Islam; Upaya Purifikasi Tauhid.


Islam adalah agama Allah Swt. yang Ia anugerahkan beserta ajaran dan peraturannya kepada Nabi Muhammad Saw. dan mewajibkan beliau untuk menyampaikannya kepada seluruh umat manusia.[1]
Nabi Muhammad Saw. menerima al-Qur’an sebagai sumber kepercayaan (akidah) dan peraturan (syariah) Islam. Di sisi Tuhan dan Umat Islam, al-Qur’an adalah sumber Pertama untuk mengenal dasar-dasar ajaran Islam. Dari al-Qur’an pula Islam diketahui memiliki dua bidang primordial, hakikat beserta makna keislaman hanya dapat diraih dengan mengejawant-ahkan dua bidang tersebut dalam akal, hati, dan kehidupan manusia. Dua bidang itu adalah; akidah, dan syariah.[2]
Akidah adalah sisi teori yang menuntut seseorang untuk mengimaninya dengan iman yang tak kalah oleh rasa ragu dan tak terpengaruh oleh kecurigaan. Dalam pengukuhannya, akidah ini identik dengan naskah-naskah yang jelas, dan kesepakatan umat Islam atas hal tersebut.[3] Akidah yang berbasis pengesaan Tuhan ini mengimani Tuhan sebagai Pencipta dan Tuhan Yang disembah. Al-qur’an telah menjelaskan dasar-dasar beserta cabang akidah ini, dalam beberapa ayat ia menuturkan sejumlah masalah terkait akidah beserta bukti-bukti keabsahan-nya tanpa menyisakan kata tambahan bagi orang lain, tidak pula menguranginya.[4]
Al-Qur’an telah menyinggung dasar-dasar akidah dalam firman Allah Swt.; “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah , hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.”[5]  Dan Rasululah Saw. bersabda:
الاءيمان ان تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر ، وأن تؤمن بالقدرخيره وشره ، حلوه ومره. (متفق عليه)
Akidah Islam memiliki karakter yang membedakannya dari akidah lain, baik akidah buatan maupun akidah samawi yang telah diselewengkan. Diantaranya[6]:
1.         Akidah Rabbani. Artinya Tuhanlah yang bertanggung-jawab menjaga akidah ini dari penyelewengan dan falsifikasi baik dengan menambah-nambah atau mengurangi sesuatu dari akidah tersebut. Hal ini karena sumber akidah Islam adalah wahyu dari kitab Allah Swt. yang terjaga dari setiap usaha falsifikasi yang telah terjadi pada kitab-kitab sebelumnya. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[7] Dan sunnah Rasululullah Saw. yang telah ditegaskan bersih dari segala emosional; “Wa mâ yanthiqu ‘ani’l awâ. In huwa illâ wahyun yûâ”. Maka setiap orang yang berpendapat tentang akidah tanpa bersandar kepada wahyu, sesungguhnya telah berpendapat tentang Tuhan tanpa kuasa (dalil) dan ilmu. Dan setiap masalah yang diperdebatkan manusia terkait akidah wajib diserahkan kepada Allah dan Rasulnya.
2.         Akidah yang fitrah. Dekat dengan hati, mudah dicerna, sederhana dalam penyampaian masalah-maslahnya, jauh dari keambiguan para filsuf dan perdebatan para Mutakallim. Allah Swt. berfirman: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.”[8] Rasulullah Saw. bersabda: “Kullu maulûdin yuwladu ‘ala’l fithrah fa abawâhu yuhawwidânihi aw yunassirâhi aw yumajjisânihi.”[9]akidah ini berarti tidak asing untuk fitrah manusia karena dia lahir dengan fitrah yang telah mengakar dalam wataknya, dan kedatangan para rasul untuk mengingatkan manusia tentang fitrah tersebut.
3.         Akidah yang moderat. Ia menengahi paham tajsim (inkarnasi) dan paham ta’thil (paham yang meniadakan semua sifat Tuhan). Allah Swt. berfirman: “ dan demikian Kami telah menjadikan kamu umat yang moderat.”[10] Hal ini membuat umat Islam menjadi moderat dalam akidah baik dasar-dasar dan cabangnya, menengahi setiap agama lain baik yang memiliki kitab dari langit atau agama yang hanya memiliki filsafat buatan.
4.         Akidah yang terbuktikan. Berbasis bukti yang menanamkan keyakinan yang kuat. Tidak ada kata taklid mengekor kepada suatu pendapat atau sebuah mazhab, atau syekh dan tidak ada khurafat. Dalam akidah ini akal adalah cahaya Tuhan dalam diri manusia, dan wahyu adalah cahaya Tuhan untuk manusia. Tentunya cahaya tidak akan menyalahkan sesama, tetapi justeru menguatkan dan menegaskan. Karena itu akida Islam terbentuk dari pertemuan antara cahaya akal dan cahaya wahyu, dan al-Qur’an telah menjadikan akal sebagai standar pembenanan (taklifi), maka tidak ada beban bagi orang gila, yang sedang tidur, dan anak yang belum dewasa. Selain itu al-Qur’an juga menitahkan kepada akal untuk merenungkan alam semesta yang menjadi bukti keberadaan dan kekuasaan Tuhan.

·         Bukti keberadaan Tuhan

Dalam masalah ini para ilmuwan terpaksa berbeda pandangan apakah Tuhan perlu dibuktikan atau tidak. Golongan yang menganggap tidak perlu cenderung tidak setuju untuk membuktikan keberadaan Tuhan dengan asumsi-asumsi yang terasa jauh dari ruh Islam. Toh keberadaannya juga telah ada dalam fitrah (insting) manusia. Imam Sya’rani berkata: “Para nabi tidak datang untuk mengajarkan kita tentang adanya pencipta, tetapi untuk menyeru kepada tauhid.” Dr. Abdul Halim Mahmud berkata: “kenyataanya Rasulullah Saw. tidak memulai dakwahnya dengan pembuktian keberadaan Tuhan, tetapi beliau malah membuktikan kebenaran risalahnya. Malaikat yang tiba-tiba datang mengagetkannya pun tidak membawa wahyu yang membuktikan keberadaan Tuhan, ia malah memberi perintah Rasul untuk membaca. Adapun ayat-ayat yang disangka sebagian orang sebagai bukti keberadaan Tuhan, pada dasarnya menjelaskan keagungan Tuhan, kemuliaannya, dan kekuasaannya. Bukan untuk membuktikan keberadaannya.[11] Karena bagaimana membuktikan keberadaaan-Nya dengan benda-benda yang butuh kepada-Nya untuk berada? apakah selain-Nya lebih jelas sehingga berhak menjadi penjelas untuk-Nya? Kapan Ia hilang sehingga membutuhkan bukti keberadaan? Dan kapan Ia menjadi jauh sehingga bukti-bukti itu yang dapat menyampaikan kita kepadanya?[12]

Golongan yang merasa perlu meyakini keberadaan Tuhan adalah hal yang dapat dibuktikan dengan berfikir, perlu dibuktikan dengan dalil. Jika hal tersebut tidak memerlukan bukti tentu tidak ada perbedaan pendapat dan tak ada orang kafir. Rasa keberagamaan memang telah ada dalam diri manusia, dan setiap manusia memang mengenal tuhan, adapun orang yang mengingkarinya pasti akan mengganti tuhan dengan tuhan yang lain. Tetapi mayoritas manusia seringkali terpengaruh dengan berbagai macam hal seperti; lingkungan, kecenderungan, emosi, dan lainnya yang dapat mempunyai andil besar dalam menyelewengkan fitrah manusia. Karena itu mereka butuh peringatan. Selain itu akal dan indera yang menjadi alat pengetahuan manusia sangat berpotensi mengalami kesalahan, apalagi masalah yang dibahas terkait dengan Tuhan. Karena itu al-Qur’an datang untuk memperingatkan manusia.[13]

Bagi seorang muslim, mengenal Tuhan dan membuktikan adanya termasuk kewajiban agama yang menjadi tanggungan setiap muslim. Dalam kajian ketuhanan, islam membolehkan seorang muslim untuk mempergunakan daya akal sebisa dan semungkin yang dapat dicapai oleh kemampuan akalnya. Misalnya, akal dapat meneliti berbagai fenomena dan benda-benda alam sebagai bahan baku bukti yang dapat membuatnya tahu bahwa tidak ada seorang makhlukpun yang mampu untuk menciptakan hal-hal tersebut dan mengeluarkannya dari tiada ke realita, bahkan tak seorangpun dari mereka yang mampu menjaga eksistensinya sendiri atau menyelamatkannya nyawanya dari kefanaan. Ketika itu, akal akan menyadari kebutuhannya kepada pencipta yang benar-benar ada juga memiliki sifat yang tak dimiliki setiap makhluknya. Akal juga akan mengakui bahwa beberapa eksistensi tidak sejenis, tetapi ada eksistensi yang memperoleh keberadaan dari yang lain, dan ada eksistensi yang tak butuh kepada apa dan siapapun. Konklusi dari semua kesadaran ini adalah hubungan erat antara dua eksistensi tersebut, salah satunya adalah pencipta dan pemberi keberadaan sedangkan sisanya adalah ciptaan yang telah memperoleh keberadaan dari yang lain. Tentu zat yang telah memberinya eksistensitas ini sangat sempurna, dan kesempurnaan itu nyatanya hanya dimiliki oleh sang pencipta sedangkan ciptaannya tentu kekurangan dan tetap butuh kepada eksistensi lain yang terus memberi anugerah kepadanya, sekiranya anugerah ini terhenti tentu ciptaan tersebut akan binasa.[14]
Tetapi mengapa banyak orang yang tidak mempercayai Allah dan keberadaannya?[15] Jawaban-nya mudah sekali karena mereka orang-orang materialis[16] sedangkan Tuhan bukan materi. Materialisme ini telah menguasai manusia, daya pikirnya, dan banyak yang membangun filsafat dan pemikiran dengan dasar materialisme tersebut.[17] Aliran ini telah ada bahkan semenjak zaman nabi dan doktrin mereka diabadikan dalam al-Qur’an: “Dan mereka berkata: kehidupan kita ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”.[18]
Rasa materialisme ini telah meliputi sebagian besar hidup manusia mulai dari kesehariannya sampai kepercayaan yang diakuinya. Contoh kecilnya, kebanyakan orang akan membeli pasta gigi ketika isinya telah habis, dan akan mengganti sikat gigi ketika bulu-bulunya telah rusak. Sedangkan dokter menyarankan sikat gigi sebaiknya diganti dalam jangka waktu tertentu karena tidak baik untuk kesehatan gigi walaupun keburukan dari sikat gigi tersebut tidak nampak. Habisnya masa tenggang sikat gigi ini bersifat abstrak dan masyarakat seringkali mengacuhkannya. Sedangkan masa tenggang pasta tentu bersifat material yang selalu diyakini.[19]
Dr. Ahmad Syalabi pernah ditanya; mengapa Tuhan tidak menampakkan diri-Nya kepada manusia dan memperlihat kekuasaan-Nya agar manusia menaati-Nya? Beliau menjawab: “kamu hanya percaya dengan apa yang kau lihat. Apa kau tidak mempercayai ruhmu hanya karena kamu tidak pernah melihatnya. Kamu orang materialis, kau ingin tuhan yang berbentuk fisik sedangkan Tuhan bukan fisik. Lalu jika Ia berbentuk fisik, kamu menginginkannya seperti apa? Seorang yang berbadan besar, menakutkan, mampu menenangkan angin, menghidupkan mayat, mengeringkan samudera? Apa ini cukup untuk membuatmu beriman? Tapi, apa kamu lupa bahwa Isa As. telah menghidupkan mayat, dan Musa As. telah membelah lautan. Tetapi hanya beberapa gelintir yang mengamini mereka. bahkan Isa As. dikenai hukuman salib, dan kaum Musa justeru menyembah patung anak sapi.
Pertanyaan lain; jika Tuhan memang ada, menagapa Ia tidak menolong orang terzalimi? Pertolongan Allah Swt. untuk yang terzalimi memang bukti keberadaan-Nya, kita juga percaya suaatu saat bahwa orang Zalim akan diganjar, dan tidak ada tirai yang membatasi Tuhan dengan doa orang terzalimi. Tapi kamu ini orang materialis, kamu menganggap Tuhan sebagai Polisi yang dapat ditelpon untuk menolong korban dan menjatuhkan hukuman pidana kepada pelaku kriminal. Karena terkadang Allah menangguhkan siksa sampai kezaliman yang diperbuat si zalim semakin menumpuk. “Innamâ numli lahum liyazdâdu itsma”[20] toh kamu juga tidak tahu kejadian sebenarnya, kamu hanya menyaksikan yang terlihat. Bisa jadi orang yang terzalimi tersebut sebenarnya orang zalim tetapi mampu menipumu dengan memutarbalikkan fakta dan keadaan. Karna bisa saja kezaliman yang kamu lihat tersebut adalah balas dendam terhadap kezaliman yang diperbuat orang yang terzalimi itu.[21]
Syekh Mutawalli al Sya’rawi pernah menulis tentang bukti-bukti material terkait keberadaan Allah Swt. dalam buku tersebut beliau berniat untuk menyanggah semua teori-teori sesat yang telah dikemukakan ilmuwan non muslim terkait alam semesta yang tercipta dengan sendirinya tanpa ada entitas yang memiliki hak cipta atasnya. Beliau berkata:
Apabila kita ingin memulai dengan bukti-bukti material, tentu kita harus memulai dengan ciptaan (makhluk). Itulah bukti yang selalu kita saksikan setiap harinya, yang dapat kita raskan karena kita hidup bersamanya. Mula-mula, alam semesta ini telah ada sebelum terciptanya ras manusia. Kebenaran ini tentu tak dapat dibantah, karena tidaak ada seorangpun yang pernah berkoar; bahwa langit dan bumi ini tercipta setelah terciptanya manusia. Dengan artian; manusia telah datang sedangkan bumi tempatnya hidup belum ada, matahari yang selalu terbit belum tercipta, tidak ada siang dan malam, bahkan udara untuk bernapas. Jadi, kedatangan manusia di muka bumi ini telah dipersiapkan dengan segala hajat yang dibutuhkannya. Bahkan, ada banyak hal-hal besar yang tercipta dan telah ditundukkan guna keperluan hidup manusia di alam ini, dan ada hal-hal lain yang bermanfaat bagi manusia dengan syarat mereka harus berusaha menemukan manfaat tersebut. Tetapi, kodrat alam semesta ini tidak patuh pada kita atau kekuatan kita karena kodrat tersebut jauh lebih besar dari semua kekuatan manusia; matahari, bumi, samudera, dan gunung. Maka dari itu, hal-hal besar tersebut telah ditundukkan untuk kita oleh Penciptanya, bukan karena kekuatan kita; karena ia ditundukkan, ia tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti hukum yang telah ditentukan; matahari takkan terbit selama sehari dan absen pada hari berikutnya untuk menerangi yang disukainya dan menghindari yang ia benci. . . Jika melihat manusia, kita mendapatkannya sebagai sesuatu yang berbeda; ia harus mengakui bahwa ia memiliki pencipta. Karena tak ada satupun manusia yang berani menyatakan telah menciptakan manusia, bahkan menciptakan dirinya sendiri.
Sebagian kalangan menganggap alam semesta ini tercipta dengan otomatis. Tetapi kita meyakini bahwa otomatisasi tak dapat membentuk hukum yang akurat sebagaimana hukum alam yang bermilarian tahun ini tidak pernah mengalami kekacauan. Kedatangan orang-orang yang memiliki teori sesat tersebut telah diramalkan al-Qur’an sebelum kedatangan mereka. ia menjelaskan bahwa mereka tidak lebih dari pembid’ah yang jauh dari kebenaran. Allah Swt. berfirman: “Aku tidak mengahadirkan mereka untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri merek sendiri; dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.”[22] Begitulah, kita menemukan mereka menyesatkan manusia dengan teori-teori gila terkait penciptaan langit-bumi, dan penciptaan manusia. Orang yang berasumsi ras manusia ber-evolusi dari kera {teori yang dipenuhi kedunguan}; kenyataanya, kita tak pernah menemukan kera berubah menjadi manusia. Jika mansuia berasal dari kera, mengapa kera-kera itu tetap menjadi kera dan tidak pernah berubah menjadi manusia?! Siapa yang bertugas mencegah transformasi tersebut terjadi jika dahulu pernah terjadi? Mereka lupa bahwa eksistensi manusia memerlukan pria dan wanita (untuk menguatkan populasi), kalau tidak, maka ras ini pasti telah punah. Mereka tidak pernah menjelaskan darimana datangnya kera yang berubah menjadi perempuan untuk melanjutka populasi.?!
Penemu sesuatu selalu ingin untuk mendeklarasikan temuannya. Sampai tidak ada satupun hal kecil yang diklaim seseorang di dunia ini sebagai ciptaanya, kecuali dia pasti loba untuk membeberkan karyanya itu. Jika seorang penemu bohlam ingin memberitakan citaanya kepada dunia agar dikenal dan dikenang oleh sejarah, apakah Sang Pencipta matahati akan lupa untuk memberitahukan bahwa Dialah penciptanya; jika ada daya lain yang tercipta, apa ia takkan memproklamirkan dirinya?
Semua teori penciptaan harus disematkan kepada Allah Swt. karena hanya Dialah Sang Pencipta. Bahkan para kafir  sekalipun tidak mampu menyangkal perihal tersebut; “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahri dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”.[23] Terkadang ada yang berkata: “Sejumlah ilmuwan telah melakukan penyampuran, pengawinan, pengindahan pada benda-benda alam; untuk menghasilkan jenis yang lebih baik dan berkualitas.” Kita harus berkata: “ini semua tidak menafikan bahwa bahan dasarnya telah diciptakan Tuhan, kemudian mereka mempergunakan benda-benda tersebut dengan pengetahuan yang telah diangugerahkan Tuhan kepada mereka. tetapi tidak ada seorangpun yang berani mendaku telah menciptakan sesuatu dari tiada menuju kenyataan; semua penemua-penemuan ilmiah tersebut berasal dari sesuatu yang telah ada; tidak ada satupun penemuan yang berasal dari ketiadaan.[24]
Kita dapat mengkategorikan pembuktian keberadaan Tuhan menurut para pemikir muslim menjadi empat[25]:
1.       Tendensi akal.

Aliran ini dimotori oleh para filsuf muslim dan mutakallimin yang mengakui akal sebagai jalan mengenal Tuhan. Walaupun seringkali mereka juga menambahkan dalil dari teks-teks wahyu. Adapun Mutakallimin membentuk pembuktian dengan teori kebahruan (fikrah al-huduts). Kebaharuan alam semesta ini dan butuhnya kepada Sang Pembaharu yakni Allah Swt.[26] Sedangkan filsuf muslim lebih mengutamakan dalil kehinggaan (dalil al-tanâhi). Teori ini dicetuskan oleh al-Kindi yang berpendapat bahwa kebahruan alam atau kehinggaannya dalam gerak, ruang, dan waktu. Dia juga menyimpulkan bahwa tidak mungkin alam ini menjadi alasan untuk dirinya sendiri, maka ia harus memiliki alasan yang bukan dirinya yang wajib ada. Ibn Sina sendiri menggunakan bukti eksistensi (dalil al-wujud). Dengan dalil ini kita tidak perlu lagi melihat kepada benda-benda konkret, tetapi cukup dengan merenungkan teori eksistensi itu sendiri kemudian memilahnyamenjadi dua; eksistensi yang mungkin ada, dan eksistensi yang wajib ada. Eksistensi Pertama tidak akan ada kecuali dengan alasan luar dirinya, karena ia mungkin ada mungkin tidak. Maka ia butuh kepada eksistensi yang wajib ada.

Ibn Rusyd mengemukakan bukti yang bisa dikatakan bukti terbaik yang telah dikemukakan madrasah filsafat; bukti pemeliharaan (al-‘inâyah) dan bukti penciptaan (al-ikhtira’) yang bersumber dari al-Qur’an. Beliau mampu mengungkapkannya dengan penjelasan yang mudah dicerna akal dan dekat dengan hati. Bukti pemeliharaan terbentuk dari dua pilar; Pertama; semua eksistensi ini selaras dengan eksistensi manusia. Kedua; keselarasan ini pasti berasal dari pelaku yang memiliki tujuan dan kehendak, karena keselarasan ini tidak mungkin ada dengan otomatis. Adapun keselarasannya dengan eksistensi manusia dapat diyakini dengan melihat keselarasan siang dan malam, matahari dan bulan dengan eksistensi manusia. Pemeliharaan juga terlihat pada anggota tubuh manusia dan anggota hewan yang sesuai dengan hidup dan eksistensinya. Adapun bukti penciptaan dapat mencakup eksistensi seluruh hewan, tumbuhan, dan langit. Metode ini terbentuk dari dua pilar yang ada dalam fitrah (insting) setiap manusia; Pertama; semua eksistensi ini adalah ciptaan[27], hal ini terlihat pada hewan dan tumbuhan. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya.”[28] Kita melihat fisik-fisik mati kemudian ia diperbaharui dengan kehidupan, maka kita pasti kan tahu bahwa ada Pencipta yang telah mengahugerahkan kehidupan, dialah Allah Swt. Pilar kedua; setiap ciptaan tentunya memiliki pencipta.[29]

2.       Dalil naqli. Terdapat banyak bukti keberadaan Allah Swt. dalam al-Qur’an. pembuktian al-Qur’an ini menyatakan bahwa alam semesta takkan tercipta tanpa alasan dan tujuan; “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.”[30] Terkait manusia; “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main(saja).”[31] Secara garis besar ciptaan ini harus difahami hakikat dan tujuannya.  Kemudian al-Qur’an menjelaskan bahwa alam materi, nabati, dan hewani telah ditundukkan untuk manusia; “Dan Dia telah menundukkan bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.”[32] Ketika merenungkan ayat-ayat ini kita akan menemukan penundukkan yang menarik perhatian kita  kepada Sang Penunduk. Penciptaan dan penundukkan yang telah ditegaskan al-Qur’an adalah bukti-bukti Allah Swt. dan keberadaan-Nya. dan betapa banyak ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir.[33] Dan berfikir tidak akan menuai hasil kecuali dengan berhenti pada alasan hakiki penciptaan tersebut. Apabila alam semesta ini telah ditundukkan untuk manusia, tentunya hal tersebut menunjukkan posisi istimewa manusia di muka bumi ini, hal tersebut sekaligus menjelaskan perilaku yang harus dijalani manusia sehingga mampu menyenangkan sang Pencipta yang telah menundukkan alam semesta ini[34]
3.       Tendensi sufi. Pembuktian yang dipergunakan sufi beranjak dari hati seorang mukmin. Dengan visi (kasyf) yang merobek tirai alam ghaib, bukan dengan akal seorang pemikir dengan buktinya yang terbatas. Al-Kalabazi berkata: “mereka (para sufi) sepakat bahwa bukti keberadaan Tuhan adalah Tuhan  sendiri. Menurut mereka metode akal adalah metode pemikir yang membutuhkan dalil karena dia sendiri bahru.”[35] Sebagian orang menyebut metode pembuktian ini dengan observasi sufi atau observasi pribadi (tajribah sufiyah[36] atau tajribah syakhshiyah[37]). Metode ini membutuhkan kesabaran dan ketielitian, waktu yang akan ditempuh juga cukup panjang tetapi terbukti dapat menyampaikan pemakai kepada tujuan akurat tanpa rasa ragu dan bimbang. Banyak ulama yang telah membuktikan metode ini, salah satunya adalah imam al-Gazali. Mereka tidak bermaksud untuk mengemukakan kepadamu bukti atas keberadaan Tuhan, tetapi hanya menunjukkan jalan agar engkau menemukan sendiri bukti-bukti di tengah perjalanan itu. Akhirnya kamu tidak akan membantah dan mendebat lagi. Di tengah- perjalanan tersebut seseorang pengembara akan menemukan berebagai peristiwa yang akan membuatnya meyakini keberadaan Tuhan karena bagaimana mungkin fenomena-fenomena tersebut terjadi dengan sendirinya (otomatis).[38]
4.       Fitrah dan insting. Maksudnya adalah perasaan adanya sang pencipta telah tertambat dalam hati dan insting manusia. Setiap orang berakal akan merasakan hal tersebut walaupun tanpa bantuan bermacam-macam bukti. Dia hanya perlu instropeksi diri dan tidak lalai agar mampu merasakan kehadiran-Nya dengan kuat dan jelas.[39] Allah Swt. berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan Kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.[40] Fitrah suci ini terkadang memiliki bertumpuk-tumpuk karat yang disebabkan perasaan materialis dan kurangnya budaya spiritual. Ketika melihat pemandangan yang indah, atau selamat dari kecelakaan, atau kemenangan yang lemah atas yang kuat, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut membangunkan perasaan yang dapat mengembalikan fitrah. Ketika itu juga manusia akan bergumam; Subhânallah, lâ quwata illa billah. Mengenal Tuhan dengan fitrah berarti tidak membutuhkan bukti, tetapi ia adalah teriakan perasaan, bangunnya sisi spiritual. Tentunya sisi spiritual ini bermacam-macam tergantung penggunanya, dan bangunnya perasaan tergantung situasi dan kondisi. Sebab-sebab yang mampu menghilangkan noda perasaan dan membangunkan sisi spriritual diantarnay adalah musibah dan bencana yang menimpa manusia. Setiap kali musibah semakin banyak dan pertolongan semakin menipis, perasaan akan muncul dan kembali.[41] Allah Swt berfirman: “dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdia kepada kami dalam keadaaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seoalah-olah dia tidak berdial kepada kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.”[42]


·         Keesaan Allah Swt.

Akidah ini adalah ikon agama Islam yang menjadi pilar Pertamanya. Ialah dasar risalah setiap agama samawi, bahkan ia adalah akidah fitrah orang-orang nomaden yang belum terkontaminasi dengan evolusi sosial kemasyarakatan.[43] Islam sebagai penutup agama (samawi) di muka bumi ini datang untuk menegaskan keesaan Allah Swt. dan memperingatkan manusia tentang itu. Karena ketika munculnya, Islam menemukan sebagian besar manusia telah menyekutukan Allah Swt. Allah Swt. berfirman: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).”[44] Mayoritas Arab mengakui keberadaan Allah Swt., tetapi mereka menyekutukannya dengan berhala-berhala yang mereka sembah. “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab:” Allah”.[45] Dan ketika mereka ditanyai mengapa menyembah berhala-berhala?[46] Mereka berkata: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.[47]

Esa berarti tiada berbilang. Sesungguhnya Allah Swt. esa pada Zatnya, Sifatnya, dan Perbuatan-Nya. Esa pada Zat-Nya berarti Allah Swt. tidak memiliki dua sifat sejenis, seperti adanya dua Qudrah atau dua Iradah. Esa dalam sifat juga berarti tidak ada satupun makhluk yang memiliki sifat seperti Allah Swt. karena sifat Allah Swt. kekal (qadim) sedangkan sifat manusia adalah bahru (hadits). Esa dalam perbuatan adalah; hanya Dia pencipta setiap makhluk, dan tidak ada pencipta selain Dia. Tauhid ini disebut tauhid rububiyah. Esa dalam perbuatan juga berarti hanya Dia yang berhak untuk disembah. Tauhid ini bernama tauhid uluhiyah.[48] Keesaan Allah juga mencakup ketiadaan sekutu, pembatalan pluralitas tuhan, keesaan Tuhan yang bermakna Zat Tuhan tidak terbagi-bagi. Adapun perbedaan antara Zat dengan sifat-sifat Cuma sebatas pengertian mereka, dan pengertian Zat yang sunyi dari sifat-sifatnya jika akal bisa menghayalkan hal tersebut.[49] tetapi lafaz Allah mengandung pengertian Zat beserta sifat-sifat-Nya dan kesempurnaan azaliNya. Jadi, tiada pluralitas dan tiada parsialitas dalam keesaan Tuhan.[50]

Ibn Rusyd membuktikan keesaan Tuhan dengan bertumpu pada ayat-ayat al-Qur’an;
a.       Allah Swt. berfirman: “sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.”[51] Dalam ayat ini kita menemukan aksioma[52] fitri yaitu; Adanya dua raja dalam satu kota akan menghancurkan kota tersebut. keculai jika salah satunya hanya berdiam diri saja. Tetapi jika hal tersebut memungkinkan dalam dunia manusia, itu hal mustahil bagi para dewa. Dan ketertataan alam semesta ini adalah bukti ketidakmungkinan pluralitas tuhan.
b.      Firman Allah Swt.: “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.”[53] Bahwasanya jika perbuatan tuhan-tuhan itu kontradiksi, tentu satu perbuatanpun takkan terlaksana. Tetapi anggapan ini juga ditolak, karena kita telah menyaksikan satu alam yang tertata rapi.[54] Tidak mungkin ia tercipta melalui tangan-tangan para dewa yang berbeda perilaku.
c.       Firman Allah Swt; “jikalau ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ‘Arasy”.[55] Artinya tidak masuk akal jika ada dua tuhan yang selalu bekerja bersama. Karena jika ada dua tuhan yang melakukan yang melakukan satu perbuatan, pasti ‘Arasy tersebut disematkan kepada mereka berdua. Yaitu mereka sama-sama bersemayam di atas ‘Arasy, dan setara dalam segala hal.[56]

Para mutakallimin (ahli teologi) menyebutkan tiga hipotesa jika Allah Swt. memiliki sekutu.
1.       Jika sekutu itu sangat persis dengan Tuhan dari segala segi dan tidak ada satupun perbedaan antara mereka berdua, berarti dalam hal ini kita tidak mungkin memahami dualisme. Karena jika ada dua subtansi tentu masing-masing dari mereka harus memiliki perbedaan. Perbedaan materi dan esensi keduanya itulah yang mampu mempertemukan mereka berdua dalam satu tempat, seperti warna dan gerak. Tentu kedua susbtansi tersebut mempunyai perbedaan yang sangat mencolok. Adapun jika suatu subtansi itu ternyata tidak memiliki perbedaan sedikitpun, maka dua subtansi tidak dapat bertemu pada satu waktu dan tempat. Seperti dua warna hitam, dua warna ini bisa berada dalam satu tempat pada waktu berbeda, mereka juga bisa berada pada satu waktu di tempat berbeda. Adapun jika mereka berdua berada dalam satu waktu dan tempat, sedangkan subtansi dan esensi mereka tidak berbeda sama sekali, dualisme hal tersebut tidak masuk akal. Allah Swt. tidak berada dalam ruang dan waktu, Dia tidak membutuhkannya karena Dialah penciptanya. Jika kita berasumsi terdapat suatu entitas yang mirip dengan-Nya tanpa ada perbedaan sedikitpun baik subtansi maupun esensi, tentu asumsi tersebut tidak logis ditolak oleh akal. Karena jika hal tersebut bisa terjadi, logika mungkin akan mengamini adanya satu orang manusia adalah dua orang manusia bahkan sepuluh dan seterusnya. Sebuah imajinasi yang batal pastinya, maka batal pula semua asumsi tentang sekutu Tuhan.
2.       Jika sekutu itu lebih agung, tentu yang pantas menjadi tuhan adalah yang mempunyai pangkat yang lebih tinggi.
3.       Jika sekutu itu kurang agung, tentu ia tidak pantas menjadi tuhan. Karena Tuhan adalah Zat paling sempurna.[57]

Selain itu Mutakallimin juga mengemukakan bukti lain yang mereka sebut bukti kontradiksi (dalil at tamânu’) . jika tuhan lebih dari satu, apakah setiap tuhan itu mampu untuk mengerjakan sendiri segala sesuatu, atau tidak mampu mengerjakannya sendirian? Jika ia mampu mengerjakan sendiri segala sesuatu, lalu apa manfaat keberadaan tuhan yang lain? Jika ia tidak mampu mengerjakannya sendiri, posisinya masih terlalu jauh dari ketuhanan kerena tuhan tidak mungkin bersifat lemah atau bergantung kepada selainnya.[58]


                                                                                                


                                                                                                
III. Penutup

Memahami masa lalu sangat membantu kita memahami masa kini; bagaimana membedakan kebenaran dengan kepercayaan, bagaimana kita menulis sejarah kita secara personal atau kultural, namun juga menegaskan jati diri kita; bagaimana kita menembus penyimpangan sejarah selama bertahun-tahun, berabad-abad, untuk menemukan kebenaran sejati.

Komentar yang dapat saya sampaikan kepada agama-agama menyimpang tersebut adalah seperti yang dikatakan Xenopon: “Homerus dan Henriod ( (هنريود menyematkan kepada tuhan segala hal-hal keji dan perbuatan buruk seperti mencuri, menipu, dan membangkang.” Kemudian dia mengkritik pemikiran masyarakat Yunani terkait dewa-dewa: “Manusia meyakini dewa-dewa mereka berketurunan, dan memiliki cara yang sama dengan manusia dalam berpakaian, ngobrol, dan sifat-sifat lain. Tetapi, seandainya sapi atau binatang lainnya mempunyai tangan untuk melukis seperti manusia, tentu kuda-kuda itu akan mengambarkan postur tuhan berbentuk badan kuda, dan kerbau pun akan melakukan hal tersebut; orang-orang Atsiobin ( (الاثيوبيون akan membuat tuhan-tuhan mereka berkulit hitam dan berhidung pesek, lalu bangsa Turaqia ((تراقية akan menjadikan tuhan-tuhan mereka bermbut merah, dan bermata biru.”[59]

Pertanyaan kepada kita sebagai orang Islam adalah; mengapa harus murtad dari agama kita? Apa yang kita inginkan sebagai gantinya? Apa kita kan mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?




[1] Syaikh Mahmud Shaltut, al-Islâm ‘Aqidah wa Syari’ah, Ed. Dr. Muhammad ‘Imarah, Magazine.azhar.eg. Hal. 20.
[2] Ibid. 23.
[3] Ibid. 23-24.
[4] Prof. Dr. Muhammad al-Sayyid al-Jalinad. ‘Aqidah al-Tauhid dînu Jamî’i’l Anbiyâ’ dalam Mawsû’ah al-Aqidah al-Islâmiyah, Pimred, Mahmud Hmadi Zagzoug,. Majlis a’la li al-Syu’un al Islamiyah. Kairo. 2010. Hal. 25-26
[5] QS. Al Baqarah. 177.
[6] Selengkapnya; Prof. Dr. Muhammad al-Sayyid al-Jalinad. ‘Aqidah, op. cit. Hal. 32 Dst
[7] QS. Al Hijr. 9.
[8] QS. Al Rum. 30.
[9] Hr Bukhari (319) dan Muslim (2658). “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, tetapi kedua orang tuanyalah yang mengyahudikan atau menasranikan atau memajusikannya.”
[10] QS. Al Baqarah. 143.
[11] Seperti pada: al-Ankabut;61. 63. Al Zukhruf;9. 87.
[12] Dr. Muhammad Rabi’ Jauhari, Aqidatuna, maktabah al-Iman. Kairo. cet. 10. 2007. Hal. 67-68,  Lihat juga; Abdul Halim Mahmud, al-islâm wa al-‘aql, hal 96-97.
[13] Ibid. 69-70.
[14] Dr. Thaha hibîsyî, al-Jânib al-Ilâhî fî fikr al-Imam al-Ghazâlî, hal 26-27.
[15] Pada dasarnya orang-orang tersebut mengamini adanya tuhan tetapi kemudian menyimbang oleh berbagai macam hal seperti gaya berfikir, doktrin sesat, dll.
[16] Orang yang menganggap alam sesesta ini hanyalah materi dan mengingkari hal-hal berbau abstrak.
[17] Dr. Ahmad Syalabi, Muqâranah. op. cit. Hal. 189.
[18] Al-a’raf 24.
[19] Ibid. 190.
[20] Ali Imran. 178.
[21] Ibid. 193-194.
[22] Al Kahfi. 51.
[23] Al Ankabut. 61.
[24] Syaikh Mutawalli al Sya’rawi, al Adillatu’l Mâddiyah ‘ala Wujûdillah, ed. Dr. Muhammad ‘Imarah, hadiah majalah azhar, Muharraam, 1436 H, 32-38.
[25] Selengkapnya; prof. Dr. Hasan Syafi’i, lamẖât mina’l fikri’l kalâmi, Hal. 9-26. Cet. I. 2010.Dar al-bashâir. Kairo.
[26] Pembuktian yang dipergunakan mutakallimin bermacam-macam, diantaranya;
1.       Metode subtansi dan sifat (Thariqah al-Jauhar wa’l ‘aradh). Yaitu; eksistensi ini terbagi dua;
a.       Eksistensi yang membutuhkan tempat atau mengisi ruang kosong. Ia ada dua; a.1) Subtansi yang tak dapat terbagi atau atom (jauhar al-fard). a.2) Eksistensi yang bisa terbagi atau fisik (ajsâm).
b.       Eksistensi yang tidak membutuhkan tempat atau tidak mengisi ruang kosong. Ia ada dua; b.1) Sifat (‘aradh), ia sendiri tidak menempati roang kosong, tetapi harus mencari inang untuk melakukan hal tersebut yaitu dengan menempel pada tubuh subtansi. Jadi, sifat membutuhkan subtansi untuk memiliki keberadaan, seperti bergerak dan diam, hitam dan putih. Hal-hal tersebut tidak memiliki keberadaan kecuali dengan bantuan dari subtansi atau fisik. b.2) Zat Tuhan. Keberadaan yang tidak butuh kepada yang lain, karena dialah pencipta segala sesuatu.
Zat-zat yang membutuhkan ruang menjadi bahru dengan kebutuhan tersebut, kerena Zat Wajib tidak membutuhkan apapun. Sedangkan sifat juga membutuhkan fisik, tentu ia juga bahru.
2.       Bukti kemungkinan dan wajib (dalil al-imkân wa’l wujûb). Bentuknya seperti ini; Alam semesta ini mungkin (adanya), setiap yang mungkin (ada) membutuhkan penguat yang menegaskan keberadaannya daripada ketiadaanya, maka alam semesta ini membutuhkan penguat yang menegaskan keberadaannya daripada ketiadaannya. Kemudian keberadaan penguat ini tidak boleh mungkin atau mustahil, oleh karena itu keberadaannya pasti wajib, dan tidak ada yang wajib selain Allah Swt. (lihat: al-Gazali, al-iqtishâd fi’l i’tiqâd, Pensyarah, Dr. Abd al Aziz Sayf al Nasr. Hal. 79 & 82. Cet. I. 1988. Universitas al-Azhar.)
[27] Sesungguhnya zat kita dahulu tidak ada, kemudian ada.
[28] QS. AL Hajj. 73.
[29] Ibid. 11.
[30] Al Anbiya’. 16.
[31] Al Mu’minun. 115.
[32] Ibrahim. 32-33. Lihat juga; al hajj. 65, Luqman. 29, an nahl 14, luqman. 20, al jatsiyah. 13.
[33] Lihat; al baqarah. 164, al Rum, 22-23. Al Ghâsyiah, 17-26.
[34] Dr. Thaha hibîsyî, al-Jânib al-Ilâhî. op. cit.  Hal. 42 Dst.
[35] Hasan Syafi’i. Lamẖât. op. cit.  Hal 14. Lihat juga; al-Kalabazi, al-ta’arruf. Hal 93.
[36] Lihat; Thaha Hibisyi, al-jânib, op. cit.  hal 49.
[37] Lihat; Ahmad Syalabi, muqaranah, op. cit. hal. 217.
[38] Lihat; Dr. Ahmad Syalabi, Muqâranah. op. cit. Hal. 216-217. Dr. Ahmad Syalabi mengungkap beberapa cerita tentang observasi pribadinya dalam pengembaraan mengenal Tuhan, beliau mengaku dengan metode ini dia mampu mengenali Tuhan dengan keyakinan yang kuat tak sedikitpun terjangkiti rasa ragu. Salah satu peristiwa tersebut; Sebuah keluarga kaya memiliki seorang nyonya yang barusaja melahirkan bayi laki-laki. Tetapi sedihnya pada salah satu tangan bayi itu ternyata lebih satu jari. Setelah berpikir panjang akhirnya Ibu tersebut memutuskan memanggil dokter paten untuk  untuk memotong jari yang lebih pada bayi itu. Beberapa tahun kemudian, Nyonya itu melahirkan bayi lagi. Dan ajaibnya bayi tersebut hanya ternyata memiliki empat jari pada salah satu tangannya. Ya Allah, seakan-akan suara ghaib membentak mereka: “jika kalian bisa memotong kelebihan jari, apa sekarang kalian mampu menambahkan jemari yang kurang?” (lihat; Dr. Ahmad Syalabi, Muqâranah, 218-219.
[39] Dr. Hasan Syafi’i. Lamẖât. op. cit. Hal 15.
[40] QS. Al A’raf. 172.
[41] Ahmad Syalabi, muqaranah, op. cit.  hal. 196-197.
[42] Qs. Yunus. 12. Baca juga; Yunus:22. Al Rum:33. Al Nahl:53.
[43] Dr. Hasan Syafi’i. Lamẖât. op. cit. Hal 152. Lihat juga; dr. Qasim, Ibn Rusd wa falsafatuhu al-diniyah, hal 12.
[44] Yususf: 106.
[45] Al Ankabut: 61.
[46] Dr. Muhyiddin al Shafi, muẖâdarât fi’l ‘aqidah al-islamiyah qism al-ilâhiyyât, maktabah al-Iman. Kairo, cet. II. 2010. hal. 91
[47] Al Zumar: 3.
[48] Dr. Abd al Aziz Sayf al Nasr, syarah al-iqtishâd fi’l i’tiqâd al-Gazali, Universitas al-Azhar. Cet. I. 1988. Hal. 180- 181.
[49] Berpisahnya zat dengan sifat-sifat.
[50] Dr. Hasan Syafi’i. Lamẖât. op. cit. Hal 152.
[51] Al Anbiya’: 22.
[52] pernyataan yg dapat diterima sbg kebenaran tanpa pembuktian
[53] Al Mu’minun: 91.
[54] Dalam hukum alam.
[55] Al Isra’: 42.
[56] Dr. Hasan Syafi’i. Lamẖât. . op. cit. Hal 162. Bersemayam (istiwa’) tidak berarti bertempat secara material. Tetapi bersemayam berati menguasainya.
[57] Lihat; Dr. Muhyiddin al Shafi, muẖâdarât, 93-95. Dr. Abd al Aziz Sayf al Nasr, syarah al-iqtishâd. 183-184. Thaha Hibisyi, al-jânib, hal 153-154.
[58] Ahmad Syalabi, muqaranah, . op. cit. hal. 226.
[59] Dr. Jamal al Din Husain ‘Afifi, Ta’ammulât fi’l fikri’l Yûnânî, Hal. 55. Cet. I. 2006. Univ. Al-Azhar, Fak. Ushuluddin, Jur, Akidah wa’l falsafah.

Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons