Metamorfosa Kesaktian al Qur’an[1]



Anzuru Wahyan Q[2]

Dalam menegaskan status kenabian seseorang, Tuhan menampakkan sebuah fenomena yang mustahil dilakukan oleh manusia manapun, akal sehat dalam menafsirkannya mengakui bahwa fenomena semacam itu tidak lain kecuali perbuatan Tuhan, dan di kemudian hari manusia mulai mengistilahkan fenomena ini dengan Mukjizat, suatu peristiwa yang dapat merusak tatanan alam.


Istilah mukjizat kemudian sampai sekarang dikenal sebagai peristiwa aneh yang hanya dilakukan oleh para nabi, padahal dalam sejarahnya terma ini tidak pernah dipergunakan untuk mengacu kepada hal tersebut baik oleh al Qur’an, atau Nabi Saw. sendiri, bahkan para sahabat dan tabi’in. Ini dapat dibuktikan dengan melihat ketiadaan terma ini baik dalam al Qur’an, hadits, dan tulisan-tulisan sarjanawan muslim di abad abad pertama hijiriyah.., sebaliknya mereka menggunakan istilah berbeda yaitu ‘al âyah’. Konsekuensinya di abad-abad kemudian kedua istilah tersebut menyatu dalam arti dan membentuk sebuah sinonim.

Kajian mengenai sejarah muncul dan penyatuan makna kedua terma tersebut merupakan hal yang urgen dalam mempelajari dinamika sarjana-sarjana muslim dalam memahami bentuk ke-mukjizat-an al Qur’an, dan membentuk disiplin ilmu tentangnya.

Pada abad ketiga istilah mukjizat tiba-tiba dipakai dan dipergunakan secara luas bahkan sampai sekarang untuk menjelaskan fenomena aneh yang hanya dapat dilakukan seorang nabi. dari segi derivasinya dalam Bahasa Arab mukjizat berasal dari kata “a’jaza-yu’jizu-i’jâzan”  yang berarti melemahkan, mukjizat berarti suatu hal yang ingin dikerjakan oleh seseorang tetapi ia tidak mampu mewujudkan hal tersebut, dalam keadaan ini ia telah putus asa untuk melakukan apa yang diinginkan.

Ketika terma mukjizat dikaitkan dengan makna yang diacu terma ‘al âyah’ atau tanda-tanda kenabian seseorang, maka mukjizat nabi dapat diartikan sebagai tanda yang dapat mengungkap ketidak-mampuan manusia, dan yang menyia-nyiakan segala daya upaya mereka dalam mendatangkan kejadian yang serupa dengan yang telah dilakukan oleh seorang nabi.

Jika menilik karya sastra masyarakat Arab Jahiliah yang dapat ditemukan sekarang ini, tidak ditemukan satupun sya’ir  maupun prosa yang memuat terma ‘âyat al anbiyâ’ (tanda-tanda kenabian) yang mengacu pada makna mukjizat. Menurut Syeikh Mahmud Syakir hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa mereka mengetahui makna mukjizat yang dituju oleh terma ‘al âyat’, hal ini dapat dibuktikan dengan menelusuri makna-makna yang dituju kata ‘al âyat’.

Kata ‘al âyat’ dalam sya’ir-sya’ir maupun percakapan masyarakat Arab klasik (jahiliah) setidaknya memiliki Sembilan makna:[3] 1) dapat berarti tanda-tanda (al ‘alâmah) inderawi yang menunjukkan sesuatu yang belum diketahui. 2) dapat berarti barang-barang dan lukisan yang terdapat dalam rumah-rumah. 3) bangunan tinggi yang dimanfaatkan sebagai petunjuk. 4) fisik seseorang yang dilihat dari kejauhan yang menunjukkan bahwa ia manusia. 5) sesuatu yang memicu nostalgia. 6) sesuatu yang menunjukkan bahwa apa yang dikatakan oleh seseorang meruapakan hal yang benar dan telah terjadi. 7) kelompok yang nampak tengah bersafari. 8) ajaran (risalah) yang dibawa seorang rasul, yang kemudian diajarkan. Hal ini menandakan profesi dan status kenabiannya. 9) berarti cerita (al qissah).

Makna-makna yang dapat ditunjukkan dengan meminjam kata ‘al âyat’ tersebut menurut Syeikh Syakir menegaskan bahwa masyarakat Arab klasik ketika mendengar bahwa sesesorang melakukan sesuatu yang dengan melihatnya saja dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan perbuatan manusia atau makhluk lainnya maka masyarakat tersebut akan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ‘al âyat’, suatu hal yang menandakan bahwa pelakunya utusan Tuhan.[4]

Terma Mukjizat berkaitan erat dengan terma ‘al tahaddî’ atau tantangan. Nabi Saw. menantang kaumnya untuk mendatangkan mukjizat serupa dengan yang Beliau Saw. miliki. Terma ‘al tahaddî’ nampaknya juga merupakan kata yang terlahir pada abad ketiga hijiryah dalam buku hujaj al nubuwwah karya al Jahidz (150-255 H).

Secara bahasa kata ‘al tahaddî’ dipakai ketika seseorang melakukan sesuatu dengan tujuan melawan atau mengalahkan lawannya, dan menunjukkan kedigdayaan yang ia miliki dengan harapan lawannya tidak sanggup mengalakahnnya atau mendatangkan hal serupa. Sementara ‘al tahaddî’ yang dimaksud dalam konteks mukjizat al Qur’an adalah ketika seseorang melakukan sesuatu dengan tujuan menunjukkan ketidak-mampuan lawan karena sang pelaku sangat yakin bahwa lawannya tidak sanggup melakukannya. Karena seorang nabi menampilkan mukjizat bukan untuk belaga atau mengalahkan musuhnya, karena ia tahu dari awal bahwa musuhnya tidak mampu melakukan hal serupa.[5]

Terma ‘al tahaddî’ seringkali dikaitkan dengan mukjizat karena para mutakallimin menjadikan “ketidak-mampuan” lawan sebagai syarat terwujudnya mukjizat.[6] Padahal ketidak-mampuan yang dihadapi kaum nabi-nabi terdahulu dan ketidak-mampuan masyarakat arab di hadapan al Qur’an jelas berbeda, karena bentuk mukjizat para nabi terdahulu berbeda dengan bentuk mukjizat al Qur’an, karena mukjizat nabi terdahulu sama sekali tidak sejenis dengan perbuatan manusia manapun, sementara al Qur’an termasuk dalam jenis kata yang dipergunakan manusia teristimewakan masyarakat Arab. Jadi, ketidak mampuan kaum nabi terdahulu di hadapan mukjizatnya tidak muncul dari upaya untuk mendatangkan hal serupa, karena sejak awal ia mengetahui ketidak-mampuannya atas hal tersebut karena telah keluar dari jangkauan kemampuan manusia., hal ini sangat berbeda dengan al Qur’an, ia merupakan kata-kata yang memakai Bahasa manusia, oleh karena itu adanya upaya untuk menyerang atau menyamainya sangat mungkin, meskipun pada akhirnya upaya tersebut gagal.

Jika seperti ini apakah al Qur’an dapat dikategorikan sebagai mukjizat? Pemikir-pemikir Mu’tazilah pusing dengan pertanyaan ini, paham mereka tentang kemakhlukkan al Qur’an semakin menambah akutnya permasalahan, al Qur’an merupakah makhluk yang diciptakan Allah Swt. yang diperdengarkan kepada masyarakat Arab menggunakan Bahasa manusia, 

Dalam kasus ini teori-teori yang berkaitan dengan mukjizat nabi-nabi terdahulu tidak dapat dipergunakan karena al Qur’an kehilangan kriteria mukjizat yang otomatis melumpuhkan manusia sekali ia mendengarnya.![7]

Tokoh yang pertama kali mencari jawaban atas ketimpangan ini diprakarsai oleh dua pemikir Mutazilah; Abu Ishaq al Nadzzam, dan Abu Utsman al Jahidz. Padahal ketimpangan itu dibuat oleh mereka sendiri ketika menjadikan ‘ketidak-mampuan’ sebagai syarat terwujudnya mukjizat. Untuk itu mereka kemudian mencari sebuah solusi atas bentuk mukjizat yang tertanam di dalam al Qur’an, yang dapat membuktikan keabsahan kriteria yang mereka terapkan untuk mukjizat, baik mukjizat al Qur’an atau mukjizat nabi-nabi lainnya.

setelah melakukan beberapa penelitian atas ayat-ayat al Qur’an yang menuturkan tantangannya kepada masyarakat Arab untuk mendatangkan kata-kata yang serupa dengannya, dan fakta sejarah tentang ketidak-mampuan mereka untuk memenuhi tantangan, sehingga perang menurut mereka merupakan jalan terbaik., al Nadzam dan al Jahidz menggagas sebuah paham yang diharapkan mampu menegaskan kriteria yang mereka terapkan untuk mukjizat, serta menambali ke-keroposan kriteria tersebut., teori itu bernama ‘al Sharfah’ (distraksi/pengalihan).

Deskripsi pengejawantahan gagasan ‘al Sharfah’ dapat ditinjau dengan menyamakan al Qur’an dengan mukjizat lainnya, ketidak-mampuan yang ditampilkan oleh mukjizat nabi-nabi terdauhulu tertanam dalam diri manusia, dan menjadi kemampuan istimewa Tuhan. Ketika mukjizat sejenis diperlihatkan, penontonnya secara otomatis menemukan ketidak-mampuan dalam diri untuk melakukan mukjizat serupa.

Dalam kasus al Qur’an, yang merupakan mukjizat Nabi Saw., ketidak-mampuan yang sama dengan yang diperlihatkan mukjizat lain harus ada pada al Qur’an, karena ketidak-mampuan ini merupakan kriteria sebuah mukjizat. Artinya, ketidak-mampuan tersebut harus ada ketika manusia menyaksikan al Qur’an. Akan tetapi kriteria tersebut dalam kasus al Qur’an sangat membingungkan, hal ini karena al Qur’an terbentuk dari kata-kata berbahsa Arab, sementara masyarakat Arab bahkan seluruh manusia mampu membentuk kata-kata. Artinya, sangat mustahil bagi manusia yang menyaksikan al Qur’an menemukan ketidak-mampuan yang tertanam dalam dirinya karena sebab yang tadi.

Faktanya, meski dengan adanya kemustahilan tersebut, ketidak-mampuan tetap saja terjadi. Masyarakat Arab bahkan seluruh makhluk baik jin dan manusia tidak mampu mendatangkan kata-kata serupa. (al isra’: 88)

Menurut al Nadzam dan al Jahidz, misteri mukjizat al Qur’an hanya dapat diterangkan dengan sebuah jawaban yaitu ‘al Sharfah’, Tuhan melumpuhkan kemaampuan manusia untuk menandingi al Qur’an ketika ada upaya menandinginya atau ketika al Qur’an diturunkan. . . Jadi, terdapat dua bentuk ketidak-mampuan; ketidak mampuan yang tertanam dalam diri manusia bahkan sebelum mukjizat ditampilkan, seperti mukjizat terdahulu. Dan ketidak-mampuan yang ditanamkan ketika al Qur’an diturunkan.

Solusi atas problematika mukjizat al Qur’an yang ditawarkan ‘al Sharfah’ ternyata memiliki kelemahan yang juga menimbulkan ketimpangan yang baru, hal ini karena al Qur’an tidak lagi merupakan mukjizat karena mukjizat telah dipindahkan kepada ‘al Sharfah’., parahnya lagi, konsekuensi pengejawantahan gagasan ‘al Sharfah’ sejatinya merupakan pengakuan atas adanya penipuan yang dilakukan Tuhan, bagaimana tidak, tantangan yang Tuhan tawarkan kepada masyarakat Arab untuk mendatangkan kata-kata serupa terlihat dapat dipenuhi, padahal hakikatnya Tuhan telah menutup kemungkinan terpenuhinya tantangan tersebut secara paksa dan tak dapat dihindari, masyarakat Arab semenjak awal tidak memiliki kemampuan karena telah dilumpuhkan.[8]

Al Jahidz salah satu penggagas ‘al Sharfah’ menyadari kelemahan gagasan ini dan ketimpangan yang ditimbulkanya, karena selain konsekuensi di atas, gagasan ‘al Sharfah’ telah merendahkan susunan kata-kata al Qur’an. Artinya, susunan tersebut tidak memiliki arti sama sekali.

Bahkan al Jahidz juga menyadari bahwa gagasan ‘al Sharfah’ yang diprakarsai al Nadzam Sahabatnya tidak lagi bertujuan menyingkap misteri kemukjizatan al Qur’an, ia hanya dipergunakan sebagai retorika shopistik dalam perdebatan para mutakallimin. Oleh karena itu, al Jahidz sebagai seorang yang memiliki dzauq (cita-rasa) yang tinggi dalam sastra berusaha menegaskan martabat yang dimiliki susunan al Qur’an. Al Jahidz menulis sebuah buku berjudul al ihtijâj li al nadzmi al Qur’an, wa salâmatuhu min al ziyadah wa al nuqshan sebagai penolakan terhadap mereka yang yakin atas kebenaran al Qur’an tetapi menganggap susunannya tidak berarti apa-apa, dan tidak membuktikan kemukjizatan al Qur’an.

Dengan ini al Qur’an telah memiliki dua bentuk mukjizat yang kontradiksi satu sama lain, artinya seseorang tidak mungkin mengharmoniskan kedua bentuk mukjizat, dan ia harus mengamini salah satu saja. Mukjizat pertama adalah ‘al Sharfah’, dan mukjizat kedua adalah susunan al Qur’an yang tidak dapat ditiru oleh masyarakat Arab atau makhluk lainnya, mukjizat itu bernama ‘al nadzm’.

Al jahidz dapat dikatakan tokoh yang pertama kali menggagas teori ‘al nadzm’ sebagai bentuk mukjizat al Qur’an yang lebih memuaskan, hal ini dapat diketahui dengan ketidak-puasannya terhadap legalitas ‘al Sharfah’, dan dedikasinya dalam menjelaskan suatu hal yang sangat ganjil, yang sangat sulit untuk dijelaskan, tetapi dapat dirasakan dalam hati. Untuk menerangkan perasaannya, al Jahidz melahirkan terma-terma baru yang tidak pernah dipakai sebelumnya untuk menjelaskan mukjizat al Qur’an. Terma-terma seperti; nadzmu al qur’an (susunan al Qur’an), badi’u al tarkib (keindahan susunan), gharîb al ta’lif (pengolahan kata yang tidak mainstream), memuat banyak makna dalam kalimat yang ringkas, dst.  Al jahidz menegaskan bahwa keindahan susunan kalimat al Qur’an lah yang menunjukkan kemukjizatan tersebut, jika masyarakat Arab dimintai untuk mendatangkan yang serrpa dengan surat al Qur’an yang paling pendek, mereka tidak akan mampu memenuhi permintaan tersebut.[9]

Hal yang perlu diperhatikan dalam tulisan al Jahidz, meski telah mengusung gagasan ‘al nadzm’ al Jahidz tidak mengangkat balaghah (retorika) sebagai salah satu bentuk kemukjizatan yang tidak dapat ditandingi masyarakat Arab, padahal al Jahidz seringkali menyebut retorika para penyair dan sastrawan Arab.[10]

Sepeninggal al Jahidz (255 H), gagasan mengenai balaghah al Qur’an sebagai salah satu bentuk kemukjizatannya muncul di tangan seorang ahli kalam Mutazilah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al Wâsithy (306 H) setelah Beliau mempelajari setiap perkataan yang dimuat al Jahidz dalam bukunya tentang ‘al nadzm’, al Washiti lah yang tercatat pertama kali menjuduli bukunya dengan ‘i’jâz al Qur’an’ (mukjizat al Qur’an). Selain itu al Wasithy juga tokoh yang menggunakan terma mukjizat yang mengacu pada tanda-tanda kenabian ‘al âyah’.[11] Tidak banyak yang dapat dikatakan tentang gagasan al Wasithy karena bukunya tersebut menghilang sebagaimana yang terjadi pada buku al Jahidz.

Gagasan balaghah telah diprakarsai al Wasithy dapat dibuktikan dengan munculnya Abu Hasan Ali bin Isa al Rummânî, pemikir baru yang menulis buku berjudul ‘nukatun fî i’jâzi’l Qur’ân’. Dalam bukunya Beliau menyebutkan bentuk-bentuk kemukjizatan al Qur’an, dan membentangkan tema balaghah sebagai salah satu bentuknya yang istimewa. Menurutnya, al Qur’an merupakan bentuk balaghah tertinggi yang pernah ada, susunan kata-katanya dapat melumpuhkan kemampuan setiap manusia, sebagaimana puisi-puisi para penyair dapat melumpuhkan orang biasa. Balaghah sendiri memiliki sepuluh bentuk; îjâz, tasybîh, isti’ârah, talâ’um, fawâshil, tajânus, tashrîf, tadhmîn, mubâlaaghah, husnu’l bayân.[12]

Keistimewaan yang dimiliki gagasan Balaghah tidak membuatnya terlahir tanpa cacat, ia masih diliputi ambiguitas yang menyamarkan kejelasannya. Kritik atas keasbahan Balaghah diterangkan pertama kali oleh Abu Sulaiman Hamdun bin Muhammad bin Ibrahim al Khattabî al Bastî, pemikir Sunni yang lahir pada tahun 319 H meninggal pada tahun 388 H, dalam bukunya ‘bayân fî i’jâzi’l qur’ân’. Al Khattabi mengatakan bahwa Balaghah yang dianggap salah satu bentuk mukjizat tersebut sangat tidak jelas, jika mereka yang menegaskan keabsahan itu ditanya mengenai hakikat Balaghah al Qur’an, yang diistimewakan untuknya, dan mampu melumpuhkan seluruh makhluk hidup itu, para pemikir itu akan menjawab; Balagah itu tidak mungkin digambarkan dengan gambaran yang dapat menjelaskan perbedaan Balaghah al Qur’an dengan balaghah lainnya, hanyasjaa para pemikir dapat merasakan sebuah bentuk yang berbeda tetapi tidak bisa digambarkan. Kajian ilmiah mungkin tidak dapat menjelaskan Balaghah ini tetapi ia dapat dirasakan. Karena kadangkala perasaan dapat menilai keindahan yang lebih pada salah satu dari dua kata-kata indah tanpa mengetahui alasan mengapa ia memilihnya.[13]

Selain al Khattabi dan al Rummani terdapat pemikir lain yang mengakaji mukjizat al Qur’an pada abad keempat Hijriyah, Abu Bakar Muhammad bin al Thayyib bin Muhammad al Baqilani menulis buku berjudul ‘i’jâzu’l Qur’ân’. Metode yang dipergunakan al Baqilani tidak berbeda dengan metode para mutakallimin secara umum, yaitu seringkali memasuki perdebatan yang tidak berujung dalam hal-hal teoritis, akan tetapi dalam upaya penegasan Balaghah sebagai bentuk mukjizat al Qur’an, al Baqilani seringkali menggunakan metode intuisi (tazawwuq) yang biasa dilakukan para sastarawan., nampaknya al Baqilani sangat yakin akan keabsahan gagasan Balaghah, walaupun Beliau mengkritik klasifikasi al Rummani terhadap sepuluh bentuk balaghah. Keyakinannya ini menyiratkan seakan al Baqilani tidak pernah sekalipun menyentuh tulisan al Khattabi tentang mukjizat al Qur’an, walaupun pengakuannya bahwa Beliau pernah membaca seluruh tulisan terkait yang pernah ada.[14]
Abad keempaat Hijriyah merupakan masa suburnya budaya intelektual Islam, pada abad ini pemikir yang terkenal membahas kemukjizatan al Qur’an tidak hanya Tiga Tokoh yang telah disesbutkan, nampaknya terdapat pemikir lain beraliran Muktazilah yang berdedikasi mengakumulasi semua karya intelektual pendahulunya, pemikir itu bernama Abdul Jabbar bin Ahmad bin Abdul Jabbar al Hamdani. Beliau menulis sebuah ensiklopedia keilmuan Muktazilah dalam bukunya ‘al mughnî’, buku ini juga memuat sebuah tema terkait ‘khalqu’l qur’ân’ (kemakhlukan al Qur’an), dan masalah ‘i’jâzu’l Qur’ân’ (mukjizat al Qur’an.)[15]

Ada suatu hal yang menarik dalam pemikiran Muktazilah tentang bagaimana tema kemakhlukan al Qur’an dan kemukjizataannya dapat berkaitan dan saling menguatkan. Muktazilah yang menyatakan kemakhlukkan al Qur’an meyakaini bahwa status ini merupakan syarat terwujudnya kemukjizatannya, bahkan syarat ini berlaku untuk mukjizat lainnya. Hal ini dikarenakan suatu mukjizat tidak mungkin merapakan suatu hal yang ‘qadim’, karena ketika ia ‘qadim’ maka mukjizat tersebut lebih dulu ada ketimbang tujuan ia diperlihatkan, dan ketika itu pula ia tidak dapat diperuntukkan pada tujuan tertentu.[16]

Bahkan, terdapat alasan lain yang dipergunakan muktazilah dalam pembuktian mukjizat, dipergunakan oleh sekte lain sampai sekarang untuk menjelaskan tujuan huruf-huruf muqatha’ah dalam pembuka beberapa surat al Qur’an. Huruf-huruf ini merupakan penjelasan atas tantangan mendatangai ayat serupa al Qur’an, bahwa al Qur’an terbentuk dari huruf-huruf tersebut, huruf-huruf yang sangat dikenal Masayarakat Arab, akan tetapi tetap saja mereka tidak mampu memenuhi tantangan.[17]

Adapun paham mengenai kemampuan Masyarakat Arab untuk mendatangkan ayat serupa tetapi dilumpuhkan, menurut Imam al Razi bukanlah akidah mayoritas penganut Muktazilah, ia hanya pendapat Abu Musa al Mirdad, al Nadzzam dan pengikutnya.[18]

Penutup

Tulisan ini tidak sejatinya tidak dapat mewakilkan buku Syaikh Mahmud Syakir, madâkhil i’jâzi’l Qur’ân. Akan tetapi setidaknya dapat disimpulkan bahwa Syaikh Syakir ingin membentangkan empat masalah besar; sejarah munculnya disiplin ilmu kemukjizatan al Qur’an semenjak al Naddzam sampai Abdul Qaahir al Jurjani, metode yang dipakai al Jurjani dalam menjelaskan kemukjizatan tersebut, tuduhan terhadap autentisitas syair-syair jahiliah, dan tujuan ditulisnya buku Malik bin Nabi, al dzâhiratu’l Qur’aniyah.

Buku Malik bin Nabi tersebut menurut Syaikh Syakir tidak mengejawantahkan bukti-bukti ataupun bentuk-bentuk kemukjizatan al Qur’an, akan tetapi ia berusaha menegaskan autentisitas kenabian Rasulullah Saw. melalui penalaran psikologi yang sangat mendalam, dan membuktikan bahwa al Qur’an merupakan wahyu Tuhan. Oleh karena itu perlu diketahui pula bahwasanya kenabian Rasulullah tidak membuktikan kemukjizatan al Qur’an, sebaliknya kemukjizatan al Qur’anlah yang membuktikan kenabian Rasulullah Saw.

Terkait syair-syair jahiliah, akan sangat mustahil mengetahui bentuk kemukjizatan al Qur’an yang termuat dalam susunannya, atau lebih tepat membuktikan keabsahan bentuk kemukjizatan susunan atau ‘al nadzm’ ini, jika tidak memanfaatkan penghayatan atas syair-syair tersebut. ketika syair-syari tersebut sudah diakui, bagaimana mungkin membktikan kemukjizatan tersebut. karena keunggulan bahsa yang termuat dalam syair-syair ini merupakan kebanggaan tersendiri bagai masyarakat Arab pada umumnya, karena itulah lmereka didatangkan sebuah mukjizat dalam bentuk yang sangat mereka kenali, yaitu mukjizat dalam bentuk kata-kata.

Hal ini menunjukkan bahwa mukjizat yang ingin ditampilkan al Qur’an bukanlah varian yang dikatakan sebagai berita ghaib, ilmiah saintifik, atau al sharfah karena meskipun bentuk-bentuk tersebaut membuktikan kebersumberan al Qur’an dari Tuhan, ia tidak membuktikan bahwa susunan kata-katanya berbeda dengan susunan kata-kata makhluk lainnya.[19]





[1] rangkuman ditulis pada hari Jumat-13-Januari, 2017. Di  daerah Mikawi, Ghamra. Dari buku Dr. Mahmud Syakir, madâkhil i’jâzi’l Qur’ân, ceta. ii mathbaah al madani, Mesir, 2014.
[2] Mahasiswa tamhidi I, strata II, fak. Tafsir, jur. Ushuluddin, univ. al Azhar Kairo.
[3] Lihat: 126-130
[4] 132
[5] 22
[6] 38
[7] 40
[8] 56-60
[9] 76
[10] 76
[11] 77
[12] 79-80.
[13] 83.
[14] 84-87.
[15] 88
[16] Lihat; Dr. Mahmud Kamil Ahmad, “mafhûm al ‘adli fî tafsir al mu’tazilah li al Qur’an al karîm, cet. Dar al Nahdah al ‘Arabiah, Bierut Lebanon, 1983. Hal. 281.

[17] lihat; ibid. 281-282.
[18] Ibid. 279. Lihat pula al Razi, al arba’în, . hal 183.
[19] Hal. 163.

Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons