Mukjizat al Qur'an; Stabilisasi dan Varian


Setiap muslim, yang mengaku muslim, dan sebagian yang bukan muslim pasti mengenal al Qur’an. Kitab suci agama Islam tersesbut diklaim sebagai mukjizat nabi Muhammad Saw yang abadi tak lekang oleh waktu. Semenjak kecil anak-anak Islam telah didoktrin tentang varian mukjizat Rasulullah Saw. beliau diyakini telah dianugerahkan Tuhan dengan dua varian Mukjizat; mukjizat abadi atau al Qur’an, dan mukjizat temporal atau mukjizat-mukjizat inderawi yang tinggal dongeng belaka. Mukjizat-mukjizat inderawi ini pada umumnya dimiliki oleh setiap nabi dan rasul, tetapi hanya Nabi Saw saja yang diistimewakan dengan mukjizat abadi. Ini adalah suatu kebanggan bagi beliau dan umatnya, jika nabi-nabi lain dianugerahkan mukjizat inderawi, Rasulullah justeru dianugerahkan mukjizat ilmiah, suatu mukjizat yang dapat disadari hanya oleh orang berilmu, mukjizat yang memantik kesaktian akal, mukjizat yang tak terbendung keajaibannya.

Tentu mukjizat jenis ini tidak sama dengan mukjizat inderawi yang memang membuat saksinya terbelalak kaget, mukjizat yang tak masuk akal, yang menantang para musuh nabi. Tetapi kekurangan mukjizat jenis ini adalah efektivitasnya yang temporal, ia diketahui oleh para penontonnya saja, sedangkan untuk mereka yang muncul pasca kejadian tersebut hanya mendengarkan khabar. Kemudian, jika mukjizat inderawi para nabi lain dipergunakan sebagai tantangan, tidak dengan mukjizat inderawi rasulullah, seringkali mukjizat inderawi beliau tidak diperlihatkan kepada khalayak ramai, tidak dipergunakan untuk membuktikan kenabiannya, sebaliknya beliau justeru mengandalkan mukjizat ilmiahnya atau al Qur’an dalam tantangan tersebut.
Jika al Qur’an adalah mukjizat, lalu dari segi apakah kemukjizatan itu? bukankah ia hanya kata-kata berbahasa Arab.! lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak mengerti Arab, apakah kemukjizatan masih berlaku pada mereka? Pertanyaan ini tentunya masih dipertanyakan oleh sebagian besar umat muslim baik mereka yang awam atau terpelajar. Jawaban akan pertanyaan tersebut jarang sekali diajarkan kepada para santri di Indonesia, mungkinkah karena materinya yang berat, atau minimnya referensi dalam hal tersebut.?
Sejatinya teori kemukjizatan al Qur’an telah diperbincangkan semenjak dahulu, sisi-sisi kemukjizatan-nya diperdebatkan bahkan sampai sekarang. Ilmu kemukjizatan al Qur’an adalah ilmu yang berevolusi, setiap generasi baru mempunyai potensi untuk melahirkan sisi kemukjizatan yang baru. Dahulu sekali para pendahulu kita mengemukakan beberapa varian kemukjizatan al Qur’an. Diantara mereka berpendapat bahwa informasi tentang hal-hal gaib, ramalan peristiwa masa depan, dan epos bangsa-bangsa kuno dengan akurat merupakan kemukjizatan al Qur’an. Menurut ulama lain jurisprudensinya lah yang mukjizat, bahkan para rasionalis Islam berpendapat bahwa kemukjizatan al Qur’an adalah Shirfah, suatu kondisi dimana kemampuan orang-orang Arab dahulu dilumpuhkan sehingga tak berdaya melawan mukjizat al Qur’an itu, artinya sebenarnya mereka mampu untuk melawan kemukjizatan itu tetapi ketika perlawanan itu dimulai Tuhan melumpuhkan kemampuan mereka. Teori mutakhir ini diamini oleh sebagaian besar muslim dinasti Abbasiah karena pada waktu itu paham Mu’tazilah adalah doktrin resmi yang berlaku. Sarjanawan Sunni tidak tinggal diam dengan paham tersebut, mereka menemukan banyaknya ketimpang-tindihan jika konsep Shirfah disematkan pada kemukjizatan al Qur’an. Bahkan tokoh yang pertama kali meragukan keabsahan Shirfah muncul dari dalam sekte Muktazilah sendiri, ia dikenal dengan al Jâhidz murid serta kawan al Nadzzam yang getol memprogandakan konsep Shirfah. Al Jâhidz memprakarsai teori baru terkait kemukjizatan al Qur’an, menurutnya kemukjizatan al Qur’an adalah Nadzamnya atau susunannya yang tak dapat disandingkan dengan omongan atau sastra-sastra manusia baik berbahasa Arab atau Bahasa manapun. Teori Nadzam ini kemudian diperkokoh dan dielobarasi oleh tokoh Sunni imam Abdul Qâhir al Jurjani dalam dalâil al i’jaz. Dalam karya tersebut al Jurjani mengejewantahkan keabsahan Nadzam sebagai mukjizat al Qur’an, dan menegasi sisi-sisi lain dalam kemukjizatan tersebut.
Selain sisi-sisi tersebut terdapat varian lain yang tidak kalah menarik yaitu mukjizat saintis. Setelah mayoritas muslim kehilangan kemampuan dalam menghayati teks-teks sastra Arab, sisi kemukjizatan saintis al Qur’an semakin memperkuat eksistensinya. Tidak sedikit ilmuwan kafir masuk Islam gara-gara terkejut dengan fakta ilmiah dalam kitab tua tersebut. sebut saja Dr. Maurice Bucaille seorang ahli bedah berkebangsaan Perancis yang menulis buku tentang Islam, Al Qur'an dan ilmu pengetahuan modern. Kemudian Syaikh Thantawi al Jauhari dengan 13 jilid tafsir saintisnya. Sisi ini patut diperhitungkan jika mengingat kemampuan al Qur’an yang dapat beradaptasi dengan ruang dan waktu.
Sisi-sisi di atas hanyalah sedikit dari varian kemukjizatan al Qur’an karena keajaiban al Qur’an ini tiada terbendung dan tidak mungkin menetapkan satu sisi dan menafikan sisi yang lain.
Adapun mengenai stablisasi atau pemantapan kemukjizatan al Qur’an adalah pengukuhan autentisitas sumber al Qur’an itu sendiri, tentang ketidak-mungkinan datangnya dari diri Nabi Saw, atau manusia dan makhluk fana lainnya. Tetapi ia adalah firman Allah Swt.
Al Qur’an adalah teks yang memiliki nilai sastra yang tinggi, jika ia adalah perkataan Rasulullah maka seharusnya beliau menyematkan al Qur’an kepada dirinya, bukankah ini akan menambah wibawanya sebagai seorang pujangga sastra yang dielu-elukan warga zaman itu? Bagaimana mungkin seseorang merelakan karya monumentalnya kepada orang lain di saat banyak orang yang mencuri karya orang lain kemudian menganggap itu adalah kepunyaannya.!
Mungkin ada yang berkata: beliau menisbatkannya kepada Tuhan agar perkataan tersebut memiliki daya tarik untuk dipatuhi. Tetapi anggapan ini dapat dibenarkan hanya jika orang tersebut rela menghalalkan segala cara agar ucapannya ditaati, dan hal ini tidak didapati dalam kepribadian Rasulullah. Bukankah beliau sendiri memiliki sabda pribadi yang sama-sama ditaati oleh pengikutnya. Dan perbedaan antara sabdanya dengan firman Tuhan seperti perbedaan beliau dengan Tuhan.
Selain itu seringkali beliau dihadapkan dengan masalah yang membutuhkan kedatangan wahyu tetapi ia tak kunjung datang sesuai kehendaknya. Hal ini sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa fitnah yang menimpa Bunda Aisyah. Wahyu tidak lantas muncul menjawab masalah yang ada, tetapi ditangguhkan sampai waktu dimana Tuhan berkehendak menurunkannya.
Lalu bagaimana dengan kritik yang dilayangkan kepada Nabi Saw. apakah ada orang yang mengkritik dirinya sendiri. Juga dengan ketergesa-gesaan nabi untuk melafalkan wahyu supaya beliau dapat menghapalnya sehingga Tuhan menasihatinya dan menjamin keterjagaan al Qur’an.
Jika Rasulullah menukil al Qur’an dari orang lain, lalu siapa orang itu? Tidak mungkin berasal dari kaumnya karena mereka adalah orang yang buta huruf, tidak mungkin mengajarkan nilai-nilai atau peraturan yang ada dalam al Qur’an. Tidak mungkin pula berasal dari bangsa jin karna tidak ada satupun informasi mengenai adanya tantangan jin terhadap al Qur’an.
Rasulullah memang pernah bertemu dengan dua pendeta. Pendeta pertama ditemuinya ketika remaja. Tidak ada yang aneh dalam pertemuan tersebut, sang pendeta hanya menasihati Abu Thalib paman Rasul untuk membawanya pulang ditakutkan adanya pemboikotan orang-orang romawi. Begitu pula dengan pendeta kedua, Waraqah bin Naufal hanya menjelaskan bahwa yang mendatangi Rasul adalah utusan yang mendatangi Musa As dahulu. Jika Rasulullah belajar dari mereka, seharusnya pertemuan di antara mereka terjadi berulang kali, tetapi faktanya beliau hanya menemui mereka sekali saja. Kedua pendeta itupun telah mati sementara firman Tuhan masih diwahyukan kepada Nabi Saw. Adapun orang-orang Kristen yang datang menemui nabi, atau orang yahudi yang mendebatnya, di antara mereka terjadi perdebatan, bukan pertukaran ilmu. Rasulullah membuktikan distorsi yang telah mereka perbuat. Apakah rasulullah kemudian menukil dari orang-orang yang telah beliau salahkan.!


Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons