Tauhid Imitasi; Pengantar kajian perbandingan Teologi

Dalam Mafâtih al-Ghaib al-Razi pernah berkata: “Masyhur di kalangan para ulama bahwa Allah Swt. mempunya 1001 nama suci, dan nama-nama tersebut telah disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits. Tidak diragukan lagi bahwa mengkaji setiap nama-nama tersebut adalah perbuatan yang mulia. Tetapi, mempelajari tentang nama tidak akan berhasil kecuali terlebih dahulu mengenal empunya nama. Mencari keberadaan nama-nama tersebut, bukti-bukti yang menunjukkan keberadaannya, serta menangkal berbagai tuduhan yang menafikan keberadaannya menjadi problematika yang begitu sarat, bahkan dapat melebihi puluhan ribu.”[1]

Apakah persepsi ini  yang menyebabkan sebagian kalangan berasumsi bahwa semua ras manusia beragama menyembah satu Tuhan yang diseru dengan berbagai panggilan. Bahkan teori monoteisme dan pemikiran ketuhanan hanya sebuah pemikiran yang muncul dalam sejarah panjang keberagamaan umat manusia; hanya sebuah hasil evolusi sejarah. Andrew Lang melakukan riset yang berhasil membuktikan adanya teori keilahian dalam setiap masyarakat nomaden, mereka menjelaskan Allah sebagaimana komunitas yang telah ber-evolusi menjelaskan hal tersebut; bahwa Dialah Sang Pencipta semesta alam, Penjaganya, kekal (Azali), kebaikan, dekat dengan manusia. Spesta ((شبستا juga telah mendeteksi keberadaan monoteisme dalam komunitas Pigmi Ituri benua Afrika, mereka memperbincangkan tentang entitas agung yang tak pernah terlihat oleh seseorang; dialah Allah; tuhan inilah yang telah menciptakan guntur dan membuat segala sesuatu; air, hewan-hewan, pepohonan. Mereka memanggil-Nya dengan Abânâ ((أبانا. Dia telah ada sebelum alam semesta ini tercipta; sendiri tak ada yang menemani, dan benda-benda mati berbondong-bondong mendatanginya. Smith ((شمت menegaskan bahwa suku-suku Korini ((كوريني Australia tenggara menyembah tuhan yang mereka sebut Monagan Naga ((موناجان نجا yang mereka yakini telah hidup semenjak dahulu di atas dunia ini, ia mengajarkan manusia cara pembuatan jendela, sarung-sarung pedang, dan alat-alat lainnya. Ia hidup di langit sebagai pemerintah langit dan bumi, dan ia punya seorang putra yaitu; salah satu suku Korini. Adapun Bagumi ((با جومي adalah entitas agung yang dipercayai suku Kamilaro ((كاميلارو Australia tengah; hidup di muka bumi sebagai eksistensi agung yang melakukan kebaikan, lalu ia pergi ke timur bersama dua istrinya. Kemudian ia bertempat di langit tanpa terlihat seorangpun. Pada era-era tertentu ia menjelma sebagai manusia, ialah yang menciptakan segala sesuatu dan sekarang ia membiarkan semua itu berjalan sesuai hukum alam yang diciptakannya. Suku-suku Pentos ((بانتوس di Afrika tidak mengakui pluralitas dalam teori keilahian, mereka hanya mengenal satu tuhan yang bernama Nezagi ((نزاجى yang telah pergi dari bumi dan menetap di langit tanpa menghiraukan keadaan bumi. Ialah yang menciptakan segala sesuatu. Tetapi mereka tidak pernah mempersembahkan ritus-ritus peribadatan kepadanya, mereka mengingatnya hanya pada saat-saat sulit.[2]
Jika setiap agama di dunia ini sama, tentu berpindah-pindah dari satu kepercayaan menuju yang lain tidak akan merugikan siapapun. Hal ini tentunya menghilangkan kebanggaan beragama untuk setiap pemeluknya, dan menumbuhkan sikap pluralisme dalam pribadi setiap individu. Pluralisme yang berarti pengakuan terhadap eksistensi suatu komunitas tertentu dalam sebuah kemajmukan tentu tidak menjadi masalah, bahkan harus didukung semaksimal mungkin. Tetapi menganggap sama terhadap agama-agama berbeda tentunya akan menimbulkan berbagai ketumpang-tindihan baik antara sesama penganut satu agama maupun dengan agama yang lain, yang berakibat fatal terhadap kepercayaan individu maupun masyarakat.
Dalam Islam, masyarakat yang belum terjamahi dakwah tidak terkena sanksi terhadap semua kesyirikan dan perilakunya. Tidak ada satupun beban yang diemban oleh orang-orang tersebut, bahkan menurut sebagian kalangan ulama; ritual yang mereka persembahkan untuk Allah bisa berimbas azab, karena ibadah memiliki aturan pakainya sendiri, dan tata-cara tersebut hanya dapat diketahui melalui syari’at. Sedangkan syariat ketika itu masih belum ada. Maka ritual yang tidak sesuai aturan tersebut menyebabkan peritual mendapat siksa.[3]
Beranjak dari sinilah kami berniat mengkaji tentang perbandingan agama-agama internasional yang diklaim menganut akidah monoteisme  atau yang kita sebut tauhid, dalam tubuh dan ajaran agama-agama tersebut. jadi pembahasan ini hanya berkutat sekitar tuhan yang disembah dalam agama-agama tersebut; apakah benar mereka menganut tauhid? Apakah sama dengan tauhid yang dianut muslim? Darimanakah referensi ajaran-ajaran tersebut? pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan kami coba tuntaskan dalam tulisan ini.

II. Pembahasan
1.       Tauhid akidah semua nabi dan rasul
Al-Qur’an menyatakan agama yang diemban oleh semua nabi dan rasul adalah agama Islam yang berbasis akidah keesaan Allah Swt. dan meniadakan sekutu bagi-Nya dan beriman kepada semua rasul-Nya. Islam yang terbentuk dari tauhid ini adalah akidah semua nabi semenjak Adam As. sampai nabi Muhammad Saw. al-Qur’an menerangkan bahwa mereka telah menyeru kaum mereka kepada Islam dan menyembah Allah Swt. sendiri. Setiap rasul yang datang pasti mengatakan pada kaumnya: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya”.
Terkait nabi Nuh As. Allah Swt. berkata: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu dia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya”. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).[4]
Nabi Hud As.; “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudar mereka, Hud. Dia berkata:”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”[5]
Terkait nabi Shalih As.; “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudar mereka Shaleh. Dia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu.”[6]
Terkait nabi Syu’aib As.; “Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudar mereka, Syua’aib. Dia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu.”[7]
Secara eksplisit Allah Swt. berfirman kepada Rasulullah Saw.: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.[8]
Setelah menerangkan kesalahan akidah kaumnya, Ibrahim As. berkata sebagaimana ungkapan al-Qur’an; “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepda agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orng-orang yang mempersekutukan Tuhan.[9] Pada ayat yang lain: ”dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kmai telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah (aslim)!” Ibrahim menjawab:” Aku tunduk patuh(aslamtu) kepada Tuhan semesta alam”.[10]
Ya’qub mewasiatkan anak-anaknya untuk tetap menyambah dan mengesakan Allah Swt.: “adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-ankanya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku:?” Mereka menjaawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (Yaitu) Tuhan Yang Maga Esa dan kami hanya tunduk patuh (muslimun) kepada-Nya”.[11]
Al-Qur’an juga menerangkan akidah tauhid Yusuf As. dan dakwahnya menuju Islam, dalam firman Allah Swt: “Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak, dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.”[12]  Pada ayat lain: Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabunhkanlah aku dengan orang-orang saleh.”[13]
Terkait Musa As.:”Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu”.[14] : “Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri”.[15]
Terkait Isa As. dan para Hawarian: “Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolngku untuk (menegakkan agama ) Allah?” para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolng (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslimin).”[16]
Beginilah, setiap nabi dan rasul menegaskan bahwa mereka dalam satu agama yaitu agama Islam. Dan mereka telah mendeklarasikan hal tersebut. Islam tidak hanya diturunkan untuk Nabi Muhammad Saw. seorang, dan tidak hanya diturunkan kepada setiap nabi dan rasul saja, tetapi ia adalah agama di sisi Allah semenjak dahulu dan untuk selamanya. Allah Swt.berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridahai) disisi Allah hanyalah Islam.”[17] Beranjak dari sini muncul penolakan mutlak untuk setiap agama selain Islam: “Barangsisapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklalh akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”[18] Penolakan ini sama sekali bukan fanatisme atau pemojokan kepada sisi sempit alam dunia ini, tetapi menyingkirkan segala sesuatu yang menjadi penghalang antara manusia dan alam semesta dalam ketercakupannya. Bahkan ia juga menyingkirkan penghalang antara manusia dan penisbatan kepada kemanusiaan. Ketercakupan agama ini untuk semua nabi membuktikan hal tersebut.[19] Allah Swt. berfirman: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kmi wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”[20]
2.       Kemunculan Syirk dan Teori ahli fatrah.

Allah Swt. berfirman: Tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”[21] Artinya; sebuah jemaat yang banyak pada suatu masa, atau sekelompok umat zaman dahulu pasti telah disambangi oleh seorang nabi atau seoarang alim yang memperingatkannya.[22] Daalam ayat lain; “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat”.[23]  Sudah menjadi tradisi Tuhan untuk mengutus para rasul kepada hamba-hambaNya, memerintahkan mereka untuk menyembah-Nya dan melarang penyembahan selain-Nya.[24]

Ibn al-Jauzi pernah menjelaskan tentang awal mula kesesatan dalam sejarah hidup manusia. Dia berkata: “Wad, Suwâ’, Yagûts, Ya’ûq, dan Nasra adalah orang-orang yang saleh, tiba-tiba mereka meninggal pada bulan yang sama. Hal tersebut menggemparkan sanak kerabat mereka. Lalu seorang pria dari keturuan Qabil (Cain) berkata: “Wahai kalian (masyarakat lima orang salih), bolehkah aku membuatkan kalian beberapa berhala yang mirip dengan mereka tapi sayangnya aku tak mampu memberikan jiwa kepada mereka?! mereka berkata: Tentu. Pria itupun memahat lima buah patung yang mirip lima orang salih kemudian dia menancapkan lima berhala tersebut. semenjak itu, orang pun datang bersama sepupunya untuk memberi hormat kepada patung-patung itu dan berlari-larian di sekitarnya. Ketika generasi yang lain datang, penghormatan mereka melampaui penghormatan generasi sebelumnya. Kemudian datanglah generasi ketiga dan berkata: orang-orang terdahulu takkan memberi mereka penghormatan jika bukan karena berharap syafaat Allah Swt. maka mereka pun menyembahnya, mengagungkannya, maka kekafiran mereka semakin semakin bertambah keras.[25]

Ini artinya; tidak ada satupun peradaban kuno yang belum terjamah seruan utusan Tuhan, akan tetapi rasa materialisme manusia dan kelemahan mereka dihadapan tipu daya iblis membuat rasio terkalahkan emosi yang telah dirasuki setan.

Tetapi ada beberapa saat dimana tidak ada seorangpun nabi yang diutus untuk umat manusia. Pada waktu-waktu tersebut tidak ada beban yang harus ditanggung umat manusia. Masyarakat yang hidup pada era tersebut dinamakan Penghuni Fatrah (ahli fatrah). Konsekuensi yang mereka terima itu ternyata juga mencakup orang-orang yang terlahir buta, tuli, gila, atau gila sebelum dewasa. Orang-orang tersebut selain tidak menanggung beban keyakinan dan peribadatan (‘aqidah dan syari’ah), kelak di akhirat tidak akan berkekal diri dalam neraka.[26] Allah Swt. berfirman: “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”[27]

Selain orang-orang tersebut, terdapat juga sekelompok orang yang menerima konsekuensi tersebut. yaitu orang-orang yang terjamahi dakwah tetapi dengan cara dan dakwah yang berisi penyimpangan dan pemalsuan. Berati terdapat tiga kategori kelompok dengan berbagai corak dakwah yang dihadapinya; Pertama; mereka yang tak mengetahui Islam sama sekali karena tak pernah mendengar tentang hal tersebut. Kedua: mereka yang terjamahi dakwah tetapi dengan cara yang salah dan dakwah yang buruk; kedua kelompok tersebut tidak berhak dicap kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ketiga; mereka yang terjamahi dakwah dengan cara yang baik dan dakwah yang benar, tetappi engan untuk menerima dan tetap membangkang; tentu takkan selamat dari azab.[28]


[1] Fakhr al Din al Râzi, Mafâtihu’l Ghaib, Vol. I. Dar al Fikr, Beirut, Cet. I, 1981, hal, 13.
[2] Dr. Muhammad Yusri Ja’far Muhammad, al-Milal wa al-Nihal wa Mawqifu’l Islâm minhâ,  Kulliyah Ushûl al-din al-Qâhirah, catatan kaki Hal. 70-71.
[3] Lihat; Prof. Dr. Muhammad Abu Nur Zuhair, Ushûl al Fiqh, Vol. I. dar al Bashâir, Kairo, Cet, I, 2007, Hal. 202.
[4] QS. Al A’raf. 59.
[5] Al A’raf. 65.
[6] Al A’raf. 73.
[7] Al A’raf. 85.
[8] Al Anbiya’. 25.
[9] Al An’am. 79.
[10] Al Baqarah. 130-131.
[11] Al Baqarah. 133.
[12] Yusuf. 37-38.
[13] Yusuf 101.
[14] Thâha. 98.
[15] Yunus. 84.
[16] Ali Imran. 52.
[17] Ali Imran. 19.
[18] Ali Imran. 85.
[19] Dr. Fathi Muhammad al-Zaghbi, Ta’atssuru’l Yahûdiyah bi’l Adyâni’l Watsaniyah, Dar al-Basyir, Tanta, Mesir. Cet. I. 1994, Hal. 34-46.
[20] As Syura. 13.
[21] QS. Fathir. 24.
[22] Syihab al Din Mahmud al Alusi, Rûhu’l Ma’âni fi Tafsir’l Qur’ani’l ‘Adzim wa al Sab’i’l Matsâni, Vol 22, Dâr Ihyâ’ al Turâts al ‘Arabia, Beirut, hal 188.
[23] QS. An-Nahl. 36
[24] al Alusi, Vol. 14. op. cit. hal 137.
[25] Lembaga jurusan Akidah filsafat kuliah Ushuluddin Kairo, Nadzrât fî al-dayyânât al-Syarqiyah. Hal. 59.
Ibn Jauzi, Talbîs Iblîs, dar al-Qolam, Beirut. hal 52.
[26] Selengkapnya: Muhammad Abdul Qadir al Sinbâwi al Azhari, Hâsyiyah al Amiyr ‘ala ittihâf ak muriyd syarh jauharat al tauhid. Ed. Ahmad Farid al Mazidi, Dar kutub al ‘ilmiyah. Beirut. Cet. I. 2001. Hal. 57-60.
[27] Al Isra’. 15.
[28] Lihat: Abu Hamid al-Ghazali, al tafriqah bayna’l Islâm wa al zindiqah, Dalam kompilasi risalah-risalah al Gazali, Dâr Kutub al ‘ilmiyah. , hal 144.  Lihat juga; Syaikh Mahmud Shaltut, al-Islâm ‘Aqidah wa Syari’ah, Ed. Dr. Muhammad ‘Imarah, Hal. 33-34. Dan; Asâlib al Dakwah wa Wasâil al Tablig, lembaga jurusan dakwah dan budaya Islam, fak. Ushuluddin. Univ al Azhar. hal 40-47

Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons