Metamorfosa Kesaktian al Qur’an[1]
Anzuru
Wahyan Q[2]
Dalam menegaskan
status kenabian seseorang, Tuhan menampakkan sebuah fenomena yang mustahil dilakukan
oleh manusia manapun, akal sehat dalam menafsirkannya mengakui bahwa fenomena
semacam itu tidak lain kecuali perbuatan Tuhan, dan di kemudian hari manusia
mulai mengistilahkan fenomena ini dengan Mukjizat, suatu peristiwa yang dapat
merusak tatanan alam.
Istilah mukjizat
kemudian sampai sekarang dikenal sebagai peristiwa aneh yang hanya dilakukan
oleh para nabi, padahal dalam sejarahnya terma ini tidak pernah dipergunakan
untuk mengacu kepada hal tersebut baik oleh al Qur’an, atau Nabi Saw. sendiri,
bahkan para sahabat dan tabi’in. Ini dapat dibuktikan dengan melihat ketiadaan
terma ini baik dalam al Qur’an, hadits, dan tulisan-tulisan sarjanawan muslim
di abad abad pertama hijiriyah.., sebaliknya mereka menggunakan istilah berbeda
yaitu ‘al âyah’. Konsekuensinya di abad-abad kemudian kedua istilah
tersebut menyatu dalam arti dan membentuk sebuah sinonim.
Kajian mengenai
sejarah muncul dan penyatuan makna kedua terma tersebut merupakan hal yang
urgen dalam mempelajari dinamika sarjana-sarjana muslim dalam memahami bentuk
ke-mukjizat-an al Qur’an, dan membentuk disiplin ilmu tentangnya.
Pada abad ketiga
istilah mukjizat tiba-tiba dipakai dan dipergunakan secara luas bahkan sampai
sekarang untuk menjelaskan fenomena aneh yang hanya dapat dilakukan seorang
nabi. dari segi derivasinya dalam Bahasa Arab mukjizat berasal dari kata “a’jaza-yu’jizu-i’jâzan” yang berarti melemahkan, mukjizat berarti
suatu hal yang ingin dikerjakan oleh seseorang tetapi ia tidak mampu mewujudkan
hal tersebut, dalam keadaan ini ia telah putus asa untuk melakukan apa yang
diinginkan.
Ketika terma
mukjizat dikaitkan dengan makna yang diacu terma ‘al âyah’ atau
tanda-tanda kenabian seseorang, maka mukjizat nabi dapat diartikan sebagai
tanda yang dapat mengungkap ketidak-mampuan manusia, dan yang menyia-nyiakan segala
daya upaya mereka dalam mendatangkan kejadian yang serupa dengan yang telah
dilakukan oleh seorang nabi.
Jika menilik karya
sastra masyarakat Arab Jahiliah yang dapat ditemukan sekarang ini, tidak
ditemukan satupun sya’ir maupun prosa
yang memuat terma ‘âyat al anbiyâ’ (tanda-tanda kenabian) yang mengacu
pada makna mukjizat. Menurut Syeikh Mahmud Syakir hal ini tidak menutup
kemungkinan bahwa mereka mengetahui makna mukjizat yang dituju oleh terma ‘al
âyat’, hal ini dapat dibuktikan dengan menelusuri makna-makna yang dituju
kata ‘al âyat’.
Kata ‘al âyat’ dalam
sya’ir-sya’ir maupun percakapan masyarakat Arab klasik (jahiliah) setidaknya
memiliki Sembilan makna:[3]
1) dapat berarti tanda-tanda (al ‘alâmah) inderawi yang
menunjukkan sesuatu yang belum diketahui. 2) dapat berarti barang-barang dan
lukisan yang terdapat dalam rumah-rumah. 3) bangunan tinggi yang dimanfaatkan
sebagai petunjuk. 4) fisik seseorang yang dilihat dari kejauhan yang
menunjukkan bahwa ia manusia. 5) sesuatu yang memicu nostalgia. 6) sesuatu yang
menunjukkan bahwa apa yang dikatakan oleh seseorang meruapakan hal yang benar
dan telah terjadi. 7) kelompok yang nampak tengah bersafari. 8) ajaran (risalah)
yang dibawa seorang rasul, yang kemudian diajarkan. Hal ini menandakan
profesi dan status kenabiannya. 9) berarti cerita (al qissah).
Makna-makna yang
dapat ditunjukkan dengan meminjam kata ‘al âyat’ tersebut menurut Syeikh
Syakir menegaskan bahwa masyarakat Arab klasik ketika mendengar bahwa
sesesorang melakukan sesuatu yang dengan melihatnya saja dapat membuktikan
bahwa hal tersebut bukan perbuatan manusia atau makhluk lainnya maka masyarakat
tersebut akan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan ‘al âyat’, suatu
hal yang menandakan bahwa pelakunya utusan Tuhan.[4]
Terma Mukjizat
berkaitan erat dengan terma ‘al tahaddî’ atau tantangan. Nabi
Saw. menantang kaumnya untuk mendatangkan mukjizat serupa dengan yang Beliau
Saw. miliki. Terma ‘al tahaddî’ nampaknya juga merupakan kata
yang terlahir pada abad ketiga hijiryah dalam buku hujaj al nubuwwah karya
al Jahidz (150-255 H).
Secara bahasa kata ‘al
tahaddî’ dipakai ketika seseorang melakukan sesuatu dengan tujuan
melawan atau mengalahkan lawannya, dan menunjukkan kedigdayaan yang ia miliki
dengan harapan lawannya tidak sanggup mengalakahnnya atau mendatangkan hal
serupa. Sementara ‘al tahaddî’ yang dimaksud dalam konteks
mukjizat al Qur’an adalah ketika seseorang melakukan sesuatu dengan tujuan
menunjukkan ketidak-mampuan lawan karena sang pelaku sangat yakin bahwa
lawannya tidak sanggup melakukannya. Karena seorang nabi menampilkan mukjizat
bukan untuk belaga atau mengalahkan musuhnya, karena ia tahu dari awal bahwa
musuhnya tidak mampu melakukan hal serupa.[5]
Terma ‘al tahaddî’
seringkali dikaitkan dengan mukjizat karena para mutakallimin menjadikan
“ketidak-mampuan” lawan sebagai syarat terwujudnya mukjizat.[6]
Padahal ketidak-mampuan yang dihadapi kaum nabi-nabi terdahulu dan
ketidak-mampuan masyarakat arab di hadapan al Qur’an jelas berbeda, karena
bentuk mukjizat para nabi terdahulu berbeda dengan bentuk mukjizat al Qur’an,
karena mukjizat nabi terdahulu sama sekali tidak sejenis dengan perbuatan
manusia manapun, sementara al Qur’an termasuk dalam jenis kata yang
dipergunakan manusia teristimewakan masyarakat Arab. Jadi, ketidak mampuan kaum
nabi terdahulu di hadapan mukjizatnya tidak muncul dari upaya untuk mendatangkan
hal serupa, karena sejak awal ia mengetahui ketidak-mampuannya atas hal
tersebut karena telah keluar dari jangkauan kemampuan manusia., hal ini sangat
berbeda dengan al Qur’an, ia merupakan kata-kata yang memakai Bahasa manusia,
oleh karena itu adanya upaya untuk menyerang atau menyamainya sangat mungkin,
meskipun pada akhirnya upaya tersebut gagal.
