Esensi-esensi Hukum
Anzuru Wahyan Q
Mengkaji ushul fiqh berarti kita telah masuk ke dalam ruang yang sarat dengan berbagai hukum dan masalah didalamnya. Hukum yang berarti “khitab (kalam) Allah Swt yang mengatur amal perbuatan mukallaf,” ternyata masih meninggalkan sejumlah pertanyaan yang harus kita tuntaskan. Siapakah sumber dan pembentuk hukum itu? Kepada siapakah hukum tersebut ditujukan? Dan perbuatan apakah yang sebenarnya dihukumkan?
Pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut telah mengajak
para ulama untuk mengkaji sehingga banyak menimbulkan perdebatan yang cukup
hangat di dalam sejarah islam.
Tak dapat dipungkiri, perdebatan dan tradisi kritik itulah
yang turut andil dalam mencerahkan pemikiran islam. Maka seyogianya bagi kita
sebagai pewaris tunggal mereka, membawa kembali masa lalu yang telah memudar di
kalangan umat muslim ini. Maka dari itu penulis mengundang para pembaca untuk
menjadi bagian dalam “Esensi-esensi fundamental di dalam hukum.”
Pembahasan
I. Hakim
Hukum sebagai khitab Tuhan memiliki elemen-elemen dasar
yang tanpanya hukum takkan memiliki eksintensitas. Hukum harus mempunyai sumber
dan pembentuk yang disebutHakim,
kemudian objek yang dituju khitab tersebut yaitu Mahkum ‘alaÎh, dan perbuatan yang dikenakan hukuman atau Mahkum.Semua ummat muslim meyakini bahwa
sumber dari segala hukum taklÎfÎ dan wadh’iialah Allah Swt. dengan
membangkitkan seorang rasul yang bertugas untuk menyampaikan dakwah,[1]baik berperantara kitab dan
sunnah, atau dengan perantara Fuqoha’ dan Mujtahidin.
Karna Mujtahidhanyalah sebagai
penerbit yang ikut berpartisipasi dalam menyebarkan hukum, bukan seorang
pencetus yang seenaknya sendiri mengedit hukum. Allah Swt berfirman:
إن الحكم إلا لله )الأنعام : 75. يوسف: 4. 75( ألا له الحكم ) الأنعام : 76(
Berdasarkan ayat tersebut maka hukum yang tidak
berlandaskan apa yang telah diturunkan Tuhan, berati suatu kekafiran, karna
tiada kuasa bagi non tuhan untuk membuat-buat hukum dalam islam. Allah
berfirman:
ومن
لم يحكم بما انزل الله فأولئك هم
الكافرون) المائدة: 44(
Dan apalah arti seorang rasul kecuali untuk menyampaikan
pesan Tuhan, dan apalah arti seorang mujtahid kecuali untuk mengenalkan
hukum-hukum tersebut, berbekalkan metode dan kaidah yang telah tersaji dan
tersusun rapi dalam ilmu ushul.[2]Oleh karna itu telah
diputuskan bahwasanya Tuhan adalah sumber dari segala hukum yang diturunkannya;
Tetapi permasalahannya adalah siapakah yang berhak menerbitkan dan menerangkan
hukum-hukum tersebut?
Di dalam al-wajiz Abdul karim zaidan membagi masalah
tersebut menjadi dua:
Pertama. Apakah hukum-hukum Allah Swt tidak dapat diketahui
kecuali dengan perantara rasul? Ataukah akal memiliki kemampuan untuk megetahui
hukum tersebut tanpa bantuan seorang rasul? Dan apakah yang memungkinkan
terjadinya hal tersebut?
Kedua. Jika memungkinkan bagi akal untuk mengetahui hukum
Tuhan tanpa bantuan seorang rasul maka apakah hal tersebut dapat menjadi
patokan ketika memberi beban yang dapat menimbulkan pujian atau celaan di
dunia, dan pahala atau siksa di akhirat.3
Dua masalah fundamental tersebut menyebabkan perseteruan
yang terjadi di kalangan beberapa ulama’. Asha’irah yang dipelopori imam
Ash’ari lebih condong kepada syara’, sedangkan Mu’tazilah lebih mementingkan
akal, dan syara’ hanyalah sebagai pelengkap saja.
Berlandaskan pendapat yang di amini Asha’irah, maka tidak
satupun perbuatan manusia yang dikenakan hukum apabila rasul belum dibangkitakn
dan syara’ belum diturunkan.Sedangkan Mu’tazilah menyatakan ; Dengan perantara
akal, kita memiliki kemampuan untuk menentukan hukum dari segala perbuatan yang
dikerjakan manusia, tentunya dengan bantuan sifat baik dan buruk yang
terkandung didalam setiap perbuatan tersebut.
Terdapat sekelompok mazhab yang berusaha menengahi dua
pendapat diatas, golongan tersebut ialah Maturidiyah dan beberapa kader hanafiyah.
Golongan ini juga mengamini kemampuan akal dalam menemukan baik-buruknya
sebagian besar perbuatan, akan tetapi menolak jika hal tersebut mengharuskan
syara’ untuk memberikan perintah atau larangan. Oleh karena itu hukum Tuhan
tidak dapat diketahui kecuali melalui perantara syara’.
Alangkah baiknya jika kita mengetahui apakah yang dimaksud
dengan Istilah baik dan buruk. Setidaknya istilah tersebut digunakan pada
beberapa tempat :
•
Baik berarti budi pekerti
atau perangai dan akhlak mulia, sedangkan buruk adalah lawannya.Menyakiti orang
dan berbohong adalah hal buruk sedangkan jujur dan menolong adalah hal baik.
Tak dapat dipungkiri bahwasanya hal-hal tersebut dapat menimbulkan cela atau
puja terhadap pelakunya.
•
Baik berati perbuatan yang
menimbulkan pahala dan surga, sedangkan buruk berarti perbuatan yang
menimbulkan dosa dan siksa..
Objek permasalahan hanya tertuju pada baik-buruk yang dapat
menimbulkan pahala dan dosa. Asha’irah sendiri berpendapat : Jika sifat
baik-buruk telah melekat pada setiap perbuatan maka sifat tersebut tidak akan
pernah terlepas dari perbuatan yang memilikinya. Akan tetapi baik-buruknya
perbuatan adalah sebuah relativitas, yaitu perbuatan baik terkadang menjadi
buruk dan sebaliknkya. Sebut saja ketika
seorang nabi diburu oleh penjahat, singkat cerita sang nabipun bersembunyi di
dalam rumah. Si jahat pun bertanya kepada seseorang yang mengetahui tentang
keberadaan sang nabi, apabila yang ditanya berkata jujur maka melayanglah nyawa
nabi, tetapi jika ia berbohong maka terselamatakanlah satu nyawa mulia oleh
kebohongannya tersebut .Berdasarkan hal tersebut maka tidak mungkin bagi akal
untuk mengetahui baik-buruknya suatu perbuatan tanpa bantuan dari syara’.
Mu’tazilah yang memilih akal berkata : Semua orang dari
zaman dahulu hingga sekarang meyakini bahwa menyakiti orang adalah perbuatan
terlarang , baik pemeluk agama atau tidak, hal tersebut tetaplah dianggap
buruk.
Perseteruan tentang baik-buruk melahirkan masalah yang
lain, yaitu:
1. Mensyukuri Pemberi Nikmat.
Pemberi nikmat ialah Allah Swt dan berterimakasih adalah
dengan membebani diri dengan menjauhkannya dari hal buruk dan mengharuskannya
melaksanakan hal baik.
Asha’irah mengatakan bahwasanya hal tersebut tidaklah wajib
karena jika wajib maka orang yang meniggalkannya berhak mendapat siksa,
sedangkan Allah Swt berfirman:
وما
كنا معذبين حتي نبعث رسولا )الاءسراء: 57(
Ayat ini jelas telah meniadakan siksa yang berarti, Tuhan
berkata: Bukanlah urusan kami dan kami tidak berhak untuk menyiksa manusia
sampai kami mengutus seorang rasul yang membimbing dan menjelaskan tentang apa
yang harus mereka kerjakan dan tinggalkan.
Kemudian Asharian
mengemukakan argumen lain : Jika kewajiban untuk mensyukuri nikmat hanya
bertumpu pada kemampuan akal maka hal tersebut akan menghasilkan dua
kemungkinan:Syukur tersebut memiliki faidah atau tidak. Jika tak memiliki
faidah berarti sia-sia, dan tak mungkin kesia-siaan tersebut berasal dari
syara’. Jika memiliki faidah pun tidak
akan membuatnya benar dan wajib dilaksanakan karna jika faidah tersebut kembali
untuk Tuhan , faidah yang berarti mendapat manfaat dan terhalang dari mudharat
tidak mungkin untuk dinisbatkan kepada Tuhan. Faidah tersebut juga tidak
mungkin diiperuntukkan kepada manusia karna jika faidah tersebut bersifat ukhrawi , sedangkan ketika itu manusia
tidak mempunyai sedikitpun pengetahuan tentang Akhirat, apalagi yang akan ia
dapatkan di sana, dan tak mungkin juga jika faidah tersebut bersifat dunyawi karna yang dimaksud dengan
bersyukur ialah membebani diri dengan melakukan hal-hal baik dan menjauhi hal
buruk yang termasuk berat bagi manusia, dan membebani diri bukanlah termasuk
faidah. Apabila tidak ada faidah maka tiada pula kewajiban, dan mensyukuri
nikmat tidaklah wajib.
2.
Perbuatan ikhtiyari Sebelum
Kebangkitan Rasul
Perbuatan manusia terbagi menjadi dua :idhtirariydan ittifaqi. Idhthirari ialah perbuatanyang terjadi
tanpa kehendak manusia seperti gemetar, sedangkan ittifaqi ialahperbuatan yang mengikut sertakan kehendak dan campur
tangan manusia. Bagian kedua ini terbagi menjadi dua:
•
Tak mungkin untuk tidak
melakukannya seperti bernapas dan makan-minum. Bagian ini disebut Dharuri.
Objek permasalahan terdapat pada nomer kedua dari bagian
kedua, ketika manusia memiliki kemampuan untuk meninggalkan dan mengerjakan
suatu perbuatan, sedangkan akal tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui
baik-buruk yang terkandung didalamnya.
Pada kasus ini, Asha’irah dan Mu’tazilah pun terpecah
menjadi tiga golongan. Sekelompok berkata boleh, sedangkan yang lain berkata
haram, dan sisanya lebih memilih diam (Tawaqquf).
Golongan yang berpendapat haram berpendapat bahwa melakukan perbuatan ikhtiyaritermasuk mengotak-atik milik
Tuhan tanpa seizinnya. Perbuatan tersebut haram karna mengotak-atik barang
milik manusia tanpa seizinnya saja adalah haram.
Pendapat ini tertolak karna terdapat perbedaaan besar
antara manusia dan Tuhan. Apabila manusia mendapatkan kerugian dengan miliknya
yang telah diotak-atik maka tidak dengan Tuhan yang tak mempunyai resiko kerugian dengan apa yang
diperbuat orang lain terhadap miliknya. Hal ini membatalkan perbandingan
anatara manusia dan Tuhan.
Golongan yang berpendapat boleh berpendapat bahwa Tuhan
menciptakan perbuatanperbuatan ikhtiyarikarna
memiliki tujuan karna tiadanyatujuan memberi kesan bahwa perbuatan tersebut
sia-sia yang mustahil bagi Tuhan, dan tujuan tersebut tidaklah diperuntukkan
buat Tuhan karna ia tak butuh apapun. Tujuan tersebut juga tidak merugikan
kita, tetapi memiliki banyak manfaatuntuk kita, baik manfaat yang bersifat dunyawi seperti bersedap-sedap
danmenambah kehidupan, atau bersifat diniy
ilmiyseperti berdalil atas kekuasaan Tuhan dengan memakan buah tersebut,
atau diniy amaliyseperti seperti
menjauhi buah tersebut karna mudharrat yang dikandungnya dan hal itu tak
mungkin diketahui kecuali dengan memakannya.
II. Mahkum
Bih
1. Definisi Mahkum
Bih
Perbuatan mukallaf
yang terkait dengan hukum Tuhan. Baik sebuah tuntutan(iqtidha’), atau pilihan(takhyir),
maupun ketentuan(wadh’i).
Firman Allah Swt ”Dan
tunaikanlah shalat” mengandung kewajiban yang terkait dengan suatu
perbuatan yaitu mendirikan shalat maka firman diatas telah membuat perbuatan tersebut
menjadi wajib.[4]
Para ushuliyyin menyatakan bahwa pembebanan hanya terdapat
pada perbuatan(fi’il). Lalu bagaimana
dengan hukum wadh’i yang kadang tak
memiliki kaitan denga perbuatan mukallaf? Ulama’ berpendapat untuk menta’wil
hukum wadh’i menjadi perbuatan
mukallaf. Contohnya seperti tergelincirnya matahari adalah hukum wadh’i yang diciptakan Tuhan sebagai
sebab bagi kewajiban shalat untuk mukallaf. Maka keterkaitan hukum wadh’i dengan perbuatan mukallaf ialah
dengan perantara hukum taklifiy, karna
tanpa bantuan hukum taklifiyhukum wadh’ihanyalah sikon dan fenomena alam
yang tak ada kaitannya dengan perbuatan mukallaf.[5]
2. Syarat-syarat Mahkum Bih
Terdapat tiga perkara yang membuat suatu perbuatan menjadi
cocok untuk dibebankan. Antara lain:
A.
Perbuatan yang dibebankan harus
benar-benar dikuasai oleh mukallaf, sampai ia mendapatkan gambaran(tasawwur) tentang tujuan dan tata cara
praktek yang dituntut. Atas dasar ini seseorang tidak terbebani untuk melakukan
shalat sampai ia mengetahui rukun-rukun, syarat-syarat, dan tata cara
melaksanakannya.
B.
Perbuatan tersebut harus diketahui
mukallaf bahwasanya ia mengandung tuntutan Tuhan agar perbuatan tersebut dapat
dianggap sebagai suatu keta’atan dan melaksanakan perintah Tuhan. Pengetahuan
yang dimaksud disini ialah kemungkinan seseorang untuk mengetahuinya bukan
pengetahuan yang telah ada. Jika pengetahuan yang telah ada dijadikan syarat
bagi sahnya suatu beban maka semua orang yang tak beribadah akan berdalih bahwa
ia tak terkena beban karna keiidaktahuannya tentang tuntutan Tuhan.
C.
Perbuatan yang dibebankan harus
bersifat mungkin, yaitu mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan oleh
manusia.
Muhal Lizatih
dan Muhal Lighairih
Muhal lizatih atau
mustahil karena dirinya sendiri ialah ketika akal tidak kuasa untuk
membayangakan realitas hal (perbuatan mustahil) tersebut, Sedangkan Muhal lighairih atau mustahil karna
sesuatu yang lain ialah ketika akal mampu untuk membayangkan hal itu.
Jumhur berpendapat bahwasanya tidak mungkin bagi syara’
untuk membebankan suatu hal yang mustahil. Allah Swt berfirman :
لايكلف الله نفسا إلا وسعها)البقرة: (
Berbeda dengan Asha’irah
yang berpendapat bahwa mungkin bagi syara’ untuk membebankan hal mustahil
karena jika hal tersebut tidak mungkin maka ia takkan pernah ada, tetapi
ternyata ia pernah ada dan terjadi. Buktinya ialah orang kafir yang tetap
terbebani walaupun Tuhan telah mengetahui bahwasanya si kafir tersebut akan
tetap tegas di dalam kekafirannya. Contohnya Abu Jahal,walaupun Allah telah
mengetahui bahwasanya Abu jahal akan tetap dalam kekafirannya tetapi, tetap
saja Abu jahal di tuntut untuk beriman. Dan kami menolak jika memberi beban
dengan hal mustahil akan terhitung sia-sia karna sesungguhnya faidah dari hal
tersebut ialah ujian bagi mukallaf jika ia berhasil melaksanakannya walau
sedikit ia akan diberi pahala, tetapi jika tidak sama sekali maka ia berhak
untuk mendapat siksa.
3. Membebani Orang Kafir Dengan Cabang-cabang
Agama
Para Ulama’ telah sepakat bahwasanya orang kafir tertuntut
oleh dasar-dasar agama seperti mengimani Tuhan,nabi dan bagian iman lainnya,
sebagaimana mereka terbebani pula dengan hukuman-hukuman seperti qishas dan mu’amalah seperti berdagang yang tak membutuhkan adanya iman.
Kemudian mereka berbeda pendapat apakah si kafir juga terbebani dengan
cabang-cabang agama seperti shalat, hajji, puasa, dan zakat. Para ulama’
terbagi menjadi tiga golongan :[6]Golonganpertamaberpendapat
bahwa orang kafir terbebani dengan mutlak. Pendapat ini di sokong oleh jumhur,
sebagian fuqoha’ mengatakan bahwa
mereka mutlak tidak terbebani, sedangkan golongan ketiga membedakan bahwa
mereka terbebani dengan larangan dan tidak terbebani dengan perintah.
v Argumen golongan
pertama
•
Allah Swt berfirman:
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين
حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة)البينّة:7( ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه
سبيلا ومن كفر فإن الله غني عن العالمين) الّ عران:75(
Ayat-ayat ini mengandung perintah yang juga ditujukan untuk
orang-orang kafir, karena kekafiran mereka bukanlah penghalang yang membuat
mereka tidak terkena beban, karena
mungkin bagi mereka untuk menghilangkan kekafiran tersebut dengan iman.
Seperti hadas yang tidak mencegah wajibnya shalat karna mungkin untuk
menghilangkannya dengan bersuci.8
•
Jika mereka tidak terkena
beban dengan cabang-cabag agama, mengapa Tuhan mengancam mereka atas ma’shiyat
yang mereka perbuat dan ibadah yang mereka tinggalkan?.
Imam Juwainy berkata dalam waraqat:
“Dan orang-orang kafir jua terbebani dengan cabang-cabang
agama dan yang membuat cabang itu sah yaitu islam. Allah Swt berfirman:
ما
سلككم في سقر قالوا لم نك من المصلين )المدثر:46-44(
v
Argumen golongan kedua
Nabi Saw bersabda
أن النبي
صلى الله عليه وسلم بعث معاذا رضي الله عنه إلى اليمن فقال ادعهم إلى شهادة أن لا
إله إلا الله وأني رسول الله فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله قد افترض عليهم
خمس صلوات في كل يوم وليلة فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم
.صدقة في أموالهم تؤخذ من
أغنيائهم وترد على فقرائهم
Hadist ini menunjukkan bahwa Nabi Saw memerintahkan shalat
dan zakat ketika iman telah mereka yakini dan syahadat telah mereka ucapkan.
Hal tersebut menjelaskan bahwa cabang-cabang agama takkan dibebankan kepada
mereka jika mereka belum beriman karna
jika tidak, mereka akan tetap diperintahkan untuk melaksanakan cabang agama
walau dalam keadaan kafir
v
Argumen golongan ketiga
Jika mereka terbebani dengan perintah maka mereka pasti
tertuntut untuk melaksanakannya, tetapi mereka tidak tertuntut untuk
mengerjakannya maka perintah tidak berlaku bagi mereka karena tertuntutnya
mereka untuk melaksanakan perintah tidak mempunyai faidah, baik ketika mereka
masih kafir karna ibadah membutuhkn niat yang mustahil dilakukan orang kafir,
atau ketika mereka telah memeluk islam karna tidak diwajibkan bagi mereka untuk
mengganti shalat yang mereka tingggalkan. Jika tak terdapat faidah maka tak ada
tuntutan karna mustahil bagi tuhan untuk menuntut hal yang sia-sia.
III. Mahkum ‘Alaih
1. Definisi.
mahkum ‘alaÎhadalah
orang yang melakukan perbuatan yang terkait dengan perintah Tuhan. Orang
tersebut disebut Mukallaf.[7]
2. Masalah-masalah
A. TaklÎf Ghafil
Ghafil ialah
seorang muslim yang telah balig lagi berakal tetapi tidak sadar bahwa perintah
telah ditujukan kepaadanya. Seperti orang yang tidur, orang yang sedang lupa,
dan orang yang sedang mabuk.[8]
Para ulama’ berbeda pendapat tentang apakah orang ghafil ini terkena hukum taklifiyatau tidak?, , sedangkan hukum wadh’itidak menuntut pengetahuan
mukallaf tentang khitab yang tertuju kepadanya, atau balignya dia, dan
berakalnya maka orang tidur, lupa, mabuk tetap terkena dengan hukum wadh’i.
B.
Taklif Al-muhal dan Taklif
Bil Muhal.
TaklÎf al-muhal ialah
membebani seseorang yang tidak mungkin untuk melaksanakan perbuatan atau
larangan yang dititahkan. Adapun taklÎf
bil-muhal ialah ketika seseorang diberikan beban dengan suatu perbuatan
yang mustahil.[9]Oleh karena itu taklif ghafil termasuk dalamkategori taklif al-muhal. Terdapat dua pendapat
ulama’ tentang masalah taklif ghafil
: sebagian berkata boleh dan yang lain berkata tidak.
v
Argumen golongan yang tidak
membolehkan
Jika boleh maka pasti ia mempunyai faidah; tetapi karna
faidahnya tidak ada maka ia tidak mungkin untuk dibebankan, karana pembebanan
yang tak ada artinya adalah sia-sia, dan mustahil bagi Tuhan untuk membebankan
hal yang sia-sia.[10]
v
Argumen golongan yang
membolehkan
Seperti taklÎf
bil-muhal yang mungkin untuk dibebankan, begitupun dengan taklÎf al-muhal. Karna faidah bukanlah
syarat muthlak dibebankannya suatu perbuatan, dan tak mungkin untuk mengatakan
hal tersebut sia-sia karen sia-sia mustahil bersaal dari Tuhan.
C.
TaklÎf Al-mukrah
Ikrah ialah
ketika seseorang memerintah orang lain dengan sesuatu yang tidak disukai orang
yang diperintah.[11]
Macam-macam ikrah
•
Ikrah Mulji’
•
ikrah ghair mulji’
[1] Wahbah Zuhaily, Ushul fiqh al-islamiy, vol. I, dar
el-fikr, Beirut, cet. I , 1986,hal. 115.
[2] Abdul Karim Zaidan, Alwajiz fÎ ushul fiqh, muassasah ar-risalah,
Damaskus, cet. I, 2012, hal. 55. 3Abdul Karim Zaidan, op. Cit., hal.
[4] Wahbah Zuhaily, Ushul fiqh al-islamiy, vol. I, dar
el-fikr, Beirut, cet. I , 1986, hal. 132.
[5] Ibid. hal. 133
[6] Abd Al-fattah Husainy
As-shaikh, Buhuts FÎ Ushul Fiqh, vol.
I, muqarrar, Al-azhar, cet. XI,2012,, hal.113 8Abd Al-fattah Husainy
As-shaikh, op. Cit.,hal. 113
[7]
Wahbah Zuhaily, Ushul fiqh al-islamiy,
vol. I, dar el-fikr, Beirut, cet. I , 1986,hal. 157.
[8]
Abu Nur Zuhair, Ushul Fiqh, vol. I,
dar el-bashaer, Kairo, cet. I, 2007, hal.215.
[9] Ibid. hal. 215
[10] Abd Al-fattah Husainy
As-shaikh, Buhuts FÎ Ushul Fiqh, vol.
I, muqarrar, Al-azhar, cet. XI,201,, hal. 97
[11]
Abu Nur Zuhair, Ushul Fiqh, vol. I,
dar el-bashaer, Kairo, cet. I, 2007, hal.216.
Comments
Post a Comment