Kembang Tidur; Filsafat Mimpi dalam Varian Kewahyuan
Anzuru Wahyan Q
Kembang tidur
atau mimpi adalah fenomena imajinasi yang dapat ditemukan dalam tidur manusia.
Menilik saratnya kejadian ini dalam kehidupan manusia berbagai disiplin
keilmuan turut andil dalam memberikan kontribusi interpretasi fenomen itu.
Sebut saja ilmu Psikologi, Religi, filsafat, ilmu Santet dan ilmu perdukunan.
Kesemua ilmu-ilmu tersebut membahas mimpi dengan keistimewaannya masing-masing,
tetapi keseluruhannya sepakat jika fenomena tersebut mempunyai pengaruh dalam
realita kemanusiaan.
Dalam perspektif
agama, setiap calon utusan Tuhan dilatih dengan bisikan-bisikan gaib yang
sangat ambigu; apakah ini halusinasi atau imajinasi!?. Ambiguitas ini pada
awalnya menjadi masalah sepele bagi mereka, lalu pada detik-detik terakhir Para
Utusan tersebut mampu merasakan kehadiran entitas transcendental yang tengah
berusaha memberitahukan sesuatu.
Ketergesa-gesaan
ilmuwan Barat dalam memahami fenomena ini membuat mereka berpendapat bahwa hal
tersebut tidak lebih dari sekedar halusinasi. Lebih jauh fenomena kewahyuan
adalah suatu penyakit kejiwaan dimana pengidapnya memiliki kepribadian ganda.
Pendapat ini
ditolak oleh Malik bin Nabi seorang pemikir Islam kontemporer. Ia menulis
sebuah buku fenomenal yang ia namai “Fenomena al Qur’an”. Menurutnya
keotentikan wahyu dan negasiasi halusinasi dapat dibuktikan dengan
reinterpretasi kewahyuan yang terjadi pada diri Nabi Saw. Dalam tataran
permukaan wahyu yang pertama kali mendatangi Nabi berupa suatu suara yang
memerintahkannya untuk membaca, suatu perintah aneh karena ditujukan kepada
seorang buta huruf. Tidak ada kejelasan misi yang dapat dipahaminya dari wahyu
tersebut melainkan visi yang seakan-akan telah melumat otoritas kendali
pikirannya; tidak mengetahui kejelasan fenomena tersebut. Sepulangnya dari gua
Hira wahyu lain mendatanginya dalam bentuk misi yang lumayan jelas; Nabi
diperintahkan untuk membawa peringatan. Semenjak itulah Nabi mulai yakin dengan
tugas yang diamanahkan kepadanya setelah melewati kebimbangan perihal siapakah
yang akan ia peringati? Lalu siapakah yang akan menerima peringatan tersebut?!
Pasca munculnya keyakinan tersebut wahyu justeru tidak pernah datang lagi untuk
dua tahun kedepannya. Vakumnya fenomena kewahyuan mengembalikan keraguan dalam
kejiwaan Nabi; beliau bertanya-tanya kembali apakah peristiwa itu benar-benar
merupakan wahyu!? Selain itu, jika melihat sosio-kultur yang meliputi kehidupan
Nabi Saw. kita akan menemukan masyarakat yang tidak pernah memikirkan
problematika metafisika dan social, pengetahuan masyarakat Arab perihal social
tidak mempunyai nilai apapun jika disandingkan dengan negeri-negeri tetangga.
Sama halnya dengan pengetahuan yang dimililki Nabi pra kenabiannya. Pasca
kedatangan wahyu lah pengetahuan social dan kebudayaan Arab ditata ulang dan
dikembangkan. [1]
Dalam filsafat
filsuf yang tercatat pertama kali mengkaji fenomena mimpi ialah Aristoteles.
Kajian kemimpiannya kemudian diadopsi para filsuf muslim dalam memahami
fenomena wahyu. Aristoteles berpendapat bahwa mimpi adalah visualisasi imaji
yang menguat dalam tidur. Sensasi-sensasi yang dirasakan manusia ketika terjaga
membekas di alam bawah sadarnya. Kejadian seperti ini tidak hanya terjadi dalam
tidur, karena panca-indera seringkali menyimpan sensasi yang ditinggalkan oleh
subjek yang dirasa, dengan kata lain sensasi hal-hal yang dapat dirasakan
seringkali membekas dalam pikiran manusia. Contohnya, ketika seseorang telah lama
berdiri di bawah terangnya sinar matahari matanya akan merasa gelap ketika dia
berpindah dari posisi sebelumnya. Begitupula ketika seseorang yang telah lama
melihat satu warna matanya akan tertipu dengan penglihatan warna yang sama
ketika melihat warna lain. Ini berarti sensasi-sensasi yang dirasakan
panca-indera dalam kondisi terjaga akan membekas dalam pikiran manusia, lalu
kemudian imaji mengolahnya menjadi berbagai visual. Dalam kondisi tidur efektifitas
panca-indera manusia melemah dan minim kerja. Di saat inilah imaji mulai menguat
dan dengan leluasa menciptakan gambaran-gambaran yang kita sebut mimpi. Artinya,
imajinasi adalah sumber visual sensasi-sensasi yang lalu yang kemudian diperlihatkan
kepada pemimpi dalam tidurnya.[2]
Lebih jauh
tentang mimpi, ia adalah fenomena psikologi manusia. Setidaknya ada tiga hal
yang mempengaruhi atau menciptakan visualisasi mimpi; pertama: sensasi
yang membekas dalam pikiran manusia yang kemudian dikuasai oleh imaji, kedua;
anggota tubuh manusia yang masih mampu merasakan sekelilingnya dalam tidur.
Contohnya seseorang yang mendengar teriakan biasanya akan memimpikan suara Guntur,
atau ia akan memimpikan gempa ketika kaki kasurnya patah. Ketiga; tendensi
dan perasaan yang kuat dalam diri manusia. Karena itu seringkali manusia
memimpikan apa yang ia cintai atau yang ditakutinya.[3]
Pada era
berikutnya, para filsuf muslim sangat terplengaruh dengan teori tersebut. Pemikir
Islam yang pertama kali memanfaatkan teori tersebut dalam menginterpretasikan
wahyu adalah al Farabi. Menurutnya dengan mengetahui fenomena mimpi kita akan
memahami fenomena wahyu yang hanya terjadi pada pribadi para nabi. Hanyasaja,
Aristoteles tidak pernah bermaksud untuk menjelaskan fenomena wahyu melalui
kajian mimpinya, dia bahkan tidak percaya jika terdapat entitas transcendental yang
dapat terhubung dengan mimpi manusia. Karena jika ini mungkin, niscaya setiap
orang bermimpi walau orang bodoh sekalipun akan mendaku kewahyuan apa yang
terjadi dalam mimpinya.
Al Farabi
sendiri, dilatari keislamannya mencoba mengembangkan teori tersebut dan
mengharmoniskannya dengan syariat. Upaya ini terhitung dalam proyek besar para
filsuf muslim dalam mendamaikan agama dan filsafat. Hal baru yang ditambahkan
al Farabi adalah hal yang mempengaruhi eksistensi mimpi, ia tidak terbatas
dalam tiga yang telah disebutkan di atas tetapi sebagian mimpi dipengaruhi oleh
kedatangan ‘Aqlu’l Fa’âl (Intelegeni Agen). Dan sebagian manusia tidak
hanya memiliki imajinasi dalam kondisi tertidur, imaji mereka yang sangat kuat
memungkinkan mereka untuk berimajinasi dalam keadaan terjaga dan terhubung
dengan Intelegensi Agen.
Intelegensi Agen atau al Aq’lu’l Fa’âl adalah Intelegen terendah
dalam hierarki sepuluh intelegensi yang mengatur alam semesta. Ia adalah tokoh
yang menyampaikan pesan Tuhan kepada Nabi, sumber syariat dan aturan-aturan
norma dan social.[4] Pada
dasarnya teori hubungan dengan Intelegensi Agen ini dicanangkan al Farabi
sebagai syarat ideal bagi pemimpin dalam kotanya yang utopia. Untuk membedai
kriteria plato dalam “Republik”nya al Farabi menambahkan syarat yang
sufistik itu.
Agar bisa terhubung dengan Intelegensi Agen terdapat dua cara yang hanya
dapat direalisasikan segelintir orang. Metode pertama adalah dengan menggunakan
kekuatan akal. Metode ini dikuasai oleh para filsuf. Melalui perenungan dan
kontemplasi para filsuf dapat terhubung dengan Intelegensi Agen, dengan
observasi dan pelajarannya mereka dapat mencapai Dunia Cahaya dan
terangkat menjadi al ‘Aqlu’l Mustafâd (Akal Perolehan).[5]
Adapun cara kedua hanya dapat ditempuh oleh para nabi-rasul. Mereka dapat
terhubung dengan Intelegensi Agen melalui imajinasi dan khayalan mereka. Semua Ilham
dan wahyu yang telah mereka sampaikan kepada kita sejatinya adalah hasil dari
imajinasi tersebut.[6] Menurut
al Farabi hanya para nabi dan filsuf lah yang mampu memimpin sebuah kota yang
ideal karena hanya mereka lah yang dapat terhubung dengan Intelegensi Agen.
Kajian mimpi al Farabi tidak pernah dijelaskan secara mendetil seperti
yang telah dilakukan Dr. Ibrahim Madkour dalam “fi’l
falsafati’l islâmiah”nya. Bahasa yang beliau gunakan mampu memperjelas
teori mimpi al Farabi yang super-rumit. Setidaknya 46 halaman dialokasikan
untuk menerangkan sejarah pemikiran tersebut, sosio-kulturnya, geneologi,
kritik dan testimony, dan pengaruhnya pada filsuf-filsuf era mendatang semenjak
Ibnu Sina, lalu kemudian Ibnu Rusyd, Moses Maimonides[7], Albertus Magnus[8], Spinoza, Jamaluddin al
Afgani dan Muhammad Abduh.
Hal yang mendorong al Farabi menulis teori mimpinya adalah keberadaan
para ateis yang sezaman dengannya. Mereka ialah Ibnu Rawandi yang mengaku Mu’tazilah,
dan Abu Bakar al Razi yang ingin diakui kefilsufannya. Kedua ateis ini
memungkiri keniscayaan eksistensi nabi, menurut mereka para nabi dan mukjizatnya
hanya dongeng belaka, dan bagaimana mungkin manusia membutuhkan keberadaan
mereka selama manusia memiliki akal!
Kondisi ini semakin akut dengan hadirnya kelompok dan jaringan sesat asing.
Mazdakiah dan Manaviah yang menyebarkan faham dualisme yang berusaha menghapus tauhid,
Sumaniah dari kalangan Brahmana yang mendakwahkan reinkarnasi dan negasi
kenabian, dan orang-orang Yahudi yang berusaha mencampu-adukkan tafsir dengan israiliyyat
mereka,dan santo-santo gereja yang memprogandakan problem fatalism dan
determinisme.[9] Melihat
sosio-kultur ini maka sepatutnya lah al Farabi menyampaikan kritik dan bantahan
terhadap penyelewangan dan distorsi tersebut dengan reinterpretasi kenabian dan
kewahyuan melalui penjelasan rasional dan terjaga dalam koridor syariat.
Hanyasaja teori mimpi al Farabi ini terkesan menyamakan derajat kenabian
dan filsuf, seakan kenabian adalah profesi yang bisa diperoleh siapa saja yang
memiliki kecerdasan mumpuni melalui observasi dan perenungan, ia bukan lagi
anugerah Allah Swt. yang diistemawakan untuk pribadi-pribadi pilihan tanpa ada
intervensi subjektif dari pribadi-pribadi tersebut.
[1] Lihat: Malik bin Nabi, al
dzâhiratu’l qurâniyah, hal 148-160. Cet 12, dar al fikr, BEIRUT, Lebanon,
2015.
[2]
Selengkapnya: Dr. Jamaluddin
Husain Afifi, al nubuwwah baina’l mutsbitîn wa’l munkirîn, Muqarrar
tauhid tingkat III jurusan tafsir 2014 al Azhar Kairo, hal 84.. Lihat pula: Dr.
Yusuf Karam, târikhu’l falsafah al Yunaniah, lajnah al ta’lif wa al
tarjamah wa al nasyr, Kairo, 1949, hal 162.
[3] Ibid 85. Lihat pula: Dr. Ibrahim
Madkour, fi’l falsafati’l islâmiah, dar al ma’arif, Cet III, 1976,
Kairo, hal 97.
[4] Dr. Ibrahim Madkour, fi’l
falsafati’l islâmiah, hal 76. Lihat pula. Al Farabi, al madînatu’l
fadhîlah, hal 57-58.
[5] Ibid. 76.
[6] Ibid. 77.
[7] Ulama Yahudi (1135-1204 M)
[8] Santo biarawan Ordo Dominikan
(1193-1280 M)
[9] Ibid. 82-82.
Comments
Post a Comment