Elokuensi al Qur’an dalam Pengajian Dr. Ibrahim Hud-hud
Selasa, 9 Agustus, 2016, Dr Ibrahim Hud-hud
kembali membuka talaqqi tafsir dengan membaca Durrat al Ta’wil” Karya
al Iskafi sebagai acuannya. Pengajian ini kembali dibuka setelah beberapa bulan
vakum lantaran kesibukan Dr Hud-hud sebagai Rektor baru Universitas al Azhar. Dihadiri
oleh para beberapa peserta lama dan sejumlah anggota baru pengajian ini pun
dimulai dengan membaca basmalah.
Tidak seperti bulan-bulan lalu, pengajian yang concern
terhadap elokuensi al Qur’an ini memakai Durrat al Ta’wil” Karya al
Iskafi, kendati kitab “milâk al ta’wil” karya al Ghirnathi belum
mencapai akhir halamannya, kitab inipun disudahi seakan ingin mencari suasana
baru dan menengok referensi aslinya[1].
Prakata yang terwujud dalam pengajian ini Dr.
Hud-hud memperkenalkan identitas al Iskafi berikut asal-muasal julukan
tersebut. Kata Iskafi (Arab: اسكافي) adalah dua kata salah satunya berupa
profesi, sedangkan huruf ya’ dalam kata tersebut menunjukkan adanya
suatu penisbatan. Iskâf sendiri berarti tukang sepatu, apabila
disematkan melalui huruf ya’ kata Iskâfi berarti Si Tukang
Sepatu. Ini adalah julukan atau nisbat yang disematkan kepada penulis karya
monumental ini. Hal tersebut membuktikan bahwa penisbatan tidak hanya dituju
kepada nenek-moyang atau tempat lahir seseorang, akan tetapi suatu hal yang
telah dikenal masyarakat ada pada dirinya. Dalam hal ini profesi yang dilakoni
sang penulis. Namanya sendiri adalah Abu Abdillah Muhamad bin Abdillah, ia
masyhur dengan julukan Khathib al Iskâfi.
Jika diteliti lebih
lanjut ternyata al Iskafi bukanlah penulis buku tersebut, penulis aslinya
bernama Abu al Faraj al Ardistani. Al Iskafi bisa dikatakan seorang pengarang,
dan al Ardistani yang menulis ajarannya
yang tertuang dalam buku tersebut. Ini merupakan hal lumrah dan lazim dalam
buku-buku yang disematkan kepada ulama-ulama klasik, ajaran-ajaran mereka
ditulis oleh anak-didik mereka lalu kemudian disematkan kepada empunya ajaran.
Kembali ke julukan Si
Tukang Sepatu, Abu Abdillah cukup bangga dengan profesinya sendiri. Menurutnya ini
merupakan suatu keberhasilan dimana Beliau mampu mengais hidup tanpa berpegang
tangan pada karya-karya ilmiahnya, karena dahulu sebuah buku tidak ditulis
untuk mengais harta akan tetapi tuntutan rasa tanggung-jawab dalam memecahkan
problematika ruang dan waktu yang mereka tempati.
Sosio-kultur yang
melingkupi al Iskafi lah yang menuntutnya mengajarkan buku ini, maraknya bid’ah
penafsiran dan tuduhan-tuduhan yang ditujukan atas al Qur’an memaksanya untuk
meluruskan berbagai distorsi yang ramai. Dan pada umumnya tuduhan-tuduhan
tersebut dilatari oleh kedangkalan dalam memahami Bahasa al Qur’an. Pertanyaan yang
umum dilayangkan seperti mengapa ada banyak pengulangan dalam al Qur’an? Apakah
maksud perubahan kecil dalam pengulangan tersebut? dan apakah hal-hal seperti
ini akan mengurangi kemukjizatannya? Syubhat-Syubhat seperti ini mendorong al
Iskafi memuat pendapatnya dalam buku tersebut, dan Ia telah menjamin
efektivitas pendapat itu dalam menangkal jenis-jenis syubhat yang telah
disebutkan. Pungkasnya: “kalian akan melecehkan tuduhan-tuduhan tersebut
setelah mengkaji kitab ini”.
Dalam mukadimahnya al
Iskafi menjelaskan bahwa karya ini adalah hasil penelitiannya bertahun-tahun
terhadap buku-buku yang membahas tafsir, akan tetapi beliau tidak menemukan
satupun kajian yang mampu mencapai batas tertentu yang diinginkannya, ia belum
bisa menemukan esensi yang harus diperjelas dalam memecahkan kode dalam
pengulangan ayat-ayat al Qur’an. Menurut al Iskafi hal tersebut disebabkan
tiada satupun yang mempunyai inisiatif mengembangkan tujuan tersebut.
Bersamaan dengan
observasi tersebut al Iskafi menyempatkan diri dalam kontemplasi panjang demi
mencapai tujuannya. Menurutnya hal ini adalah satu perbuatan terpuji karena
Tuhan tidak akan menyangkal penafsiran mendalam atas kitab sucinya, bahkan Dia
justeru memuji mereka yang mampu menemukan hal-hal tersembunyi dalam kitab suci
itu.
Selain jaminan atas
efektivitas karyanya ini, al Iskafi menjanjikan tiada rasa rugi dalam
kehilangan sesuatu setelah memahami pengetahuan ke-Qur’anan. Hal tersebut
karena Kitab suci ini menjanjikan pengetahuan yang tiada henti, ia adalah
firman Tuhan yang tidak terbendung keajaibannya.
Ada sesuatu yang sangat
kentara dan menjadi ciri khas dalam penyajian talaqqi Dr. Hud-hud. Selain
bahasanya yang fasih, analisis beliau terhadap buku-buku turats (klasik) sangat
kontekstual dengan akal yang dimiliki mahasiswa, artinya beliau mampu
memahamkan pikiran mahasiswa terhadap buku tua yang sedang dikaji. Ini bukan
hal mudah, membaca kembali sebuah buku tua yang berumur lebih seabad
membutuhkan kecakapan Bahasa dan ilmu kesusasteraan kelas kakap, karena salah
dalam pembacaan buku-buku seperti itu berpotensi besar. Maka jika memahami saja
adalah hal yang sangat sulit terlebih membuat orang lain paham. Menyadari hal
ini Dr. Hud-hud selalu menjelaskan maksud yang diinginkan sebuah paragraph sebelum
membaca paragraph tersebut agar potongan-potongan pemahaman peserta talaqqi mudah disatukan kembali.
Comments
Post a Comment