Jika seperti ini
apakah al Qur’an dapat dikategorikan sebagai mukjizat? Pemikir-pemikir
Mu’tazilah pusing dengan pertanyaan ini, paham mereka tentang kemakhlukkan al
Qur’an semakin menambah akutnya permasalahan, al Qur’an merupakah makhluk yang
diciptakan Allah Swt. yang diperdengarkan kepada masyarakat Arab menggunakan
Bahasa manusia,
Dalam kasus ini
teori-teori yang berkaitan dengan mukjizat nabi-nabi terdahulu tidak dapat
dipergunakan karena al Qur’an kehilangan kriteria mukjizat yang otomatis
melumpuhkan manusia sekali ia mendengarnya.![7]
Tokoh yang pertama
kali mencari jawaban atas ketimpangan ini diprakarsai oleh dua pemikir
Mutazilah; Abu Ishaq al Nadzzam, dan Abu Utsman al Jahidz. Padahal ketimpangan
itu dibuat oleh mereka sendiri ketika menjadikan ‘ketidak-mampuan’ sebagai
syarat terwujudnya mukjizat. Untuk itu mereka kemudian mencari sebuah solusi
atas bentuk mukjizat yang tertanam di dalam al Qur’an, yang dapat membuktikan
keabsahan kriteria yang mereka terapkan untuk mukjizat, baik mukjizat al Qur’an
atau mukjizat nabi-nabi lainnya.
setelah melakukan
beberapa penelitian atas ayat-ayat al Qur’an yang menuturkan tantangannya
kepada masyarakat Arab untuk mendatangkan kata-kata yang serupa dengannya, dan
fakta sejarah tentang ketidak-mampuan mereka untuk memenuhi tantangan, sehingga
perang menurut mereka merupakan jalan terbaik., al Nadzam dan al Jahidz
menggagas sebuah paham yang diharapkan mampu menegaskan kriteria yang mereka
terapkan untuk mukjizat, serta menambali ke-keroposan kriteria tersebut., teori
itu bernama ‘al Sharfah’ (distraksi/pengalihan).
Deskripsi
pengejawantahan gagasan ‘al Sharfah’ dapat ditinjau dengan menyamakan al
Qur’an dengan mukjizat lainnya, ketidak-mampuan yang ditampilkan oleh mukjizat
nabi-nabi terdauhulu tertanam dalam diri manusia, dan menjadi kemampuan
istimewa Tuhan. Ketika mukjizat sejenis diperlihatkan, penontonnya secara
otomatis menemukan ketidak-mampuan dalam diri untuk melakukan mukjizat serupa.
Dalam kasus al Qur’an,
yang merupakan mukjizat Nabi Saw., ketidak-mampuan yang sama dengan yang
diperlihatkan mukjizat lain harus ada pada al Qur’an, karena ketidak-mampuan
ini merupakan kriteria sebuah mukjizat. Artinya, ketidak-mampuan tersebut harus
ada ketika manusia menyaksikan al Qur’an. Akan tetapi kriteria tersebut dalam
kasus al Qur’an sangat membingungkan, hal ini karena al Qur’an terbentuk dari
kata-kata berbahsa Arab, sementara masyarakat Arab bahkan seluruh manusia mampu
membentuk kata-kata. Artinya, sangat mustahil bagi manusia yang menyaksikan al
Qur’an menemukan ketidak-mampuan yang tertanam dalam dirinya karena sebab yang
tadi.
Faktanya, meski
dengan adanya kemustahilan tersebut, ketidak-mampuan tetap saja terjadi.
Masyarakat Arab bahkan seluruh makhluk baik jin dan manusia tidak mampu
mendatangkan kata-kata serupa. (al isra’: 88)
Menurut al Nadzam
dan al Jahidz, misteri mukjizat al Qur’an hanya dapat diterangkan dengan sebuah
jawaban yaitu ‘al Sharfah’, Tuhan melumpuhkan kemaampuan manusia untuk
menandingi al Qur’an ketika ada upaya menandinginya atau ketika al Qur’an
diturunkan. . . Jadi, terdapat dua bentuk ketidak-mampuan; ketidak mampuan yang
tertanam dalam diri manusia bahkan sebelum mukjizat ditampilkan, seperti
mukjizat terdahulu. Dan ketidak-mampuan yang ditanamkan ketika al Qur’an
diturunkan.
Solusi atas
problematika mukjizat al Qur’an yang ditawarkan ‘al Sharfah’ ternyata
memiliki kelemahan yang juga menimbulkan ketimpangan yang baru, hal ini karena
al Qur’an tidak lagi merupakan mukjizat karena mukjizat telah dipindahkan
kepada ‘al Sharfah’., parahnya lagi, konsekuensi pengejawantahan gagasan
‘al Sharfah’ sejatinya merupakan pengakuan atas adanya penipuan yang
dilakukan Tuhan, bagaimana tidak, tantangan yang Tuhan tawarkan kepada
masyarakat Arab untuk mendatangkan kata-kata serupa terlihat dapat dipenuhi,
padahal hakikatnya Tuhan telah menutup kemungkinan terpenuhinya tantangan
tersebut secara paksa dan tak dapat dihindari, masyarakat Arab semenjak awal
tidak memiliki kemampuan karena telah dilumpuhkan.[8]
Al Jahidz salah
satu penggagas ‘al Sharfah’ menyadari kelemahan gagasan ini dan
ketimpangan yang ditimbulkanya, karena selain konsekuensi di atas, gagasan ‘al
Sharfah’ telah merendahkan susunan kata-kata al Qur’an. Artinya, susunan
tersebut tidak memiliki arti sama sekali.
Bahkan al Jahidz
juga menyadari bahwa gagasan ‘al Sharfah’ yang diprakarsai al Nadzam
Sahabatnya tidak lagi bertujuan menyingkap misteri kemukjizatan al Qur’an, ia
hanya dipergunakan sebagai retorika shopistik dalam perdebatan para
mutakallimin. Oleh karena itu, al Jahidz sebagai seorang yang memiliki dzauq
(cita-rasa) yang tinggi dalam sastra berusaha menegaskan martabat yang
dimiliki susunan al Qur’an. Al Jahidz menulis sebuah buku berjudul al ihtijâj
li al nadzmi al Qur’an, wa salâmatuhu min al ziyadah wa al nuqshan sebagai
penolakan terhadap mereka yang yakin atas kebenaran al Qur’an tetapi menganggap
susunannya tidak berarti apa-apa, dan tidak membuktikan kemukjizatan al Qur’an.
Dengan ini al
Qur’an telah memiliki dua bentuk mukjizat yang kontradiksi satu sama lain,
artinya seseorang tidak mungkin mengharmoniskan kedua bentuk mukjizat, dan ia
harus mengamini salah satu saja. Mukjizat pertama adalah ‘al Sharfah’, dan
mukjizat kedua adalah susunan al Qur’an yang tidak dapat ditiru oleh masyarakat
Arab atau makhluk lainnya, mukjizat itu bernama ‘al nadzm’.
Al jahidz dapat
dikatakan tokoh yang pertama kali menggagas teori ‘al nadzm’ sebagai
bentuk mukjizat al Qur’an yang lebih memuaskan, hal ini dapat diketahui dengan
ketidak-puasannya terhadap legalitas ‘al Sharfah’, dan dedikasinya dalam
menjelaskan suatu hal yang sangat ganjil, yang sangat sulit untuk dijelaskan,
tetapi dapat dirasakan dalam hati. Untuk menerangkan perasaannya, al Jahidz
melahirkan terma-terma baru yang tidak pernah dipakai sebelumnya untuk
menjelaskan mukjizat al Qur’an. Terma-terma seperti; nadzmu al qur’an (susunan
al Qur’an), badi’u al tarkib (keindahan susunan), gharîb al ta’lif (pengolahan
kata yang tidak mainstream), memuat banyak makna dalam kalimat yang ringkas,
dst. Al jahidz menegaskan bahwa
keindahan susunan kalimat al Qur’an lah yang menunjukkan kemukjizatan tersebut,
jika masyarakat Arab dimintai untuk mendatangkan yang serrpa dengan surat al
Qur’an yang paling pendek, mereka tidak akan mampu memenuhi permintaan
tersebut.[9]
Hal yang perlu
diperhatikan dalam tulisan al Jahidz, meski telah mengusung gagasan ‘al
nadzm’ al Jahidz tidak mengangkat balaghah (retorika) sebagai salah satu
bentuk kemukjizatan yang tidak dapat ditandingi masyarakat Arab, padahal al
Jahidz seringkali menyebut retorika para penyair dan sastrawan Arab.[10]
Sepeninggal al
Jahidz (255 H), gagasan mengenai balaghah al Qur’an sebagai salah satu bentuk
kemukjizatannya muncul di tangan seorang ahli kalam Mutazilah Abu Abdillah
Muhammad bin Yazid al Wâsithy (306 H) setelah Beliau mempelajari setiap
perkataan yang dimuat al Jahidz dalam bukunya tentang ‘al nadzm’, al
Washiti lah yang tercatat pertama kali menjuduli bukunya dengan ‘i’jâz al
Qur’an’ (mukjizat al Qur’an). Selain itu al Wasithy juga tokoh yang
menggunakan terma mukjizat yang mengacu pada tanda-tanda kenabian ‘al âyah’.[11]
Tidak banyak yang dapat dikatakan tentang gagasan al Wasithy karena bukunya
tersebut menghilang sebagaimana yang terjadi pada buku al Jahidz.
Gagasan balaghah telah
diprakarsai al Wasithy dapat dibuktikan dengan munculnya Abu Hasan Ali bin Isa
al Rummânî, pemikir baru yang menulis buku berjudul ‘nukatun fî i’jâzi’l
Qur’ân’. Dalam bukunya Beliau menyebutkan bentuk-bentuk kemukjizatan al
Qur’an, dan membentangkan tema balaghah sebagai salah satu bentuknya yang
istimewa. Menurutnya, al Qur’an merupakan bentuk balaghah tertinggi yang pernah
ada, susunan kata-katanya dapat melumpuhkan kemampuan setiap manusia,
sebagaimana puisi-puisi para penyair dapat melumpuhkan orang biasa. Balaghah
sendiri memiliki sepuluh bentuk; îjâz, tasybîh, isti’ârah, talâ’um,
fawâshil, tajânus, tashrîf, tadhmîn, mubâlaaghah, husnu’l bayân.[12]
Keistimewaan yang
dimiliki gagasan Balaghah tidak membuatnya terlahir tanpa cacat, ia masih
diliputi ambiguitas yang menyamarkan kejelasannya. Kritik atas keasbahan Balaghah
diterangkan pertama kali oleh Abu Sulaiman Hamdun bin Muhammad bin Ibrahim al
Khattabî al Bastî, pemikir Sunni yang lahir pada tahun 319 H meninggal pada
tahun 388 H, dalam bukunya ‘bayân fî i’jâzi’l qur’ân’. Al Khattabi
mengatakan bahwa Balaghah yang dianggap salah satu bentuk mukjizat tersebut
sangat tidak jelas, jika mereka yang menegaskan keabsahan itu ditanya mengenai
hakikat Balaghah al Qur’an, yang diistimewakan untuknya, dan mampu melumpuhkan
seluruh makhluk hidup itu, para pemikir itu akan menjawab; Balagah itu tidak
mungkin digambarkan dengan gambaran yang dapat menjelaskan perbedaan Balaghah
al Qur’an dengan balaghah lainnya, hanyasjaa para pemikir dapat merasakan
sebuah bentuk yang berbeda tetapi tidak bisa digambarkan. Kajian ilmiah mungkin
tidak dapat menjelaskan Balaghah ini tetapi ia dapat dirasakan. Karena
kadangkala perasaan dapat menilai keindahan yang lebih pada salah satu dari dua
kata-kata indah tanpa mengetahui alasan mengapa ia memilihnya.[13]
Selain al Khattabi
dan al Rummani terdapat pemikir lain yang mengakaji mukjizat al Qur’an pada
abad keempat Hijriyah, Abu Bakar Muhammad bin al Thayyib bin Muhammad al
Baqilani menulis buku berjudul ‘i’jâzu’l Qur’ân’. Metode yang
dipergunakan al Baqilani tidak berbeda dengan metode para mutakallimin secara
umum, yaitu seringkali memasuki perdebatan yang tidak berujung dalam hal-hal
teoritis, akan tetapi dalam upaya penegasan Balaghah sebagai bentuk mukjizat al
Qur’an, al Baqilani seringkali menggunakan metode intuisi (tazawwuq) yang
biasa dilakukan para sastarawan., nampaknya al Baqilani sangat yakin akan
keabsahan gagasan Balaghah, walaupun Beliau mengkritik klasifikasi al Rummani
terhadap sepuluh bentuk balaghah. Keyakinannya ini menyiratkan seakan al
Baqilani tidak pernah sekalipun menyentuh tulisan al Khattabi tentang mukjizat
al Qur’an, walaupun pengakuannya bahwa Beliau pernah membaca seluruh tulisan
terkait yang pernah ada.[14]
Abad keempaat
Hijriyah merupakan masa suburnya budaya intelektual Islam, pada abad ini pemikir
yang terkenal membahas kemukjizatan al Qur’an tidak hanya Tiga Tokoh yang telah
disesbutkan, nampaknya terdapat pemikir lain beraliran Muktazilah yang
berdedikasi mengakumulasi semua karya intelektual pendahulunya, pemikir itu
bernama Abdul Jabbar bin Ahmad bin Abdul Jabbar al Hamdani. Beliau menulis sebuah
ensiklopedia keilmuan Muktazilah dalam bukunya ‘al mughnî’, buku ini
juga memuat sebuah tema terkait ‘khalqu’l qur’ân’ (kemakhlukan al
Qur’an), dan masalah ‘i’jâzu’l Qur’ân’ (mukjizat al Qur’an.)[15]
Ada suatu hal yang
menarik dalam pemikiran Muktazilah tentang bagaimana tema kemakhlukan al Qur’an
dan kemukjizataannya dapat berkaitan dan saling menguatkan. Muktazilah yang
menyatakan kemakhlukkan al Qur’an meyakaini bahwa status ini merupakan syarat terwujudnya
kemukjizatannya, bahkan syarat ini berlaku untuk mukjizat lainnya. Hal ini
dikarenakan suatu mukjizat tidak mungkin merapakan suatu hal yang ‘qadim’, karena
ketika ia ‘qadim’ maka mukjizat tersebut lebih dulu ada ketimbang tujuan
ia diperlihatkan, dan ketika itu pula ia tidak dapat diperuntukkan pada tujuan
tertentu.[16]
Bahkan, terdapat
alasan lain yang dipergunakan muktazilah dalam pembuktian mukjizat,
dipergunakan oleh sekte lain sampai sekarang untuk menjelaskan tujuan
huruf-huruf muqatha’ah dalam pembuka beberapa surat al Qur’an.
Huruf-huruf ini merupakan penjelasan atas tantangan mendatangai ayat serupa al
Qur’an, bahwa al Qur’an terbentuk dari huruf-huruf tersebut, huruf-huruf yang
sangat dikenal Masayarakat Arab, akan tetapi tetap saja mereka tidak mampu
memenuhi tantangan.[17]
Adapun paham
mengenai kemampuan Masyarakat Arab untuk mendatangkan ayat serupa tetapi
dilumpuhkan, menurut Imam al Razi bukanlah akidah mayoritas penganut
Muktazilah, ia hanya pendapat Abu Musa al Mirdad, al Nadzzam dan pengikutnya.[18]
Penutup
Tulisan ini tidak
sejatinya tidak dapat mewakilkan buku Syaikh Mahmud Syakir, madâkhil
i’jâzi’l Qur’ân. Akan tetapi setidaknya dapat disimpulkan bahwa Syaikh
Syakir ingin membentangkan empat masalah besar; sejarah munculnya disiplin ilmu
kemukjizatan al Qur’an semenjak al Naddzam sampai Abdul Qaahir al Jurjani,
metode yang dipakai al Jurjani dalam menjelaskan kemukjizatan tersebut, tuduhan
terhadap autentisitas syair-syair jahiliah, dan tujuan ditulisnya buku Malik bin
Nabi, al dzâhiratu’l Qur’aniyah.
Buku Malik bin Nabi
tersebut menurut Syaikh Syakir tidak mengejawantahkan bukti-bukti ataupun
bentuk-bentuk kemukjizatan al Qur’an, akan tetapi ia berusaha menegaskan
autentisitas kenabian Rasulullah Saw. melalui penalaran psikologi yang sangat
mendalam, dan membuktikan bahwa al Qur’an merupakan wahyu Tuhan. Oleh karena
itu perlu diketahui pula bahwasanya kenabian Rasulullah tidak membuktikan
kemukjizatan al Qur’an, sebaliknya kemukjizatan al Qur’anlah yang membuktikan kenabian
Rasulullah Saw.
Terkait syair-syair
jahiliah, akan sangat mustahil mengetahui bentuk kemukjizatan al Qur’an yang
termuat dalam susunannya, atau lebih tepat membuktikan keabsahan bentuk
kemukjizatan susunan atau ‘al nadzm’ ini, jika tidak memanfaatkan
penghayatan atas syair-syair tersebut. ketika syair-syari tersebut sudah
diakui, bagaimana mungkin membktikan kemukjizatan tersebut. karena keunggulan
bahsa yang termuat dalam syair-syair ini merupakan kebanggaan tersendiri bagai
masyarakat Arab pada umumnya, karena itulah lmereka didatangkan sebuah mukjizat
dalam bentuk yang sangat mereka kenali, yaitu mukjizat dalam bentuk kata-kata.
Hal ini menunjukkan
bahwa mukjizat yang ingin ditampilkan al Qur’an bukanlah varian yang dikatakan
sebagai berita ghaib, ilmiah saintifik, atau al sharfah karena meskipun
bentuk-bentuk tersebaut membuktikan kebersumberan al Qur’an dari Tuhan, ia
tidak membuktikan bahwa susunan kata-katanya berbeda dengan susunan kata-kata
makhluk lainnya.[19]
[1]
rangkuman ditulis pada hari
Jumat-13-Januari, 2017. Di daerah
Mikawi, Ghamra. Dari buku Dr. Mahmud Syakir, madâkhil i’jâzi’l Qur’ân, ceta.
ii mathbaah al madani, Mesir, 2014.
[2] Mahasiswa tamhidi I, strata II, fak.
Tafsir, jur. Ushuluddin, univ. al Azhar Kairo.
[3] Lihat: 126-130
[4] 132
[5] 22
[6] 38
[7] 40
[8] 56-60
[9] 76
[10] 76
[11] 77
[12] 79-80.
[13] 83.
[14] 84-87.
[15] 88
[16]
Lihat; Dr.
Mahmud Kamil Ahmad, “mafhûm al ‘adli fî tafsir al mu’tazilah li al Qur’an al
karîm, cet. Dar al Nahdah al ‘Arabiah, Bierut Lebanon, 1983. Hal. 281.
[17] lihat; ibid. 281-282.
[18] Ibid. 279. Lihat pula al Razi, al
arba’în, . hal 183.
[19] Hal. 163.
Comments
Post a Comment