Mitologi al Qur’an; Pro dan Kontra
Hampir tiada
satupun kitab suci suatu agama yang tidak mencantumkan cerita dan epos.
Nampaknya kisah-kisah itu memainkan peran signifikan dalam teologi dan perkembangan jurisprudensinya. Hal ini sangat kentara jika merujuk Taurat
atau Perjanjian Lama yang sejumlah besarnya dialokasikan untuk informasi sejarah dan riwayat hidup nabi-nabi
bangsa Israel pra nabi Musa As dan setelahnya. Sebab itu, memahami Yahudi
sebagai suatu kepercayaan takkan terwujud tanpa membaca terlebih dahulu sejarah
dan riwayat hidup bangsa Yahudi itu sendiri karena pada kenyataannya teologi
Yahudi adalah kompilasi dan konklusi dari peristiwa-peristiwa yang menemani kehidupan bangsa tersebut.[1]
Al Qur’an
sendiri sebagai kitab suci Islam juga memuat banyak kisah. Tetapi banyaknya kisah
ini tak lantas menjadikan al Qur’an sebagai dokumen sejarah. Kisah-kisahnya
hanya menekankan nilai bukan detil-detil sejarah seperti perjanjian lama. Itulah perbedaan mendasar dalam kedua penyampaian cerita al
Qur’an dan perjanjian lama.
Ketika al Kitab
menerangkan detil-detil sejarah hal yang patut dipertanyakan adalah keotentikan
realita, apa ia benar-benar sperti yang diinformasikan adatau tidak. Lain halnya dengan al Qur’an
yang menggamblangkan alur cerita dan menekankan nilai maka pertanyaan
mengenainya hanya berkutat seputar keotentikan nilai. Hal ini tidak dapat
dielakkan selama al Qur’an adalah juru hidayah bukan buku sejarah. Tetapi
bagaimana jika cerita Qur’ani ini dikaitkan dengan mitos?
Mitos dalam
Bahasa Arab usthûrah ((أسطورة adalah
suatu cerita yang bersumber pada ketidak-jelasan. Cerita imajinatif ini
galibnya berkaitan dengan fenomena alam atau bencana yang terjadi. Ia muncul
berusaha menjelaskan sebab dibalik fenomena tersebut secara inderawi agar
dimengerti oleh manusia. Walaupun cerita ini dibuat-buat, ia seringkali
mendapat tempat yang kudus dalam sebagian besar masyarakat, terkadang ia
dikaitkan dengan agama supaya masyarakat lebih mengamininya.[2]
Seperti mitos adanya sapi raksasa di bawah bumi yang jika bergerak dapat
menimbulkan gempa bumi yang besar.[3]
Jika skala kebohongan mitos lebih besar dibandingkan kebenarannya apakah
ia patut untuk disematkan kedalam al Qur’an yang telah membuktikan ceritanya
adalah kisah yang benar. Seringkali ia mengiringi kisahnya dengan ayat inna
hâza lahuwa’l qashashu’l haqq agar umat islam tidak meragukan lagi
keotentikan kisah tersebut.
Menurut sejumlah peniliti, tidak mustahil jika al Qur’an menggunakan
mitos atau tokoh mitologi dalam kisahnya. Hal ini tidak mengurangi keotentikan
al Qur’an karena kebenaran yang disematkan kepada kisah-kisahnya adalah
kebenaran nilai bukan fakta sejarah. Hal ini seperti yang dapat ditemui dalam
kisah Ashhâbu’l kahfi, sebagian penafsir klasik berpendapat bahwa
al Qur’an dalam hal ini tidak menjelaskan fakta sejarah, akan tetapi ia
menceritakan kisah tersebut sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang Yahudi
terkait bilangan penghuni goa dan tahun yang mereka lalui. Karena sebab
turunnya kisah tersebut adalah tanya-jawab yang didapatkan musyrikin Mekah dari
orang-orang Yahudi untuk dipertanyakan kepada Rasulullah Saw agar mereka
mengetahui siapakah dibalik sosok Nabi Saw. seorang nabikah atau seorang
peramal. Oleh karena itu jawaban yang dapat membuktikan kenabian Rasulullah
adalah jawaban yang diberikan Yahudi kepada musyrikin Mekah bukan fakta
sejarah.[4]
Selain tidak mengurangi keotentikan al Qur’an mitologi ini justeru
merupakan salah satu bentuk kemukjizatan al Qur’an, ia telah melahirkan sebuah
bentuk baru dalam sastra arab, ia memanfaatkan mitos dalam cerita-cerita
religi, dan membuat cerita mitologi tersebut menjadi suatu sastra yang bernilai
tinggi. Hal ini adalah suatu yang baru di tengah-tengah kesusastraan Arab,
pembaharuan yang diprakarsai al Qur’an ini bukan hal lazim dikalangan mereka,
sebab itu mereka menolak dan mengingkarinya.[5]
Kata mitos atau usthûrah galib disebutkan dalam al Qur’an ketika
ia menceritakan komentar musyrikin Mekah terhadap ayat-ayat yang disampaikan
Rasulullah Saw. mereka berkata: in hiya illâ asâthîru’l awwalîn.[6]
Menurut Dr. Khalafullah redaksi ayat-ayat tersebut membuktikan keberadaan mitos
(asâthîr) dalam al Qur’an. Intensinya bukan negasi atas eksistensi
mitos, tetapi negasi jika referensi al Qur’an adalah Rasulullah Saw.[7]
Nampaknya Khalafullah menolak jika “kisah-kisah al Qur’an” harus
mengandung realitas dan ketiadaan imajinasi. Kisah-kisah al Qur’an versinya
tidak jauh beda dengan definisi kisah perspektif sastrawan. Menurut ahli sastra
suatu kisah adalah karya sastra yang lahir dari imajinasi pendongeng untuk
setiap peristiwa yang dilakoni oleh seorang ksatria tak berwujud, jika ia
pernah ada maka kejadian itu tidak pernah terjadi, atau pernah ada dan terjadi
tetapi disampaikan melalui seni yang membuatnya mendahulukan yang akhir dan
sebaliknya, menerangkan sebagian dan menghapus sebagian lain, atau menambahkan
hal yang tidak terjadi dalam kisah, atau menggambarkannya sebagai suatu yang
luar biasa dan tidak lazim, lebih menyerupai tokoh legenda ketimbang sejarah.[8]
Menurut Dr. Syamah tiada satupun agama di muka bumi ini yang terlepas
dari mitologi, bahkan Islam. Hal ini disebabkan hierarki pemahaman masyarakat
itu sendiri. Hanya segelintir masyarakat yang mampu mengeksplorasi teks dan
menemukan hal yang tersirat. Jika suatu agama menekankan sisi ilmiah dan teori
filosofi saja maka sebagian besar pemeluknya akan kesulitan memahami agama
tersebut, bahkan bagi kalangan terpelajar yang telah terdidik, karena watak
manusia itu lebih cenderung menyukai hal-hal luar biasa dan tidak lazim.[9]
Akan tetapi perlu dibedakan antara mitologi al Qur’an dengan mitologi
agama-agama lainnya. Mitologi al Qur’an hanya menekankan sisi rasional, karena
ia menganjurkan umat Islam untuk mencari sebab ilmiah di balik fenomena alam,[10]
ia menolak pengetahuan yang didasari prasangka dan sentiment pribadi,[11]
dan ia menuntut adanya bukti logis atas keabsahan dakwa dalam setiap
problematika kehidupan.[12]
Kisah-kisah yang dianggap oleh orang-orang awam sebagai mitos belaka
oleh para pemikir dan filsuf dipahami dengan pendekatan eksklusif. Melalui
kisah-kisah tersebut mereka mampu menelurkan kaidah-kaidah metodis yang bahkan
lebih kompleks dari penelitian ilmiah. Seperti kisah perjumpaan Nabi Musa As
dengan tokoh yang diklaim sebagai nabi Khidir. Jika orang-orang awam hanya
menekankah sisi mitologi dalam perjumpaan tersebut dengan menjelaskan asal-usul
Khidir berikut keabadiannya, maka para pemikir memahaminya sebagai salah satu
unsur yang dapat memajukan peradaban manusia yaitu penelitian ilmiah terhadap
fenomena-fenomena alam dengan mempertanyakan sebab di balik fenomena tersebut,
tanpa ada kepuasan dengan hal-hal yang nampak karena galibnya ia menjerumuskan
ke arah klaim yang salah. Inilah yang tersirat dari kisah perjumpaan Musa As.
Beliau terburu-buru menyalahkan tokoh tersebut tanpa mempertanyakan dan
menanyakan dahulu maksud dibalik perbuatannya itu.[13]
Teori eksistensi mitologi al Qur’an rupanya tidak hanya diamini oleh Dr.
Khalafullah, menurutnya ia diprakarsai oleh dua ulama besar; imam Fakhruddin al
Razi dan imam Muhammad Abduh. Al Razi dalam menafsirkan ayat ke-39 surat Yunus
menerangkan “bahwa setiap kali musyrikin Mekah mendengarkan kisah al Qur’an,
mereka berucap: “kitab ini hanya mengandung mitos manusia lama”. Padahal mereka
tidak tahu bahwa yang dimaksud kisah tersebut bukan lahirnya, tetapi hal-hal
lain yang membedai lahiriah kisah tersebut.”[14]
Sedangkan imam Muhammad Abduh mengatakan: “
kisah-kisah yang terdapat dalam al Qur’an datang untuk memberi nasihat dan tauladan, bukan untuk menjelaskan sejarah atau mewajibkan muslim untuk mempercayai sejumlah kabar terkait orang-orang dulu… [15]
kisah-kisah yang terdapat dalam al Qur’an datang untuk memberi nasihat dan tauladan, bukan untuk menjelaskan sejarah atau mewajibkan muslim untuk mempercayai sejumlah kabar terkait orang-orang dulu… [15]
Sekilas bukti-bukti ini terlihat kokoh, maksud yang ditujunya pun
terdengar baik yaitu memproduksi nilai-nilai yang terkandung dalam kisah-kisah
al Qur’an. Tetapi metode yang ditempuh teori ini kurang sopan dan banyak
ketimpang-tindihan. Ayat-ayat al Qur’an disama-ratakan dengan teks-teks sastra
profan; al Qur’an tidak jauh berbeda dengan novel, cerpen, dan kisah-kisah
fiktif lawakan. Perbedaannya terletak hanya dalam skala kebohongan dan bumbu
agama.
Jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata teori keberadaan mitologi al
Qur’an ini adalah kegemaran orientalis. Saint Claire Tisdal berkata: “Tuan
Muhammad seringkali menukil mitos dan kepercayaan orang-orang Kristen kemudian
mencantumkannya dalam al Qur’an. Seperti Kisah ashâbu’l kahfi (para
penghuni goa) yang sejatinya merupakan mitologi Yunani yang tertulis dalam buku “kemuliaan
para martir” karya Gregorius.[16]
Perlu dibedakan antara kisah dan khabar dengan mitos. Jika kisah
memiliki kemungkinan benar dan salah tidak dengan mitos yang hanya mengandung
kebohongan. Mitos sejatinya adalah khurafat yang lahir dari imajinasi manusia
dalam menjelaskan fenomena alam yang tidak dapat ia mengerti. Al Qur’an sama
sekali tidak mengandung hal tersebut tetapi sebagian penafsir berusaha
mengkait-kaitkannya dengan mitos. Sebab
itulah dibentuk suatu disiplin ilmu yang membahas mitos-mitos dan israiliyyat
dalam tafsir agar tidak terjadi perbauran antara al Qur’an dengan mitos.
Jadi mitos bukan dalam al Qur’an tetapi dalam penafsirannya.
Selain itu, Musyrikin Mekah tidak membutuhkan mitos sehingga al Qur’an
memanfaatkan mitos sebagai materi dakwah dan pembaharuan sastra Arab
sebagaimana yang dikatakan Dr. Khalafullah. Sebaliknya, mereka kaya dengan
khurafat dan akrab dengan mitologi baik berbau agama atau fenomena alam. Jadi,
pendapat Dr. Khalaf tentang ketidak-akraban mereka dengan mitos agama tidak
benar. Dr. Syauqi Dhayf berkata: “Para pedagang asal Mekah mempunyai hubungan
dengan bangsa dari negeri-negeri tetangga. Buah dari hubungan tersebut adalah
pengaruh-pengaruh luar. Sebagian pengaruh tersebut mencakup mitologi dan
legenda bangsa-bangsa itu, dan masyarakat Mekah sangat senang dengan legenda
dan mitologi.[17]
Carl Brocklement berkata: “Penyair bukan satu-satunya tokoh yang
dikagumi oleh masyarakat Arab Jahiliah tetapi pendongeng juga mempunyai peran
penting dalam perjamuan malam mereka. . . para pendongeng ini menceritakan
mitos-mitos yang dikenal oleh dunia atau khurafat yang masyhur di kalangan arab
saja.[18]
Al Jahidz berkata: “Arab jahiliah mengenal sebuah cerita tentang nabi
Nuh As. Yang menemukan kawanan keledai yang enggan masuk ke dalam bahtera.
Beliau lantas berkata kepada keledai tersebut: “ Masuklah hai terkutuk”. Maka
masuklah Iblis ke dalam bahtera karena ia berada di dalam tubuh keledai. Ketika
Nuh As. Melihat Iblis di dalam bahtera beliau berkata: siapa yang mengizinkanmu
masuk hai terkutuk? Iblis berkata: engkaulah yang telah menyuruhku masuk. Nuh
berkata: kapan aku menyuruhmu? Iblis: ketika engkau berkata masuklah hai
terkutuk, karena di sini tidak ada yang terkutuk selain aku.[19]
Terdapat banyak contoh lain yang membuktikan Arab jahiliyah mengenal
banyak tentang mitologi dan khurafat sakral dan profan. Bahkan menurut menurut
Dr. Musthafa Hadarah sebagian peneliti memanfaatkan mitologi sebagai penafsiran
atas syi’ir-syi’ir jahiliyah. Hal tersebut dapat membantu mereka mengetahui
sejarah keagamaan dan social Arab kuno. Carlo Nallino berkata; barangkali
legenda-legenda itu yang mereka (Arab jahiliyah) maksudkan ketika mendengarkan
nasihat dan ancaman al Qur’an.[20]
Adapun komentar Arab Jahiliah terhadap al Qur’an dengan mengatakan “in
hâza illâ asâthîru’l awwalîn” sama sekali tidak membuktikan adanya mitos
dalam al Qur’an. Sebaliknya komentar tersebut menunjukkan kedunguan mereka
dalam memahami al Qur’an dan pembangkangan terhadap Rasulullah Saw. buktinya
Allah Swt mengecap mereka sebagai orang buta mata hatinya dan tuli di setiap konteks
ayat yang menceritakan komentar tersebut. pengecapan ini adalah bukti bahwa
Allah Swt menolak jika di dalam al Qur’an terdapat mitologi dan khurafat.[21]
Imam al Zamakhsyari menafsirkan ayat wa minhum man yastami’u
ilaiyka…: Penolakan mereka terhadap al Qur’an telah melampau batas sehingga
mereka mendebatmu (Rasulullah Saw). Allah Swt menerangkan bahwa debat dalam
ayat terebut adalah perkataan mereka in hâza illâ asâthîru’l awwalîn. Mereka
menganggap firman Allah adalah suatu khurafat dan kebohongan, dan ini sangat
berlebihan.[22]
Imam Muhammad Abduh menafsirkan ayat wailun yaumaizin li’l
mukazzibbîn: ketika mereka (Arab Jahiliah) dibacakan ayat yang membawa
informasi paling akurat tentang realita yang terjadi pada masa lampau, mereka
mengomentarinya: qâla asâthîru’l awwalîn. Mitos (asâthîr) adalah
perkataan yang tak beraturan, tidak sesuai dengan realita, tidak pantas untuk
dietiliti, akan tetapi kebanyakan manusia menyukainya. Beginilah kondisi umat
di zaman itu, ketika mereka diperdengarkan sebuah firman yang menkgkritik
kelakuan mereka, mereka mengomentari firman itu: firman itu sudah ma’lum tetapi
siapa yang akan mengamalkannya? Mengapa tak ada seorangpun yang mengamlkannya agar kami
jadikan ia sebagai panutan. Mereka menyifati al Qur’an dengan mitos manusia
lama (asâthiru’l awwalîn) sekalipun hal itu tidak diungkapkan melalui
kata-kata agar mereka bisa berpura-pura muslim dan selamat meskipun dengan dosa
yang mereka perbuat. Ayat-ayat itu sama sekali bukan mitos, atau dongeng yang
tidak memiliki realita dan kebenaran. Ia adalah kebenaran yang tidak diragukan
lagi, hal ini hanya diketahui oleh orang yang berpikiran bersih, sedangkan
untuk mereka yang kotor hatinya takkan mampu memahami kandungan ayat-ayat
tersebut.[23]
Hal ini menunjukkan bahwa Imam Muhammad Abduh tidak tegas dalam
menentukan pendapat terkait teori mitologi al Qur’an. Artinya, Imam Muhammad
Abduh dan imam al Razi bahkan para penafsir lainnya tidak menekankan satu
pendapat dalam menafsirkan suatu ayat agar tidak dikatakan hanya pendapat itu
sajalah yang benar. Selain itu jika menilik kembali ayat di mana al Razi
mencantumkan pendapat terkait masalah ini (Yunus: 38-40) ternyata ayat tersebut
sama sekali tidak dalam konteks cerita sehingga al Razi harus mencantumkan
pendapaat tersebut sebagai penafsiran atas ayat ini. Hal ini nampaknya dapat
dimaklumi melihat metode al Razi yang seringkali keluar konteks (isthithrâd).
Sebaliknya ayat tersebut tercantum dalam konteks tantangan al Qur’an kepada
orang-orang Mekah untuk mendatangkan perkataan yang sebanding dengan al Qur’an.[24]
Terakhir mengenai para penghuni gua (ashhâbul kahfi) yang
dianggap mitos oleh Dr. Khalaf. Sejatinya ayat-ayat yang tercantum dalam surat
al kahfi telah membuktikan kebenaran realita yang terjadi terkait para penghuni
gua, hal ini dapat dimengerti melalui beberapa hal:[25]
1.
Dalam ayat “am hasibta anna ashhâba’l kahfi wa al raqîmi kânû
min âyâtinâ ajaba” Allah Swt berfirman kepada mereka yang ragu dan takjub
dengan fenomena yang terjadi pada para penghuni gua, mereka yang akalnya tidak
mampu memahami hal tersebut, lantas menganggap al Qur’an memanfaatkan mitos
dalam dakwahnya; apakah fenomena para penghuni gua itu lebih menakjubkan dari
ciptaan Allah yang ada di muka bumi ini, dekorasi dan bagaimana Ia
menganugerahkannya alasan untuk hidup? kontemplasi terkait hal-hal ini pasti
akan mengurangi rasa takjub atas fenomen yang dialami para penghuni gua.
2.
Detil bilangan tahun yang mereka lalui. Al Qur’an menyebutkan bahwa
mereka telah tertidur selama 309 tahun bulan Qamariah. Hal ini sesuai dengan
bilangan yang disebutkan al kitab yaitu 300 tahun bulan Syamsiah karena dalam setiap
100 tahun bulan syamsiah terdapat 3 tahun bulan qamariah berlebih.
3.
Dr Abdullah al Imrani berkata: pada tahun 1962 tim arkeologi Yordan
menemukan letak gua persinggahan ashhâbu’l kahfi di desa bernama al Ramim yang
terletk tujuh Km dari Oman. Di dalam gua tersebut terdapat ukiran dan mata uang
Bizantium abad ke-3 masehi, sesuai dengan Firman Allah (fab’atsû ahadakum
biwariqikum). Selain itu, terdapat tujuh kuburan yang berisi tujuh
tengkkorak kepala manusia dan satu tengkorak anjing. Begitupula dengan kubah
masjid yang terletak di atap gua. . . bahkan matahari benar-benar terbit di
depan gua, dan membelakanginya ketika ia terbenam, jadi sinarnya tidak masuk ke
dalam gua. Hal ini persis seperti yang diternagkan al Qur’an.
[1] Selengkapnya: hal 49-50. Dr. Sa’d
Mahmud Jum’ah. Al Yahûdiyah baina naba’i’l Qur’an wa khabari’l ahdi’l qadîm,
cet i, dar al tsaqâfah al arabiah, Kairo . 2001.
[2] Selengkapnya; Dr. Muhammad Syamah, mafhûmu’l
usthûrah fi’l Qur’ân, cet i, 2014, maktabah al iman, Kairo.
[3] Lihat: Abu Nashr Muhammad bin
Abdurrahman al Hamzani, al sab’iyyât fî mawâ’idzi’l bariyyât.
[4]
Selengkapnya; Dr. Syamah, mafhûmu’l
usthûrah, HAL 16-17. Lihat juga; khalafullah, hal 25-24, al fannu’l
qashashi fi’l qurâni’l karîm, cet 4, sina li al nasyr, 1999, Kairo.
[5]
Dr. Ahmad Khalfullah, al
fannu’l qashashi fi’l qurâni’l karîm, lajnah al ta’lif wa al tarjamah, cet
2, 1957. Hal 179
[6]
Ayat-ayat yang serupa dapat
ditemukan pada: al an’am: 25, al anfal:31, an nahl: 23, al mu’minun 83. Al
furqan: 5. An naml: 78. Al ahqaf: 17. Al qalam:15. Al muthaffifin: 13.
[7]
Ibid: hal 175.
[8]
Selengkapnya; hal 120.Dr,
Abdul Jawwad al Mahs, abâthîlu’l khushûm haula’l qashashi’l qur’âni, dar mishriyyah, Alexandria,
[9]
Selengkapnya; Dr. Syamah, mafhûmu’l
usthûrah, HAL 77.
[10]
Karena al Qur’an tidak pernah
menjelaskan fenomena alam dengan khurafat.
[11]
Lihat; al an’am: 138. An najm:
23. An najm: 28.
[12]
Ibid. 72.
[13]
Selengkapnya; ibid. 86-94.
[14]
Fakhruddin al Razi, mafâtihu’l
ghaib, dar al fikr, cet i, 1981, vol 4, hal 951, Beirut.
[15] Vol 1 hal 399, Muhammad rasyid
Ridha, tafsiru’l qurâni’l hakim, hai’ah mishriyyah ‘âmmah, 1973.
[16]
Saint Claire Tisdal, Mashâdiru’l
islam, hal 102-104. Lihat pula: Dr, Abdul Jawwad al Mahs, abâthîlu’l khushûm
haula’l qashashi’l qur’âni, dar mishriyyah, Alexandria, hal 124.
[17]
Ibid. hal 134. Lihat pula; Dr.
Syauqi Dhayf, al ashr al jahili,dar al maarif cet 9, hal 81.
[18]
Ibid: 135. Lihat pula: Carl
Brockelman, tarikhu’l adabi’l arabi, alih Bahasa: Abdul Halim Njjar, dar
al maarif, cet 4.hal 128.
[19]
Ibid: 139. Lihat pula: al jâhidz, al hayawân, vol
2, hal 322. Ed Abdussalam Muhammad Harun, cet 3, majma’ul ‘ilmi al arabi,
Beirut. Dan Mustafa al Bâbi al Halabi, 1945.
[20]
Ibid; 139-140.
[21]
Ibid, 140.
[22]
Ibid: 142. Liht pula: al
Zamakhsyari, al kassyaf, vol 2 hal 12.
[23]
Ibid. 144. Lihat pula: imam
Muhammad Abduh. Tafsir juz ‘amma. Hal 34-35. Jaridat al syu’bi, Kairo.
[24]
Selengkapnya: ibid. 144-147.
[25]
Selengkapnya: ibid. 147-152
Comments
Post a Comment