati pintu gerbangnya. Omar melihat
peristiwa ini lalu tersenyum dan menaiki keledai itu sambil melantunkan sebuah
syair secara spontan beikut ini
Wahai orang yang telah
pergi dari kembali,
Namamu telah hilang di
antara nama-nama lain.
Kuku-kukumu telah
berubah menjadi kuku keledai ini:
Janggutmu, ekormu,
kini sangat berbeda.
Keledai pandir itu
kini leluasa memasuki halaman padepokan. Dengan kebingungan, muridnya bertanya,
"Wahai orang Bijak, apa maksudnya ini?"
"Jiwa yang kini
ada di dalam keledai itu adalah jiwa dari tubuh seorang guru di padepokan ini.
Tentu saja ia enggan masuk ke dalamnya sebagai seekor keledai. Kemudian, dengan
menunjukkan bahwa ia diakui sebagai seorang guru, maka ia pasti masuk ke lingkungan
ini."
Namun Omar bukan
sedang (sebagaimana dikira kalangan eksternalis) menunjukkan bahwa beberapa
unsur entitas manusia dapat masuk ke dalam tubuh makhluk hidup yang lain, dan
juga tidak untuk mengambil suatu kesempatan menandingi skolastisisme gersang di
zamannya, ataupun sedang menunjukkan bahwa ia mempengaruhi keledai dengan syair
itu.
Jika ia tidak
menunjukkan apa-apa di hadapan muridnya, tidak melontarkan sebuah gurauan,
bukan melakukan suatu perbuatan misterius, tidak berkhotbah tentang suatu bentuk
reinkarnasi dan menggubahnya secara esensial, lalu apa yang dilakukannya?
Ia sedang melakukan
apa yang biasa dilakukan oleh guru Sufi -- memberikan pengaruh kompleks demi
kebaikan murid, membiarkan mereka melibatkan diri ketika menyertai seorang guru
melalui sebuah pengalaman komprehensif. Ini adalah suatu bentuk komunikasi
demonstratif yang hanya dikenal oleh mereka yang telah mengalami pahit getir
latihan sebuah madzhab Sufi. Proses itu diuraikan dengan pemahaman dalam suatu
upaya menghubungkannya dengan peristiwa tunggal, bahkan peristiwa ganda, untuk
tujuan rasional, namun arti tujuan rasional ini dilepaskan.
Murid mempelajari
melalui metode itu dan tidak mungkin disampaikan dengan metode lain mana pun.
Mereproduksinya dengan cara tertentu, kecuali menambahsebuah peringatan dengan
mencoba menunjukkan karakter khusus. Situasi ini setidaknya akan tampak kabur
bagi kebanyakan pengamat serius.
Meskipun telah diakui
secara umum bahwa Khayyam adalah seorang penyair yang tidak mendapat
penghargaan di negerinya sendiri sampai diperkenalkan kembali melalui apresiasi
terjemahan FitzGerald di Barat, ini pun tidak sepenuhnya akurat. Adalah benar
bahwa Khayyam tidak memperoleh penghargaan seuniversal Sa'di, Hafizh, Rumi dan
penyair Sufi lainnya. Pekerjaan mengumpulkan syair-syair yang disampaikan atas
namanya memang berbeda. Masih diragukan bahwa orang meneliti apakah ada di
antara para Sufi yang memperhatikan Omar. Harus diakui, meskipun telah ada
penyelidikan, hanya sebagian kecil di antara mereka yang telah peduli untuk
membahas masalah ini sebagai pengamat. (Idries Shah; Mahkota Sufi)
Comments
Post a Comment