METAFORA PARA USHULIYYIN DALAM PENGAJIAN DR. ABD AL SALAM AL ‘ATIQ

In nomine Patris et saecolus saecolorum.  Sebenarnya tulisan ini diperuntukkan buat memory saya untuk segala hal yang dapat saya ingat dari salah satu pengajian mingguan yang di adakan Mudhayafah Syeikh Isma’il Adawy yang diisi oleh Dr. Abd al Salam al ‘Atiq menggunakan karya imam Zakaria al Anshari Ghâyatu’l Wushûl terkait kajian Ushul Fiqh.
Dari ketiga puluh empat pengajian tersebut hanya sekitar empat pertemuan yang dapat saya hadiri. Hal ini karena berbagai alasan dan masa transisi yang tak kunjung selesai.

Dalam sesi kali ini paragraf-paragraf yang diterangkan oleh Dr. Abd al Salam (selanjutnya dipanggil Ustaz) sejatinya merupakan episode terakhir dalam sebuah tema besar, tema tentang metafora atau majas dan metode para Ushuliyyin membahasnya.
Pembahasan ini cukup luas karena buku ini sendiri mengkaji majas dari semua sisi permasalahannya. Bentuk, kriteria, identifikasi, dan ketika suatu majas kontra dengan arti hakiki. Nah yang terakhir itulah yang menjadi pembahasan kali ini.
Apa yang terjadi ketika sebuah majas bertentangan dengan arti sebenarnya? Dan manakah yang harus kita prioritaskan?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu kita mengetahui dalam kondisi apakah kedua hal tersebut kontradiksi?
Semua kalimat memiliki makna hakiki yang tersirat secara otomatis di dalam pemahaman ketika ia diketahui baik melaui tulisan atau percakapan. Tetapi ada suatu kondisi dimana makna tersebut terdistorsi kepada makna baru yang memang memiliki sangkut-paut dengan makna aslinya. Terdistorsinya makna hakiki ini tidak akan terjadi kecuali terdapat subjek yang menyebabkan ia terjadi. Subjek ini bernama Qarinah, mungkin dapat diterjemahkan sebagai konteks jatuhnya kata. Dengan adanya qarinah ini maka memaknai kalimat secara hakiki tidak mungkin memberikan pemahaman yang jelas atau rasional. Contoh yang paling terkenal misalnya “Saya melihat singa sedang berpidato di depan warga.” Kalimat seperti ini jika dimaknai secara literal tidak akan memberi pemahaman rasional karena seekor singa tidak mungkin berpidato. Satu-satunya makhluk yang dapat berpidato adalah manusia. jadi, kalimat ini menggambarkan keberanian seseorang dalam berpidato seperti keberanian yang dimiliki singa. Sifat keberanian ini disebut dengan ‘Alâqah atau hubungan maknawiah antara makna hakiki dengan makna majazi.
Permisalan majas di atas merupakan contoh yang sangat kontras dan mudah untuk dibedakan karena disini pemaknaan secara literal tidak mmeungkinkan. Tetapi bagaimana dengan beberapa kalimat yang sering digunakan masyarakat, atau disebut ‘urf dalam Ushul Fiqh, memiliki dua arti (majas dan hakiki) yang dapat dipahami.
Hanyasaja dalam pengajian ini jenis kalimat atau ungkapan seperti itu seringkali dipergunakan oleh masyarakat untuk mengacu pada arti majasnya. Misalnya sepertil yang tertera di dalam Kitab, sumpah seseorang bahwa dia takkan minum dari air sungai (misalnya) Nil, tanpa disertai niat secara spesifik makna manakah yang ia kehendaki. Karena minum dari air sungai sendiri memilikli dua makna, pertama makna literal yaitu dengan meletakkan mulutnya pada air sungai dan meminumnya langsung, dan makna metafor yang menjadi pemahaman umum, yaitu meminum air sungai dengan menggunakan gelas atau alat bantu lainnya.
Dalam kondisi seperti ini makna manakah yang harus diprioritaskan? Imam Zakaria sendiri berpendapat bahwa dalam kondisi ini kedua makna harus dipakai karena kedua makna memiliki kekuatan sebanding. Makna literal kuat karena originalitas atau sejatinya kalimat tersebut dibentuk untuk menyatakan makna literal, sementara makna metaphor juga kuat lantaran maraknya pemakaian masyarakat dalam mengutarakan arti. Artinya, orang yang bersumpah dengan ungkapan seperti ini dikenai hukuman pelanggaran sumpah dari segi makna manapun ia melakukan perbuatannya, dalam hal ini meminum air sungai.
Mengapa ini bisa terjadi padahal ia tidak berniat? Karena justeru ketiadaan niat inilah yang menggeneralisir konsekuensi sumpahnya. Padahal jika ia berniat secara spesifik maka konsekuensi hanya diperuntukkan pada objek atau makna mana yang ia niatkan.
Tetapi apabila makna literal tidak dipergunakan lagi maka dalam kondisi seperti ini makna metaphor diprioritaskan. Seperti seseorang yang bersumpah tidak akan makan dari pohon kurma ini. Maka sumpahnya hanya jatuh pada buahnya saja. Karena batang dan daunnya tidak termasuk dalam pohon dalam perspektif pemakaian masyarakat ketika mengungkapkan seseorang memakan pohon.
Masalah seperti ini muncul juga di dalam ungkapan Qur’anistik. Terdapat ayat yang memiliki dualism makna dan dipergunakan dalam konteks yang berbeda. Sebagian ulama dalam menyikapi perihal ini mengamini kedua makna yang dikandung ayat, dan sebagian lainnya hanya mengakui makna majazinya.
Dalam kondisi dimana suatu pasangan tidak menemukan air untuk mensucikan hadas besarnya, maka ia diperbolehkan menggunakan debu. Hal ini merupakan keputusan konvensional ulama (ijma’) dalam menyikapi hal tersebut. mereka berdalih dengan ayat “aw lâmastum al nisâ” melalui pemaknaan majazi pada kata lâmastum atau menyentuh. Pemaknaan majazinya adalah melakukan hubungan badan. Ijma’ disini juga sekaligus merupakan qarinah yang dapat memproduksi makna metafora.
Pemaknaan metaphor pada ayat ini dalam konteks pasangan yang kehilangan air merupakan ijma’ semua ulama atau sekte fikih. Tetapi pesoalan mengenai apakah makna literal ayat ini tetap dipakai merupakan objek kontroversial. Sarjanawan Hanafiah tidak mengakui makna literalnya dan tetap meyakini makna metaphor. Sementara ulama Syafi’iah mengamini kedua makna tersebut. artinya, dengan menyentuh saja yang merupakan makna literal seseorang telah membatalkan wudhu’nya.

Kinâyah dan Ta’rîdh
Selain majaz terdapat ungkapan yang tidak hanya menginginkan makna literal tetapi makna yang ada dibaliknya. Tidak seperti majaz ungkapan ini dikategorikan sebagai makna hakiki karena ia tidak mengungkap makna yang beda melalui qarinah dan ‘alâqah seperti yang dilakukan majaz.
Kinayah misalnya mengungkapkan makna literal, ungkapan kinayah mengungkapkan arti yang sama dengan literasinya, hanyasaja ungkapan tersebut memiliki konsekuensi lebih jauh yang ditimbulkan oleh ungkapan kinayah. Konsekuensi inilah yang membuat arti lebih jauh dari ungkapan aslinya pada kinayah.
Orang yang memiliki banyak abu misalnya. Ungkapan ini artinya sesuai dengan literasinya hanyasaja konsekuesni yang ia timbulkan adalah asal usul kedatangan abu tersebut. Abu ini berasal dari kayu, kayu yang telah dibakar, kayu ini dibakar untuk memasak, masakan ini dihidangkan kepada tamu, hidangan ini menunjukkan betapa dermawan penyajinya. Maka ungkapan banyaknya arang merupakan perlambang atau kinayah dermawannya seseorang. 
Ungkapan menggunakan arang menjadi sangat kondang untuk melambangkan kedermawanan dalam bentuk apapun. Bahkan ketika tidak ada arang sama sekali, ketika kedermawanan dalam bentuk bukan hidangan, atau ketika hidangan yang dimasak tidak memakai arang.
Sedangkan Ta’ridh merupakan ungkapan hakiki pula tetapi ia menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Dan pengungkapan atas maknanya membutuhkan pemikiran yang dalam pula.
Seperti sabda Ibrahim kepada kaumnya bahwa berhala terbesar inilah yang telah merusak berhala-berhala mungil lainnya.
Ungkapan ini bermakna demikian, tetapi ada makna yang lebih tinggi jika dipikirkan yaitu berhala-berhala tersebut tidak pantas disembah dan dijunjung tinggi.


Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons