KAJIAN REGULER AR-RISALAH (ASY-SYIRAZI) LEVEL 1
Istishab Sunni dan Istishab Syi’ah;
Studi Analitik Komparatif





Disusun oleh:
Anzuru Wahyan
Hidayati





PIMPINAN CABANG ISTIMEWA MUHAMMADIYAH MESIR
PCIM MESIR
2015 / 2016






Istishab Sunni dan Istishab Syi’ah;
Studi Analitik Komparatif[1]
Oleh: Anzuru Wahyan[2] dan Hidayati[3]


Mukadimah
Banyaknya fenomena sosial yang terjadi dalam setiap masyarakat menimbulkan lahirnya berbagai macam problematika baru yang dahulunya tidak pernah ada, pemakluman al Qur’an memiliki kejelasan atas setiap hal tidak mungkin ditafsiri secara lahiriah, karena menjelaskan segala hal di sini bukan berarti bahwa al-Qur’an menjelaskan sedetail-detailnya tentang masalah-masalah kehidupan. Sebab dalam kenyataannya tidaklah demikian. Al-Qur’an tidak mungkin menjelaskan secara rinci persoalan-persoalan kehidupan yang berkembang dan berubah secara terus menerus. Karenanya pernyataan al-Qur’an sebagai kitab yang menjelaskan segala hal  harus dipahami secara tepat. Al-Qur’an menjelaskan segala hal hanyalah berarti kitab suci ini mengemukakan prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai moral dan ketentuan-ketentuan umum. Al-Qur’an ibarat puncak gunung es yang terapung. Yang terlihat hanya sepuluh persen, sedangkan sembilan puluh persen sisanya ada di bawah permukaan air. Sembilan puluh persen inilah yang masih diselubungi oleh keterbatasan metodologis dan reifikasi sejarah. Reifikasi itu harus dibongkar, dan metodologi baru pun mesti dihadirkan—yaitu sebuah metodologi yang diharapkan dapat menembus endapan sejarah yang telah terdistorsi sampai ke dasar-dasarnya.[4]
Hal ini diperkuat pula dengan banyaknya bukti-bukti pemroduksian hukum-hukum selain al Qur’an yang kita dapati dalam ushul al fiqh. Mayoritas sarjana Islam telah menetapkan empat sumber hukum mufakat yang menjadi akses ke dalam pemecahan masalah. Tetapi empat hukum tersebut terasa belum cukup untuk memasuki setiap sendi kehidupan manusia, maka lahir pula sejumlah alat-alat produksi kontroversial hukum yang mampu membantu seorang muslim menangani masalahnya. Salah satu dari alat tersebut adalah istishab.
Ibn Qudamah berpendapat bahwa istishab menduduki peringkat keempat dalam sumber-sumber hukum, menurutnya jika suatu masalah tidak ditemukan setelah mengekplorasi al Qur’an, al Sunnah, dan pendapat konvensional ulama maka jalan berikutnya adalah istishab.[5] Bersebarangan dengan al Juwaini yang menyatakan bahwa istishab adalah alternatif terakhir untuk seorang mujtahid.[6] Dan di dalam al Mahsul al Razi berkata; “Ketahuilah bahwa istishâbu’l hâl adalah suatu perkara yang tidak boleh tidak ada dalam agama, syariat, dan tradisi.[7]
Lebih jauh, istishab adalah standar yang paling banyak digunakan oleh mazhab yang memungkiri keabsahan qiyas (analogi), dalam hal ini mazhab Dzahiriah dan sekte Syiah Imamiah. Sekte-sekte tersebut tercatat telah memperluas ranah terapan istishab dalam memproduksi hukum, banyak perkara yang tidak dikategorikan istishab oleh mayoritas sarjana Islam divonis oleh kedua sekte tersebut melalui istishab. Artinya, setiap persoalan yang ditangani jumhur melalui analogi, kedua sekte tersebut menggantinya dengan istishab.[8]
Menurut Ustaz Muhammad Taqi al Hakim seorang ulama syiah, istishab sejatinya adalah fenomena social yang menjadi referensi rakyat dalam kebermasyarakatannya walaupun (istishab) ini dibarengi ketidak pastian, dan fenomena ini muncul dengan sendirinya seperti fenomena lainnya, ia lahir dan berevolusi bersama masyarakat, ia adalah jaminan keberlangsungan tatanan mereka, seandainya saja masyarakat mengalpakan eksistensinya tentu interaksi social mereka takkan berjalan mulus.[9]
Lalu bagaimana dengan mazhab kita; Syafi’iah? Imam Abu Zahrah berkata bahwa “imam al Syafi’i yang tidak mengakui keabsahan istihsan adalah tokoh yang lebih banyak menerapkan istishab ketimbang Hanafiah dan Malikiah karena di semua subjek di mana hukum al ‘urf dan istihsan diterapkan, Syafi’iah justeru memuat istishab di dalamnya.[10]
Dari sana kami mengingat bahwa dahulu imam Syafi’i pernah dituduh sebagai antek-antek Syi’ah. Di dalam buku biografi pemikiran yang sangat terkenal, al-Fihrist, karya Ibn al-Nadim, disebutkan bahwa Imam Syafii sangat mencintai Syiah (syadid al-tasyayyu’). Salah satu kecintaan Imam Syafii kepada Syiah ditunjukkan ketika fatwanya bertentangan dengan fatwa Imam Ali, maka Imam Syafii langsung mengubah fatwanya, dan memilih untuk mengikuti fatwa Imam Ali.[11]  Selain itu, dalam sebuah syi’ir yang disematkan kepada imam al Syafi’i bahwa beliau berkata;
إن كان رفضا حبُّ آل محمدٍ # فلْيشهِد الثقلان أنِّي رافضِي
“Jika terma rafidhah itu disematkan untuk para pecinta keluarga Nabi Muhamad Saw. maka ketahuilah wahai jin dan manusia bahwa aku seorang Rafidhah.”[12]
Beranjak dari hal tersebut kami berazam untuk membandingkan mazhab kedua belah pihak dengan memfokuskan kajian dalam teori istishab yang laku pada masing-masing dari Sunni dan Syi’ah. Apakah sama itishab yang mereka akui, apakah sama metode yang mereka terapkan, dan mazhab manakah yang lebih unggul dalam mempraktekkan dan menjabarkan teori istishab.?
Tujuan kami di sini tentunya agar kita tidak memandang Syi’ah sebelah mata serta menerapkan pluralisme dan toleransi antar-mazhab yang masih berstatus muslim. Melihat maraknya marjinalisasi terhadap Syi’ah yang berdomisili di Nusantara, yang dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar pertikaian,[13] menurut kami hanya pemuasan sepihak, hilanglah kemanusiaan yang diajarkan Islam maupun Hak Asasi Manusia yang ditetapkan negara. Lalu saratnya stigmatisasi kafir terhadap Syi’ah, tentu tidak dapat ditolerir karena muslim mana yang akan tersisa jika puluhan persen dari mereka telah tervonis kafir.
Pembahasan
Istishâb Dalam Perspektif Sunni
A.         Definisi Istishâb
Istishâb secara etimologi diambil dari kalimat  طلب المصاحبة و استمرارها yang berarti mencari relasi dan melanjutkannya atau adanya saling keterkaitan.1
Sedangkan istishâb secara terminologi, ulama mengeluarkan beberapa pendapat diantaranya:
1.       Ibnu Hazm mendefinisikan:
اللإستصحاب هو بقاء حكم الأصل الثابت بالنصوص حتى يقوم الدليل منها على التغيير
Tetapnya hukum asal yang telah ditetapkan dalam nushus hingga ada dalil yang mengubahnya.2
2.       Imam asy- Syaukani mengistilahkan:
بقاء الأمر على ما كان عليه ما لم  يوجد ما يغيره
 Tetapnya suatu perintah selama tidak ada dalil yang merubahnya.
Jadi, bisa dikatakan bahwa istishâb adalah suatu perkara yang telah ditetapkan perintahnya, jika kemudian ada keraguan setelahnya maka tetap kita berhukum dengan istishâb,sampai adanya suatu dalil yang mengubah ketetapan tersebut.
Istishâb sendiri merupakan istilah yang sudah baku dalam ushul fikih, apalagi ketika kita berbicara pada dalil-dalil hukum imam syafi’i. Salah satu dalil syarak ini juga digunakan oleh ulama mazhab maliki, hanbali, dan ulama-ulama syi’ah, dan tidak digunakan oleh ulama mazhab hanafi.
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ulama memiliki kesamaan arti yang didasari pada tiga aspek yaitu:
a.    segi waktu, istishâb dihubungkan dengan tiga waktu yaitu lampau, sekarang, dan mendatang
b.    segi ketepatan, ada dua kemungkinan diperbolehkan dan tidak diperbolehkan
c.     segi dalil, ketidakadaan dalil yang mengubah ketetapan masa lalu merupakan kunci dari istishâb. Apabila ada dalil yang mengubah ketetapan tersebut maka istishâb tidak berlaku lagi.3

B.      Macam-macam Istishâb
Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya ushul fikih islami mengklasifikasikan istishâb dalam lima macam yaitu:4
1.        استصحاب حكم الإباحة الأصلية للأشياء
Maksud dalam bagian ini , bahwa disini ulama usuliyyin telah menetapkan pada asalnya sesuatu yang bermanfaat dan selama tidak ada dalil yang menyalahinya maka perkara tersebut diperbolehkan.
Diantara dalil yang mengharuskan pada perkara-perkara yang membawa manfaat ialah:
Firman Allah Swt. pada surah al-Baqarah ayat 29
هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعً۬ا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّٮٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَـٰوَٲتٍ۬‌ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمٌ۬
Berikutnya dalam surah al-jatsiyah ayat 13
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


Dari kedua ayat diatas, dapat dipahami bahwa semua yang terhampar di bumi adalah untuk manusia dan diharuskan untuk mereka.
Selain dua dalil diatas, dijelaskan juga dalam sebuah hadis bahwa asal pada perkara yang memudaratkan dan tidak dijelaskan oleh hukum syarak mengenai hal tersebut, maka perkara tersebut haram. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri dari Rasulullah Saw. beliau bersabda: لا ضرار ولا ضرار
Artinya:” tidak mudarat dan tidak memudaratkan”.
Dari sini juga dapat kita pahami bahwa segala yang membawa kemudaratan pada tiap jiwa maupun orang lain merupakan hal yang dilarang, karena ini merupakan perkara yang diharamkan.
2.        استصحاب العدم الأصلى او البراءة الأصلية
Yaitu pada asalnya seseorang terlepas dari pembebanan dan kewajiban syar’iah hingga adanya suatu dalil atau bukti yang menunjukkan untuk memikulnya. Atau dengan kata lain perintah tersebut berdasarkan pada akal, namun tidak dapat ditetapkan sampai adanya hukum syarak.
Misalnya, jika Anzuru mendakwa Furqon berhutang 100 le kemudian dia tidak mengemukakan bukti, sedangkan furqon tidak mengakui tuduhan tersebut, maka ia terbebas dari hutang, karena asalnya ia terbebas hingga ada bukti yang menunjukkan sebaliknya.
3.        استسحاب ما دل العقل والشرع على ثبوته ودوامه
Suatu ketetapan hukum yang berlaku secara syarak dan akal tentang ketetapan dan keberlanjutannya. Dalam kata lain bahwa istishâb ini diakui ada keterkaitan dengan syarak maupun akal.
Contohnya: dihalalkannya hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah disebabkan pernikahan, sehingga adanya dalil yang menunjukkan haramnya hubungan tersebut ketika sudah jatuhnya talak, khuluk, ataupun fasakh.
Begitu juga halnya dalam hak milik yaitu apabila terdapat sebab yang mewujudkannya yakni dengan adanya suatu akad.
4.        استصحاب الوصف المثبت للحكم الشرعى حتى يثبت خلافه
Istishâb ini bermaksudkan, tetapnya suatu hukum dengan sifat asalnya. Yaitu asal ketetapan syarak pada suatu hukum baik itu suatu keharusan atau perkara haram sehingga terdapat suatu dalil yang menunjukkan hukum sebaliknya.
Misalnya, air pada asalnya adalah dihukumi bersih dan suci kecuali terdapat tanda-tanda yang menunjukkan air tersebut kotor dan bernajis seperti berubah bau, warna ataupun rasa.
5.        استصحاب حكم الإجماع فى محل الخلاف بين العلماء
Istishâb yang hukumnya ditetapkan melalui ijmak, pada posisi diperselisihkan di kalangan ulama.
Misalnya:  ijmak fukaha atas sahnya salat ketika tidak ada air. yaitu ketika seseorang bertayamum kemudian ia melihat air setelah menegakkan salat maka salatnya sah. Namun apabila ia melihat air ketika dalam salatnya, apakah batal salatnya, dan perlukah ia memperbaharui wudu atau tidak?, berbeda pendapat ulama dalam hal ini.
Imam syafii dam Imam Malik berpendapat, keadaan diatas tidak membatalkan salat, karena ijmak menetapkan sahnya salat sebelum menemuai air. Oleh sebab itu, hukum sah tersebut akan terus berlanjut berdasarkan ijmak hingga adanya dalil yang menunjukkan salat seseorang itu batal.
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, salat seseorang itu menjadi batal dalam keadaaan tersebut. Hal ini dikarenakan ijmak menganggap sah salat sebelum melihat atau menemui air hanya berlaku dalam keadaan ketidakadaan air, bukan ketika adanya air.
Dari pembagian yang telah dikemukakan oleh Dr. Wahbah Zuhaili diatas, berpendapat sebagian ulama dua macam yang pertama dan yang keempat ( 1,2,4 ) merupakan satu rumpun, yaitu karena sesuatu yang pada asalnya diperbolehkan mencakup juga perkara yang pada asalnya tidak diperbolehkan, hingga ada dalil yang menunjukkan sebaliknya.

C.     Kehujahan Istishâb
Istishâb merupakan akhir dalil syarak yang dijadikan tempat kembali seorang muujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang terjadi. Sebagaimana dikatakan ulama usuliyin: “ sesungguhnya istishâb adalah akhir tempat beredar fatwa, dan ia adalah suatu hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya”. Ini adalah cara dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasan dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan dan ketetapan mereka. Maka barang siapa yang mengetahui seorang masih hidup, dihukumi atas kehidupannya berdasarkan pengelolaan atas kehidupan ini, sampai ada dalil yang menunjukkan wafatnya.5
Ulama bersepakat wajibnya beramal dengan istishâb, selagi tidak ada dalil yang menyalahinya. Namun ketika tidak ada dalil yang membenarkannya,  berbeda pendapat ulama pada tiga mazhab :
Mazhab pertama:
Pendapat mayoritas ulama mazhab Maliki, syafii, Hanbali, dan sebagian ulama Hanafi. Mereka berpendapat bahwa istishâb dijadikan sebagai hujjah, baik pada peniadaannya maupun penetapannya.
Mazhab kedua:
Pendapat mayoritas ulama Hanafi,  sebagian syafii, dan ulama kalam. Mereka mengatakan, bahwa istishâb tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Karena adanya hukum yang terdahulu tidak harus tetap ada di yang akan datang. Sebab sama halnya menetapkan suatu hukum tanpa adanya dalil dan itu dilarang.



Mazhab ketiga:
Dikemukakan  banyak dari ulama Hanafi mutaakhirin dan sebagian ulama maliki. Ulama ini berpendapat istishâb hanya berlaku pada yang dinafikan saja tidak untuk yang diisbatkan. Atau suatu hukum lepas daripada pembebanan hingga ada dalil yang menunjukkan pembebanan tersebut.
Berikut hujah dari ketiga mazhab diatas:
Hujah mazhab pertama:
1.       Berdasarkan firman Allah Swt. pada surah al-Anam ayat 145:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Berdasarkan ayat tersebut, bahwa bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan lain sebaigainya yang disebutkan pada ayat diatas merupakan sesuatu yang diharamkan. Hal ini merupakan bukti bahwa memakan selain yang disebutkan itu tidak diharamkan oleh Allah. Jadi hukum ini akan tetap berlaku hingga ada dalil yang merubahnya.
2.       Berdasarkan hadis
Diantaranya hadis yang diriwayatkan abu daud dari abu hurairah, Rasulullah Saw. bersabda:
                        "..........فلا ينصرفن حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا"
Maksudnya: ” ....... janganlah sekali-kali berhenti ( dari menegakkan salat ) sehingga ia mendengar suaru atau  terciumnya bau”. (HR. Bukhari)
Artinya, ketika seseorang dalam keadaan ragu antara batalnya wudu atau tidak, nabi mengatakan  bahwa wudu itu masih boleh diteruskan hingga mendengar bunyi atau terciumnya bau. Atau diartikan juga wudu itu masih tetap sah, hingga terdapat sesuatu yang mengubah hukum tersebut.
Disebutkan juga dalam hadis yang lain, dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah Saw. bersabda:
 “إذا شك أحدكم في صلاته ، فلم يدر كم صلى ثلاثا  أو أربعا ؟ فليطرح الشك ، وليبن على ما استيقن ، ثم يسجد سجدتين قبل أن يسلم  “
Artinya: “ apabila seorang dari kamu ragu dalam salatnya, tidak mengetahui berapa jumlah rakaat salatnya, tiga atau empat ? hendaknya ia menghilangkan keraguan  dan hendaklah membangun atas apa yang dia yakini. Kemudian, sujud dua kali sebelum salam”. (HR. Muslim)
Dari hadis ini, Rasulullah menyuruh meninggalkan perasaan ragu pada bilangan rakaat salat dan memilih rakaat yang paling sedikit karena ia telah diyakini.
Hujah mazhab kedua:
Ulama mutakallimin, sebagian besar dari ulama hanafi tidak menjadikan istishâb sebagai hujah. Karena istishâb bukanlah hujah yang  tetap untuk mengistinbatkan perkara hukum, namun ia hanya alat yang digunakan untuk melestarikan keputusan atas hukum tersebut.
Hujah mazhab ketiga:
Mazhab yang menetapkan bahwa istishâb menjadi hujah bagi penolakan, bukan bersifat bagi penetapan suatu hukum baru. Dalam kata lain hanya berlaku pada penolakan saja. Diantara alasan mereka adalah:
Dalil hanya menunjukkan ketetapan hukum pada zaman pertama saja, dan tidak semestinya penetapan hukum pada zaman pertama itu boleh diberlakukan pada zaman kedua. Oleh karena itu, wujud hukum pada masa lampau tidak semestinya menyebabkan hukum tersebut tetap berlaku pada masa yang akan datang.
Maka penulis sendiri berpendapat istishâb dapat dijadikan sebagai hujah dalam sebuah penguatan hukum, baik dalam perkara ibadah, mu’amalah, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya, dengan merujuk pada dalil mazhab pertama. Dan selama tidak adanya dalil syarak yang merubahnya. Sehingga  seiring dengan  berkembangnya kehidupan, masalah kekinian bisa tercover secara memadai dalam islam, dan tampak bahwa islam sebagai agama yang menzaman dengan segala bentuk keputusan hukumnya.

D.     Kaidah-Kaidah Fikih yang Terlahir dari Istishâb
Terdapat beberapa kaidah dasar yang terlahir dari  istishâb, diantaranya:6
1.        الأصل بقاء ما كان على ما كان
Asal sesuatu kekal berdasarkan sesuatu yang ada sebelumnya, sehingga ada dalil atau bukti yang menetapkan perubahan.
Contohnya: warisan bagi orang yang hilang.
Dikira seperti keadaan asalnya yaitu masih hidup sehingga ada bukti menunjukkan dia meninggal dunia. Ulama sepakat dalam hal ini hartanya tidak boleh diwarisi, karena syarat seseorang mendapat warisan adalah orang tersebut masih hidup. Menurut ulama mazhab Hanafi pula, haknya ditangguhkan sehingga disahkan ia masih hidup atau mati.
2.        الأصل فى الأشياء الإباحة
Pada asalnya segala sesuatu itu boleh. Contohnya: sah semua bentuk akad yang tidak terdapat petunjuk syarak tentang batal atau haramnya.
3.        الأصل فى الذمة البراءة
Asalnya seseorang bebas daripada tanggung jawab. Kaidah ini dikenal juga dengan istilah ( استصحاب البراءة ) yaitu merupakan salah satu kaidah yang disepakati oleh jumhur ulama fikih. Maksud dari kaidah ini adalah tidak diperbolehkan membebankan suatu beban dan hak-hak yang tidak harus sama sekali ditetapkan terhadap seseorang atau disandarkan kepadanya suatu tanggungjawab melainkan ada dalil yang mengharuskan pelaksanaannya.
4.        اليقين لا يزول بالشك
Suatu perkara yang diasaskan atas dasar keyakinan dan tidak terhapus dengan sebab adanya keraguan atau keraguan yang datang kemudiannya. Sebagai contoh bagi siapa yang yakin masih berwudu kemudian ia ragu berhadas maka dihukumi tetap dalam keadaan berwudu. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, dari abu hurairah Ra. berkata: berkata Rasulullah Saw.: “ apabila salah satu dari kalian mendapati ada masalah dalam perut, dan tidak jelas apakah keluar sesuatu atau tidak? Maka janganlah kalian meninggalkan masjid sampai terdengar oleh kalian suara atau terciumnya bau”.
Kemudian jika ia ragu berhadas, hukumnya masih dalam keadaan berwudu menurut jumhur selain mazhab maliki.
 Munurut imam Malik, tidak diperbolehkan salat bersamaan dengan adanya keraguan dalam bersucinya.

Istishâb Dalam Perspektif Syi’ah
Sebelum lebih jauh membahas istishâbnya Syi’ah, ada beberapa hal yang perlu kita maklumi; pertama; memasuki area istishâb dengan spontan dapat beresiko memusingkan otak kita. Hal ini adalah konsekuensi yang diterima seorang peneliti yang membungkar halaman tengah tanpa mengacuhkan abstraksi atau gambaran umum yang ada dalam sebuah disiplin ilmu. Maka dari itu kami akan berusaha memuat sedikit garis besar terkait ushul fiqh Syiah. Kedua; Hal yang pasti dalam mengeksplorasi ilmu baru kita akan menemukan istilah-istilah aneh yang jarang dipergunakan padahal itu tidak aneh bagi para penggelutnya. Walaupun kita telah belajar ushul fiqh, nyatanya kita hanya mengetahui miliknya orang-orang Sunni. Jadi, memasuki ushul fiqh Syiah akan terasa seperti memasuki disiplin ilmu baru dengan terma dan istilah aneh yang tidak pernah kita dengar. Maka, kami akan berusaha menerangkan setidaknya sebagian dari istilah-istilah yang akan datang. Ketiga; Kajian istishâb Syiah yang kami coba sampaikan sejatinya adalah sekerat kajian istishâb yang dibahas oleh Syiah. Sebagaimana yang telah kami singgung istishâb ini adalah argument favorit Syiah yang dinobatkan sebagai salah satu fenomena sosial. Kami dapati sebut saja al Thabathaba’i mengistimewakan kajian istishâb ini dalam satu jilid besar buku ushul fiqhnya. Yang terakhir kami hanya mohon restu kepada Allah Swt.
i-     Abstraksi Ushul Fiqh Syiah[14]

1.    Definisi Ushul Fiqh; Disiplin ilmu yang mengkaji kaidah-kaidah yang berguna dalam proses produksi hukum syar’i. shalat misalnya, sebagai suatu kewajiban yang telah ditetapkan al Qur’an melalui ayat wa aqîmû al shalâta, dan inna al shalâta kânat ‘ala’l mu’minîna kitâban mawqûta. Indikasi ayat pertama bergantung pada kejelasan format suruhan (aqîmû) yang berarti wajib, dan  pada lahiriah al Qur’an yang dapat dijadikan bukti. Masalah-masalah ini khusus ditangani oleh ushul fiqh.
2.    Klasifikasi hukum dan dalil;  hukum yang diinginkan takrif di atas ada dua; pertama; hukum yang hanya melihat jati suatu hal sebagai suatu perbuatan. Kewajiban salat misalnya, kewajiban itu ada dalam salat karena ia adalah salat dan merupakan suatu perbuatan terlepas dari hal-hal lainnya. Hukum seperti ini disebut al hukm al wâqi’î dan dalil yang telah membuktikannya disebut al dalîl al ijtihâdî. Kedua; Hukum yang menilik suatu hal dari segi kemajhulan hukum al waqi’inya. Seperti perbedaan ulama dalam menyikapi haramnya memandang orang asing atau wajibnya iqamah pra salat. Ketika tidak ada bukti yang menopang salah satu pendapat, seorang ahli fikih akan meragukan adanya al hukm al wâqi’î yang diperdebatkan. Untuk menghilangkan keganjilan tersebut diperlukan adanya hukum lain walaupun yang bersifat rasional. Seperti wajibnya ihtiyâth (waspada), bara’ah (kebebasan), dan tidak mentolerir keraguan. Hukum semacam ini disebut al hukm al dzâhiri, dan dalil yang membuktikannya disebut al dalîl al faqâhatî atau al ashl al ‘amalî.
3.    Tema ushul fiqh; setiap tema yang berupaya memproduksi hukum.
4.    Klasifikasi kajian ke-ushul fiqh-an; pertama; kajian tentang lafaz yang membahas indikasi lafaz dan makna lahiriahnya. Kedua; kajian rasional yang membahas hal-hal konsekuen (lawâzim) dalam hukum walaupun hukum-hukum itu bukan yang dituju oleh lahiriah teks. Seperti pembahasan tentang wajibnya sesuatu yang diharuskan oleh keharaman lawannya. Ketiga; kajian hujah yang membahas tentang keabsahan dan autentisitas. Keempat; kajian al ushûl al ‘amaliah yang membahas tentang rujukan seorang mujtahid ketika ia kecolongan dalil al ijtihâdi. Seperti istishâb dan ihtiyâth.
ii- Terma-terma Asing
1.    Hujah; menurut Ushuliyyîn adalah segala sesuatu yang menetapkan objeknya tetapi tidak pada taraf pasti. Hujah tidak menjadi penyebab kepastian objeknya, jika tidak begitu kemudian terdapat sebuah kepastian, maka kepastian inilah yang menjadi hujah tetapi hujah perspektif ahli Bahasa karena metode yang pasti itu tidak dianugerahkan untuk seorangpun. Ketika hujah ushulî ini tidak mencakup kepastian maka ia menjadi semisal dengan terma amârah (tanda), dalil, dan metode (al tharîq).
2.    Amârah; dalam beberapa kajian ke-ushul fiqh-an terma ini searti dengan hujah sebagaimana yang telah kami singgung. Sejumlah kalangan mempunyai asumsi bahwa terma ini adalah sinonim istilah al dzann al mu’tabar (praduga yang dapat diterima) padahal sebenarnya hal itu hanyalah toleransi dalam pengucapan para ulama, yang dipermak dalam sebuah metafora bukan terma lain yang searti dengan amârah. Karena indikasi hakikat amârah adalah segala sesuatu yang diterima syariat sebagai alasan adanya al dzann seperti khabar al wâhid dan lahiriah. Adapun makna metaforanya dapat dilihat dari segi penggunaan sebab untuk menunjukkan yang ia sebabkan (musabbab), di sini al dzann disebut amârah. Dan dilihat dari segi penggunaan hal yang disebabkan untuk menunjukkan sebabnya, di sini amârah yang menjadi sebab al dzann disebut al dzann. Alasan munculnya toleransi pengucapan ini adalah rahasia di balik penerapan amârah sebagai sebuah hujah yaitu mampu menyampaikan makna al dzann baik secara sinambung atau dominan. Amârah yang dominan menunjukkan al dzaann ini kemudian disebut al dzann al nau’î.
3.    Syubhat; adalah keragu-raguan atau ketidakjelasan. Dalam wacana keushulan syubhat ini terbagi menjadi empat. Pertama; al syubhat al hukmîah atau keragu-raguan yang berkenaan dengan hukum syar’i. Seperti ketidak pastian hukum menghisap rokok apa ia haram atau tidak, di sini keragu-raguan terletak pada hukum. Kedua; al syubhat al maûdhû’iyah atau keragu-raguan yang berkaitan objek eksternal. Seperti ragu terhadap suatu cairan yang belum diketahui apakah ia arak atau bukan, padahal ia tahu bahwa arak itu berhukum haram. Jadi yang diragukan di sini adalah objek itu sendiri. Ketiga; al syubhat al mafhûmîah atau keragu-raguan yang berhubungan dengan konotasi kata. Artinya kepastian makna sebuah kata terganggu oleh setidaknya salah satu dari dua sebab; a) tidak mengetahui indikasi konseptual (tashawwur) suatu kata seperti ketidak tahuan terhadap istilah-istilah asing yang ada dalam syariat. b) tidak mengetahui indikasi persepsional (tashdiq) suatu konotasi. Misalnya ketika seseorang mendapati kata yang telah ia ketahui maknanya tetapi ragu apakah makna yang dia tahu itu sesuai apa yang dikehendaki Tuhan.  Keempat; al syubhat al mishdâqîah atau keragu-raguan yang bertautan dengan masuknya denotasi ke dalam konotasi atau tidak. Seperti ketika seseorang yang telah mengetahui konotasi lagu adalah kumpulan suara yang mengandung bahana yang mengundang perasaan gembira dengan niat dugem. Selain itu orang ini tahu bahwa makna inilah yang dikehendaki Tuhan tetapi dia ragu apakah puja-puji termasuk lagu atau tidak.

Setelah mengetahui beberapa istilah di atas mulailah kita memasuki ranah istishâb ala Syiah.

A.     Definisi

Terdapat banyak versi tentang pentakrifan istishâb ini, takrif termasyhur dalam Syiah adalah yang telah disampaikan oleh Syaikh al A’dzam[15]; ibqâ’u ma kâna (menyisakan hal yang sudah ada). Definisi yang sangat simpel ini menurut Ayatullah Muhammad Ali al Arâki adalah satu-satunya ta’rif yang selamat dari aib. Yang dimaksud menyisakan di sini jelasnya bukan dari segi hakikat maksud menyisakan tetapi dari segi pelaksanaannya, seperti kewajiban salat Jum’at, pelaksanaanya dalam kondisi yakin adalah dengan menunaikan salat jum’at. adapun dalam kondisi ragu, menyisakan kewajiban ini dalam pelaksanannya adalah dengan menunaikan salat dalam kondisi tersebut. [16]
Selain ta’rif di atas terdapat versi berbeda yang disampaikan oleh al Thabathaba’i yaitu; al ta’abbudu al dzâhirîu bibaqâi al syai’ fî zamâni al syakki fîhi li’l ‘ilmi bitsubûtihi fî al zamâni al sâbiq. Peribadatan lahiriah dengan sisa suatu hal (yang masih ada) pada waktu ragu, berdasarkan adanya kesadaran bahwa hal tersebut pernah benar-benar ada. Menurut al Thabathaba’i definisi ini adalah yang paling sesuai dengan khabar-khabar yang ada.[17]
Terdapat takrif yang tidak jauh berbeda dengan yang kedua hanyasaja takrif ini mengekslpisitkan maksud istishâb. Takrif ini disampaikan oleh Syaikh Ridha al Muzaffar yaitu:[18]  jika seorang mukallaf telah meyakini suatu hukum atau objek berhukum lalu keyakinannya yang tadi terombang-ambing; meragukan masih adanya hal yang dulu diyakininya. Dengan hilangnya keyakinan itu seorang mukallaf pun mengalami kebingungan tentang apa yang harus dia lakukan; apa dia akan melakukan apa yang dulu ia yakini tetapi kemungkinan besar yang diyakininya itu telah hilang maka diapun akan menyalahi kenyataan?! Atau tidak melakukan apapun maka keyakinan itupun terhapus oleh keragu-raguan tetapi barangkali yang apa yang diyakini masih ada maka diapun akan menyalahi kenyataan.
B.      Keabsahan
Terdapat beberapa tanggapan kritis terhadap definisi yang disampaikan Syaikh al A’dzam; tidak diragukan lagi tentang kelegalan pelabelan hujah terhadap istishâb, akan tetapi ketika yang ingin ditunjukkan oleh istishâb adalah makna menyisakan maka label hujah itu hilang darinya karena jika yang dimaksud istishâb adalah konservasi amaliah yang disematkan kepada mukallaf tentu ia tidak dapat dikatakan hujah karena konservasi amaliah tidak sah untuk membuktikan atau menjadi dalil atas suatu hal. Jika yang dimaksud istishâb adalah keharusan syar’i (al ilzâm al syar’i), sejatinya keharusan itu adalah hal yang ingin ditunjukkan (madlûl) dalil bukan berarti ia bisa membuktikan atau menjadi dalil untuk dirinya.
Kritikan ini menurut syaikh Muzaffar dapat dijawab dengan menilik kembali makna al ibqâ’ (konservasi) yang sejatinya adalah hal yang ingin ditunjukkan istishâb. Arti konservasi di sini adalah suatu kaidah syar’i yang diletakkan dalam posisi amal. Jadi, bukan konservasi amaliah yang disematkan kepada mukallaf tidak juga keharusan syar’i. istishâb dapat dilabeli hujah dalam artian bukan hujah yang berarti amârah tetapi hujah dari sisi Bahasa karena apalah makna sebuah kaidah amaliah yang menjadi bukti atas hal yang menjustifkasinya, tetapi kaidah yang berarti suatu perintah yang datang dari syariat yang butuh kepada dalil dan justifikator sebagaimana hukum-hukum lain yang datang dari sisi yang sama. Jika diperhatikan, mempraktekkan kaidah tersebut ketika tidak tahu manakah yang pasti adalah hal yang mustahil dilakukan mukallaf jika dia membedai kenyataan, begitupula ketika seorang mukallaf memilih hal yang tidak sesuai kaidah itu, dia dapat menjadikannya hujah lalu membedai kenyataan… dari aspek ini istishâb bahkan semua al ashl al ‘amali dan kaidah-kaidah fiqih yang diciptakan untuk orang yang ragu dan tidak mengetahui kenyataan.[19]
Dari pejelasan di atas kita ketahui keabsahan di sini bukanlah bukti yang menguatkan absahnya istishâb tetapi makna kehujahan istishâb itu.
C.     Standardisasi
Dalam kajian standardisasi ini kami akan membahas tentang kriteria yang wajib dimiliki oleh sebuah istishâb. Ia takkan berdiri tanpa keberadaan kriteria-kriteria ini.
1.       Keyakinan; yaitu adanya keyakinan terhadap kondisi yang telah lewat baik berupa hukum syar’i atau sebuah objek yang berhukum syar’i.[20] artinya, beribadah dengan awetnya hal yang dahulu diyakini bukan sekedar ia ada ketika ragu, setelah meyakininya dahulu.[21]
2.       Keraguan; yaitu ragu terhadap awetnya keyakinan. Karena apalah arti dan urgensitas yang ditawarkan istishâb jika kita mengasumsikan keyakinan masih ada atau diganti oleh keyakinan lain. Jadi, kaidah istishâb tidak berlaku kecuali dalam asumsi adanya keraguan terhadap adanya hal yang dahulu diyakini. Jika diperhatikan syarat ini berlawanan dengan pendahulunya, maka ia dapat dijelaskan melalui syarat ketiga;
3.       Berkumpulnya keyakinan dan keraguan dalam satu masa; artinya kedua hal tersebut ada dalam satu waktu meskipun tidak muncul dalam waktu bersamaan. Terkadang keyakinan dapat muncul sebelum keraguan sebagaimana hal yang dominan dalam sejumlah ilustrasi istishâb, terkadang keduanya muncul bersamaan seperti ketika seseorang di hari jumat mengetahui kesucian pakaiannya di hari kamis, dan pada waktu di mana pengetahuan tentang kesucian itu muncul, muncul pula keraguan terhadap awetnya kesucian yang ada di kamis masih ada sampai hari jumat. Dan terkadang keraguan lebih dahulu ada ketimbang keyakinan, contohnya seseorang ragu akan kesucian pakaiannya di hari jumat dan keraguan ini masih awet sampai dihari sabtu, di hari sabtu muncullah keyakinan bahwa pakaiannya itu suci pada hari kamis. Semua asumsi ini masuk dalam ranah istishâb.
4.       Banyaknya waktu hal yang diyakini dan hal yang diragukan; karena walaupun dengan asumsi bersatunya waktu keyakinan dan keraguan, tetapi mustahil untuk mengasumsikan bersatunya waktu hal yang diyakini dan yang diragukan karena jika keduanya bersatu, itu artinya keraguan dan keyakinan itu begabung dalam suatu hal, dan itu mustahil… jadi, istishâb tidak berlaku kecuali dalam kondisi bersatunya waktu keyakinan dan keraguan, serta banyaknya waktu objek mereka (muta’allaq). Artinya seseorang menjadi ragu di kemudian hari terhadap objek yang dahulu diyakininya pernah ada. Contoh; seseorang telah meyakini adanya kehidupan orang pada hari jumat, kemudian di hari sabtu dia ragu pada kehidupan yang sama seperti yang diyakininya di hari jumat. Keraguan itu melangkah menuju hari jumat, ia kemudian mengganti posisi keyakinan yang lebih dahulu ada.
5.       Bersatunya objek (muta’allaq) keyakinan dan keraguan; yaitu keraguan berkaitan dengan objek yang sama dengan keyakinan terlepas dari pandangan tentang waktu.
6.       Waktu hal yang diyakini harus lebih awal ketimbang waktu hal yang diragukan; yaitu keraguan harus berkaitan dengan awetnya hal yang dahulu diyakini adanya.
7.       Efektivitas keyakinan dan keraguan; artinya tidak cukup dengan adanya keraguan hipotetis atau keyakinan hipotetis. Syarat ini ada untuk menyanggah mereka yang menganggap berlakunya istishâb pada keraguan hipotetis, contoh; seorang mukallaf telah yakin bahwa dia membawa hadats lalu dia lupa dengan kondisi tersebut kemudian salat, ketika telah selesai salat muncullah keragu-raguan apakah dia telah bersuci sebelum mengerjakan salat? Jika ditinjau melalui kaidah kesudahan (al farâg) salatnya dianggap sah karena keraguan datang setelah selesai dari ibadah serta tiadanya keraguan sebelum ritual tersebut dilakukan. Di sini istishâb tidak berlaku untuk mengawetkan hadats tersebut sampai pada waktu salat dilaksanakan karena di sini keraguan tidak ada (berlaku) kecuali setelah selesai salat…adapun jika kita berpendapat bahwa di sini istishâb masih berlaku dalam keraguan hipotetis, artinya diandaikan adanya keraguan pada hadats yang bisa saja hilang sebelum salat. Maka orang yang salat dengan kondisi seperti ini sama saja seperti orang yang melaksanakan salat dengan keyakinan bahwa dia belum bersuci, artinya salatnya tidak sah sekalipun dia lupa (tentang ketidak sucian tersesbut ) di dalam salatnya, dan kaidah kesudahan (al farâg) tidak berlaku di sini Karena ia tidak dapat memvonis istishâb yang masih berlaku sebelum mukallaf melaksanakn salat.[22]

D.     Bukti
Di sini kami akan membahas tentang bukti-bukti yang memperkuat keabsahan istishâb baik yang berupa dalil rasional maupun tekstual.
1.    Struktur dari orang-orang berakal (binâ’u’l ‘uqalâ’); dalam setiap perilaku dan kehidupan sehari-harinya orang-orang berakal selalu memilih keyakinan yang dahulu ada ketika muncul keraguan terhadap keawetan yakin tersebut. Hal inilah yang menjaga setiap aspek kehidupan manusia, jika ia tak ada maka rusaklah tatanan social dan takkan berjalan satupun perdagangan dan pasar. Menurut suatu pendapat hal ini juga berlaku bahkan dalam insting binatang; burung-burung kembali ke sarangnya, dan hewan ternak kembali ke kandangnya. Tetapi generalisasi istishâb pada binatang-binatang tersebut perlu ditinjau kembali bahkan ini terhitung suatu gurauan karena tidak adanya prospek yang membuat insting hewani binatang-binatang itu dapat dikatakan suatu isstishab, akan tetapi hal tersebut terjadi sesuai dengan insting mereka yang timbul dari alam bawah sadar. Walau bagaimanapun, struktur dari orang-orang berakal di dalam setiap perilakunya selalu memilih keyakinan yang dahulu ada ketika munculnya suatu keraguan terhadap keawetannya. Jika proposisi ini benar maka selanjutnya kita melangkah kepada proposisi kedua yaitu; sesungguhnya sang pengatur (al syâri’) termasuk orang-orang berakal bahkan beliau adalah pemuka mereka dan beliau mempunyai perilaku yang sama dengan mereka, jika tidak pernah ditemukan sebuah sangkalan darinya terhadap perilaku mereka, ini berarti beliau tidak memiliki perilaku lain selain perilaku seperti yang mereka miliki karena jika tidak maka beliau akan menampakkan ketidak setujuannya dan beliau akan memberitahu manusia tentang hal tersebut. Secara gamblang proposisinya sebagai berikut: pertama; pengukuhan struktur orang-orang berakal terhadap istishâb. Kedua; struktur ini telah disetujui oleh sang pengatur dan beliau ikut berpartisipasi bersama mereka (dalam hal tersebut).
2.    Hukum akal; yaitu hukum akal teoretis bukan amaliah, seorang mukallaf yakin dengan adanya kausalitas antara pengetahuan tentang adanya sesuatu yang dahulu ada dengan keunggulan awetnya hal tersebut nanti saat keraguan terhadap awetnya hal tersebut datang. artinya jika seseorang mengetahui adanya sesuatu pada suatu masa lalu tiba-tiba datang suatu hal yang mengguncang pengetahuan tentang keawetan hal yang dahulu ada tersebut, ketika itu akal menghukumi bahwa kemungkinan awetnya hal tersebut jauh lebih kuat. Dan jika akal telah menghukukmi keawetannya maka syariat pun harus mengamini keawetan tersebut. Bukti hukum akal in dapat dikritik dari dua aspek; pertama; Dakwa kausalitas. Hal ini dapat disanggah melalui perasaan (al wijdân); kita sering mengetahui kondisi yang telah lewat tetapi tidak ada dugaan keawetan hal tersebut ketika keraguan terhadap adanya hal dahulu datang. Keedua; sekalipun kausalitas tersebut diamini, paling banter ia hanya dapat menjustifikasi adanya dugaan keawetan. Dugaan ini tidak dapat dipergunakan untuk menjustifiksi hukum syar’i kecuali dengan bantuan dalil lain yang menunjukkan keabsahan dugaan tersebut… jika terdapat dalil atas keabsahan dugaan tersebut maka dalil itu sejatinya adalah dalil untuk istishâb bukan kausalitas di atas.
3.    Ijma’; seperti yang pernah dikatakan empunya kitab al mabâdi[23]; “istishâb adalah hujah yang telah disepakati (ijma’) fuqaha’, kapan saja terdapat suatu hukum kemudian datang suatu keraguan apakah hukum tersebut telah dihilangkan oleh suatu hal atau tidak? Maka wajib untuk memvonis keawetannya sebagaimana yang terjadi dahulu.” Menurut syaikh Muzaffar, tercapainya ijma’ dalam masalah ini sangat sulit karena banyaknya kontroversi tentang keabsahannya, kecuali jika yang dimaksud dengan tercapainya suatu kesepakatan (ijma’) disini adalah secara global saja seperti qodyah mûjabah juz’iyyah di samping salbiyyah kulliyyah, jika seukuran ini tentu ijma’ telah tercapai. Contoh; dalam maslah orang yang yakin sudah bersuci kemudian dia ragu adanya hadats, semenjak zaman syaikh al Thûsi sampai sekarang sepakat tentang berlakunya kesucian (thaharah) yang lebih dahulu itu.[24] 
4.    Khabar; ia adalah bukti yang paling diandalkan oleh orang-orang Syi’ah. Terdapat beberapa khabar yang biasa dicantumkan para peneliti ushul fiqh Syiah tetapi kami hanya akan mencantumkan satu khabar yang dinarasikan oleh Zararah[25]. Khabar sahih[26] yang datang dari Zararah ini tidak menjelaskan kepada siapakah dia bertanya, tetapi ini tidak mencegah khabar ini untuk dijadikan bukti karena para ahli riwayat telah menyebut khabar itu dalam kitab-kitab mereka seperti di dalam kitab al hadâiq, muhkî’l fawâid miliknya al Sayyid Bahru’l ‘Ulum[27], dan al fawâidul madaniyyah miliknya al Astrabadi[28] terlebih tokoh yang meyampaikan khabar ini adalah Zararah yang tidak mungkin mengambil hal istimewa ini dari selain imam[29] As[30]. Zararah berkata;

قلت له: الرجل ينام وهو على وضوء، أيوجب الخفقة والخفقتان عليه الوضوء؟ قال (عليه السلام): يا زرارة قد تنام العين ولا ينام القلب والاُذن وإذا نامت العين والاُذن فقد وجب الوضوء. قلت: فان حرّك في جنبه شيءٌ وهو لا يعلم؟ قال (عليه السلام): لا، حتى يستيقن أ نّه قد نام حتى يجيء من ذلك أمر بيّن، وإلاّ فانّه على يقين من وضوئه، ولا ينقض اليقين بالشك أبداً، ولكنّه ينقضه بيقين آخر[31]
Aku (Zararah) berkata kepadanya; seseorang tertidur dalam keadaan masih mempunyai wudhu, apakah satu kali mengangguk (karna ngantuk) atau dua kali mengharuskannya berwudhu kembali? Dia (imam) berkata; wahai Zararah, terkadang mata (sesesorang) tertidur tetapi tidak dengan hati dan telinganya, jika mata, telinga, dan hati telah tertidur maka barulah wudhu itu wajib. Aku berkata; jika sesuatu bergerak di sampingnya tetapi ia tidak tahu (sadar)? Dia berkata: tidak (wajib) pula, sampai dia yakin bahwa dia telah tertidur, sampai ia mendapati jawaban yang pasti. Jika tidak, berarti dia masih yakin akan wudhunya, dan selamanya keyakinan takkan dibatalkan oleh keraguan, tetapi keyakinan dibatalkan oleh keyakinan lain.
Adapun pemahaman terkait hadits (fiqhu’l hadîts), bagian pertama dari pertanyaan tersebut adalah sebuah pertanyaan tentang syubhat terkait hukum (syubhat hukmiyah). Artinya, setelah si penanya tahu tentang batalnya wudhu yang disebabkan oleh tidur, dia kemudian bertanya tentang arti dari tidur yang membatalkan? Apa keberadaanya diketahui melalui sekali atau dua anggukan mengantuk atau tidak? Syubhat konotatif sejatinya merupakan bagian dari syubhat kehukuman karena ukuran dalam suatu kehukuman adalah pembedahan syubhat tersebut seharusnya dilakukan oleh syariat, ketika membedah syubhat terkait hukum menjadi tugasnya, begitupula syubhat terkait arti atau konotasinya; ketika menjelaskan tentang haramnya bernyanyi adalah tugas syariat, menjadi tugasnya pula dalam menjelaskan arti dari bernyanyi itu. Dan pada konteks ini (tidur), sang Imam As. Telah membedah syubhat-syubhat itu melalui penjelasannya bahwa tidur saja tidak membatalkan wudhu tetapi yang membatalkannya adalah tidur yang telah menguasai mata dan telinga.[32]
Setelah menyingkap kesamaran terkait konotasi, si penanya mulai mempertanyakan tentang syubhat kontekstual (maûdhû’iyyah) yang ada pada konotasi tidur, syubhat ini muncul dari hal-hal luar (bukan tidur itu sendiri). Artinya, setelah mengetahui seperti apakah tidur yang membatalkan itu, muncullah keraguan apakah makna tidur yang membatalkan ini ada pada tidur orang itu atau tidak? Keraguan ini muncul dari kelanjutan cerita bahwa orang yang tidur itu tidak menyadari gerakan yang ada di sampingnya, dan tiadanya kesadaran ini adalah aspek kemenangan tidur atas kedua indera tersebut, atau sebaliknya tidur tidak menguasai keduanya. Sang Imam As. Menjawab tidak sampai dia yakin bahwa dia telah tertidur, sampai ia mendapati jawaban yang pasti. Artinya, dia tidak harus berwudhu ulang sampai dia tahu sebenarnya apakah yang membatalkan wudhunya.
kemudian sang Imam melanjutkan, jika tidak, preposisi ini mengandung syarth, artinya, jika dia tidak yakin telah tertidur atau tidak mendapatkan jawaban yang pasti, jawaban dari syarth tersebut bisa jadi dibuang (mahzûf) dan kalimat setelahnya menjadi alasan (‘illat) bagi jawaban yang terbuang itu. Seperti firman Allah Swt.; [آل عمران: 97] وان تكفر فإن الله غني عن العالمينjawaban pada ayat itu sejatinya telah hilang yaitu; maka kekafiran mereka takkan membahayakan Allah Swt. Sengguhnya Ia tidak butuh kepada alam semesta. Jadi, berarti dia masih yakin akan wudhunya adalah premis mayor, dan dan selamanya keyakinan takkan dibatalkan oleh keraguan adalah premis minor, dan keduan premis ini dicantumkan supaya konklusinya menjadi jawaban dari syarat tersebut.[33]
Penutup
Dari pemaran tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa hal yang ingin diperoleh kelompok Sunni juga dikehendaki oleh Syiah. Yaitu kesejahteraan umat Islam dalam peribadatan dan ketenangan mereka dalam aktivitas setiap hari. Istishâb menjadi bukti kuat bahwa Islam tidak hanya dimiliki oleh kelompok tertentu, al Qur’an adalah kaidah umum yang dapat diproduksi menjadi berbagai penafsiran tentang pemroduksian hukum, oleh karena itu para sarjanawan/wati muslim mempunyai perspektif-perspektif tak sama dalam memahami dan metode memproduksi dan ini tidak menjadi masalah selama perbedaan adalah rahmat maka seharusnya kita dapat mentolerir perbedaan paham yang terjadi.



Daftar Pustaka
1.         Dr. Abdul karim zaidan, al wajiz fi ushulil fikih, muassasah ar risalah nasyrun, damaskus, cet. I, 2014,
2.         Dr. Wahbah zuhaili, ushul fikih islami, darul fikr, damaskus, cet. I, 1986,
3.         Jaih mubarok, metodologi ijtihad hukum islam, UII press, yogyakarta, 2002
4.         Abdul wahab khalaf, ilmu ushul fikih, muassasah ar-risalah nasyirun, damaskus, cet. I, 2011,
5.         Ayatollah Muhammad Ali al Arâki, ushûlu’l fiqh, vol ii, muassasah dararah haq qumm, 1375 H
6.         Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al Maqdisi, raudhatu al nâzir wa jannatu al manâzhir fî ushûlu’l fiqh ‘ala mazhabi’l imam Ahmad bin Hanbal, ed. Dr. Abdul Karim bin Ali al Namlah, maktabah al Rusyd, Riyadh, cet i. 1993.
7.         Abi al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al Juwaini, al burhân fî ushûlu’l fiqh, ed. Dr. Abdul Adzim al Dîb, Fak. Syariah, Univ. Qatar, dicetak dengan dana dari Raja Qatar Syaikh Khalifah bin Hamdi Âli Tsani. Vol i, 1399 H.
8.         Abu al-Faraj Muhammad bin Ishaq an-Nadim, al Fihrist, dar al ma’rifah, Beirut.
9.         Budhy Munawar-Rachman, ISLAM DAN LIBERALISME, Diterbitkan oleh Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta Selatan, Cetakan I, Agustus 2011,
10.     Fakhruddin Muhammad bin Umar al Razi, al mahsûl fî ‘ilmi ushîli’l fiqh, ed. Dr. Thaha Jabir Fayyad al ‘Alwânî, muassasah al Risâlah,
11.     Muhammad Murtadha al Husaini al Zabîdî, tâju’l ‘arûs min jawâhir’il qâmûs, ed. Abdul Karim al Azbawi, matba’ah hukûmah al Kuwait, Kuwait , 1979,
12.     Muhammad Abu Zahrah, ushûlu’l fiqh, dâr al-fikr al ‘Arabi, Kairo. Hal 304.
13.     Sayyid Muhammad Said al Thabâthaba’i, al muhkam fî ushûli’l fiqh, muassasah al mannar, cet i, 1994,
14.     Muhammad Ridha Muzaffar, ushûlu’l fiqh, vol i, muassasah al a’la li’l mathbû’ât, Beirut, cet ii, 1990,
15.     Zuhairi Misrawi, Titik Temu Sunni dan Syiah,  http://www.majulah-ijabi.org/taqrib/titik-temu-sunni-dan-syiah,








[1] Dikaji dalam al Risalah (kajian regular level 1, PCIM Mesir,) sabtu, 09 Safar 1437 bertepatan dengan 21 November 2015.
[2] Mahasiswa fakultas ushuluddin tingkat 4
[3] Mahasiswa fakultas Syariah tingkat 4.
[4] Budhy Munawar-Rachman, islam dan liberalisme, Diterbitkan oleh Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta Selatan, Cetakan I, Agustus 2011, Hal, 108.
[5] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al Maqdisi, raudhatu al nâzir wa jannatu al manâzhir fî ushûlu’l fiqh ‘ala mazhabi’l imam Ahmad bin Hanbal, ed. Dr. Abdul Karim bin Ali al Namlah, maktabah al Rusyd, Riyadh, cet i. 1993. Hal 57.
[6] Abi al Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al Juwaini, al burhân fî ushûlu’l fiqh, ed. Dr. Abdul Adzim al Dîb, Fak. Syariah, Univ. Qatar, dicetak dengan dana dari Raja Qatar Syaikh Khalifah bin Hamdi Âli Tsani. Vol i, 1399 H. Hal 1135.
[7] Fakhruddin Muhammad bin Umar al Razi, al mahsûl fî ‘ilmi ushîli’l fiqh, ed. Dr. Thaha Jabir Fayyad al ‘Alwânî, muassasah al Risâlah, Vol6. hal 120.
[8] Muhammad Abu Zahrah, ushûlu’l fiqh, dâr al-fikr al ‘Arabi, Kairo. Hal 304.
[9] Lihat; Dr Wahbah al Zuhaili, ushûl’l fiqh al Islâmî, vol 2, dâr al fikr, cet i, 1986, Beirut. hal. 870-871.
[10] Abu Zharah, ibid. 304.
[11] Lihat; Zuhairi Misrawi, Titik Temu Sunni dan Syiah,  http://www.majulah-ijabi.org/taqrib/titik-temu-sunni-dan-syiah, ditulis pada tanggal; 11/2/2014, saya ambil pada tanggal; 7-11-2015. Lihat pula; Abu al-Faraj Muhammad bin Ishaq an-Nadim, al Fihrist, dar al ma’rifah, Beirut. hal 295.
[12] Muhammad Murtadha al Husaini al Zabîdî, tâju’l ‘arûs min jawâhir’il qâmûs, ed. Abdul Karim al Azbawi, matba’ah hukûmah al Kuwait, vol 18, Kuwait , 1979, hal 354.
[14] Lihat; Muhammad Ridha Muzaffar, ushûlu’l fiqh, vol i, muassasah al a’la li’l mathbû’ât, Beirut, cet ii, 1990, hal 5-7.
[15] Murtadha bin Muhammad Amin Murtadha al Anshari al Dazfûlî (1781-1864) masyhur dengan julukan syaikh al Anshari, salah seorang ulama Syiah abad ke 13 Hijriah.
[16] Lihat; Ayatollah Muhammad Ali al Arâki, ushûlu’l fiqh, vol ii, muassasah dararah haq qumm, 1375 H, hal 269.
[17] Lihat; Sayyid Muhammad Said al Thabâthaba’i, al muhkam fî ushûli’l fiqh, vol iv, muassasah al mannar, cet i, 1994, hal 10.
[18] Muhammad Ridha Muzaffar, ushûlu’l fiqh, vol ii, op, cit, hal 239.
[19] Ibid. 246.
[20] Ibid. 242.
[21] al Thabâthaba’i, al muhkam, op, cit. vol 5. hal 95.
[22] Muhammad Ridha Muzaffar, ushûlu’l fiqh, vol ii, op, cit, hal 244-245.
[23] Lam aqif ‘alaihi
[24] Muhammad Ridha Muzaffar, ushûlu’l fiqh, vol ii, op, cit, hal 255-256.
[25] Zararah bin A’yun (80-150 H) salah seorang petinggi rawi Syiah Itsna Asyariah, telah meriwayatkan dari imam Muhammad al Baqir dan Jakfar al Shadiq Ra.
[26] Tentunya sahih di sini menurut perspektif Syiah.
[27] Muhammad Bahrul Ulum (1927-2025), seorang petinggi Syiah Itsna Asyariah Iraq.
[28] Ssyaikh Muhammad Amin bin Muhammad Syarif al Astrabadi seorang ahli fiqih syiah itna asyariah abad 11 H
[29] Jakfar al Shadiq atau Muhammad al Baqir Ra.
[30] Saya menulis As sesuai dengan teks yang ada karena Syiah menganggap imam mereka sebanding dengan nabi, jadi jangan heran.
[31] Lihat; al Thabâthaba’i, al muhkam, op, cit. vol 5. hal 21.
[32] Ayatollah Muhammad Ali al Arâki, ushûlu’l fiqh, vol ii, op, cit, hal 286.
[33] Ibid. 287.

Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons