Politik Kyai dalam Kaca-mata Tuan Guru Munajib Khalid
*Tulisan ini hanya cuplikan dari buku “Islam
Agamaku, Indonesia Kebangsaanku”.
Memahami keterlibatan tuan guru/kyai dalam politik praktis
Tuan guru
adalah panggilan kehormatan bagi seorang tokoh agama Islam di Pulau Lombok. Figure
panutan umat Islam ini sangat konsen terhadap berbagai perkembangan dan permaslahan
umat. Dari hal-hal bersifat privat sampai hal-hal yang bersifat kenegaraan. Itulah
yang menyebabkan akhir-akhir ini pemikiran seorang figure panutan umat ini
tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat local saja, bahkan sudah mulai berfikir
terhadap hal-hal yang bersifat universal. Itulah sebanya, kita tidak perlu heran
dengan banyaknya Tuan Guru yang terjun dalam kancah pollitik praktis karena ini
juga merupakan tuntunan ajaran agama Islam yang universal.
Memang opini public tentang Tuan Guru terjun dalam
politik praktis sangat beragam tergantung dari sudut mana public memandang. Namun
yang paling penting dalam hal ini, partisipasi seorang Tuan Guru terjun dalam
politik praktis. Yang jelas, bukan karena materi, tetapi tuntutan hati nurani
dan panggilan syariat yang tidak tega melihat bangsa ini terus-menerus mengalami
keterpurukan, ia tidak tega menyaksikan bangsa ini tertindih berbagai dimensi
krisis dan kemerosotan.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu
memadukan antara potensi spiritual dengan potensi material. Potensi spiritual
itu ada pada Tuan Guru, sedangkan potensi material terhampar di seluruh persada
Nusantara ini. Megapa kita tidak memadukan dua potensi ini padahal keduanya
ada. Seorang Tuan Guru akan bersalah jika ia mengucilkan diri di balik tembok
pesantrennya, padahal di luar sana berbagai dimensi kehidupan masih membutuhkan
edukasi moral dan nuansa keagamaan. Bahkan Rasulullah sendiri bersabda: “Bukan
umatku mereka yang tidak memperdulikan urusan social”.
Urusan umat di dunia ini bukan hanya ibadah. Urusan
mereka sangat luas, seluas kehidupan itu sendiri. Hal-hal duniawi, Islam bukan
agama yang mengajar warganya memuja-muja dunia, Ia juga tidak mengajar mereka
untuk membencinya. Tetapi Islam mengajarkan bahwa dunia harus dipergunakan
sebagai alat untuk memperoleh kebahagiaan ukhrawi.
Tuan Guru tidak boleh hanya menjadi penonton
suatu lelucon yang dimainkan para politisi yang tidak bermoral, tetapi Tuan
Guru harus tampil sebagai politisi bermoral untuk membangun bangsa ini menjadi
bangsa yang mengutamakan moral ketimbang materi, sebab Rasulullah sendiri
membangun sebuah negara berasaskan moral pada saat bangsa-bangsa lain mendewa-dewakan
materi. Bahkan Khulafâ al Râsyidîn adalah ulama sekaligus umara’ (pemerintah).
Lihat Umar bin Khattab dengan poltik moralitasnya telah mampu menguasai
seperdelapan bumi ini.
Jangan khawatirkan tentang Tuan Guru yang
terjun dalam politik praktis lantas meninggalkan umatnya. Dengan hadirnya dalam
politik praktis justeru ia akan lebih memperhatikan urusan umat, bahkan DPR,
DPD itu wakil umat! Dipilih oleh umat! Dipercayai oleh umat untuk mengurus
hajat umat. Memang fenomena yang muncul di permukaan sementara ini, citra Tuan
Guru yang berkiprah dalam politik praktis kurang bagus. Hal itu tidak terlepas
dari keadaan Tuan Guru di Dewan termasuk minoritas, dan lantaran persepsi massa
yang masih trauma dengan fenomena klasik yang menampilkan wajah dunia politik identic
dengan drakula penghisap darah rakyat.
Padahal politik itu sesungguhnya tidak
demikian. Oknum pemain politik itulah yang membuat wajah politik menjadi
sangar, penuh intrik, agitasi, kecurangan, dan penipuan. Dan untuk mendekorasi
wajah politik agar menjadi lebih cantik, sangat diperlukan keberadaan Tuan guru
di panggung politik praktis. Oleh karena itu, pertama-tama niat harus
semat-mata lillahi ta’ala untuk membangun bangsa yang bermoral. Public tak
perlu resah menyaksikan Tuan Guru terjun pada politik praktis, karena
kehadirannya dalam hal tersebut merupakan barometer masa depan bangsa dan
negara.
Jika umat Islam memiliki persepsi yang sama bahwa
politik bukan tentang tipu-menipu, maka umat Islam sesungguhnya telah menatap
politik dalam perspektif kenegaraan. Karena dalam konteks modern, korelasi
Islam dengan negara berarti kolerasi Islam dengan politik. Hal semacam ini
merupakan salah satu poin yang hangat diperdebatkan para pemikir Islam yang
belum terpecahlkan secara tuntas. Bahkan belakangan ini makin menghangat ketika
antusiasme untuk tidak menyebutkan kebangkitan Islam melanda hampir di seluruh
dunia. Kebangkitan tersebut tak bisa dibendung terutama dalam bidang politik
karena umat Islam menyadari bahwa politik merupakan suatu keniscayaan untuk
membentengi Islam dari rongrongan sekularisasi.
Pengalaman masyarakat Muslim, khususnya pasca
perang dunia II menunjukkan adanya korelasi antara Islam dengan negara karena
kaum Salibis cemburu jika umat Islam berhasil mendirikan dan menguasai
negara-negara di belahan dunia ini. Kaum Salibis menyaksikan kolerasi terseebut
masih canggung. Kecanggungan inilah yang dimanfaatkan oleh Tentara Salib. Di balik
kecanggungan tersebut tumbuh kesadaran bagaikan air tsunami yang tak mampu lagi
dibendung oleh kekuatan sedahsyat apapun karena kekuatan tsunami lebih dahsyat
dari yang lainnya.
Tampilnya Tuan Guru atau Kyai dalam kancah
perpolitikan sebagai tidak lanjut eksperimen-eksperimen yang telah dilakukan
untuk menyelaraskan konsep-konsep dan kultur-kultur politik masyarakat Muslim di
mana ekperimen-eksperimen tersebut dalam banyak hal telah menampilkan nuansa
yang sangat beragam. Terbukti dalam tingkat presentasi Islam ke dalam negara
dan politik juga menampilkan nuansa yang beragam. Seringkali terjadi perdebatan
dalam menjawab pertanyaan: “Negara manakah yang dapat disebut sebagai negara
yang betul-betul prototype dari apa yang disebut negara Islam? Arab saudikah? Atau
Iran? Irak? Mesir, Palestina, Brunei Darussalam atau negara-negara lainnya
dapat dikategorikan dalam representasi negara Islam sesungguhnya?” Saudi Arabia
dapat dikategorikan msuk dalam representasi negara Isslam semi permanen, namun
belum sepenuhnya dapat memposisikan tokoh-tokoh Islam secara proporsional pada
kuri kepemimpian.
Tuan Guru atau Kyai yang sering berjuang dalam
even-even akbar yang berskala nasional maupun internasional, seringkali tidak
ditengok jasa-jasa mereka, bahkan termarjinalkan dan difitnah sebagai elemen
bangsa yang tidak peka menyikapi fenomena-fenomena lingkungan, lalu ditambah
lagi dengan paham sekuler yang menyudutkan dua sisi kehidupan beragama dan
bernegara. Timbulah opini sekuler, biarkan negara diurus oleh orang-orang yang
tidak disibukkan dengan urusan agama, dan biarkan agama diurus oleh orang-orang
yang tidak disibukkan oleh urusan negara.
Sebagian Tuan Guru dan Kyai terkontaminasi
dengan opini ini, ditambah lagi dengan statement-statement bahwa para tokoh
agama tidak boleh mengurus hal-hal duniawi karena dunia itu suatu yang najis. Jangan
sekali-kali para Tuan Guru mengotori jubah-jubah dan sorban mereka dengan
polusi dunia yang begitu kotor. Akhirnya, para Tuan Guru yang seharusnya
menyinari dunia dengan kearifannya, hanya terkekang di balik sudut-sudut
pesantren sehingga sinar kearifan itu terkungkung dalam area pesantren saja.
Comments
Post a Comment