Hindu; Tauhid Para Elit.
Hindu adalah suatu agama paganisme
(penyembah berhala) yang dianut oleh sebagian besar rakyat India. Agama yang
berbasis ajaran Weda kitab yang mengandung pemikiran-pemikiran Hindu serta
berjasa mengantarkan peristiwa-peristiwa besar (epos) yang telah dilalui rakyat
India kuno. Hindu adalah ajaran yang berisi doktrin, adat, dan tradisi.
Disamping mengandung nilai-nilai rohani dan norma-norma kehidupan, ia juga
memuat peraturan dan undang-undang. Agama ini mengakui berbagai macam dewa yang
sesuai dengan profesinya masing-masing. Oleh karena itu setiap daerah memiliki
dewa masing-masing.[1] Gustaf
Lobon mengomentari perihal ini dengan perkataanya yang lebih menyerupai sebuah
ejekan: “India adalah bangsa yang terkenal memiliki kepercayaan dan agama yang
banyak. Jarang sekali rakyatnya yang tidak menyembah banyak dewa. Menurut
mereka alam ini dipenuhi dengan dewa, bahkan mereka akan menyembah macan yang
telah memburu ternaknya, menyembah jembatan besi yang dibuat orang-orang Eropa,
bahkan menyembah orang-orang Eropa itu sendiri ketika diperintah mereka.[2]
Akan terasa aneh jika mendengar
agama syirik ini menganut monoteisme, tetapi beberapa teks kehinduan telah
membuktikan bahwa agama ini memang pernah memeluk agama tauhid. Perihal
tersebut, para ilmuwan memiliki dua pendapat:
1. Bangsa India Kuno terbagi menjadi dua; Elit dan Awam.
Elit menganut monoteisme sementara Awam mengidap paganisme. Al-Birûni
berpendapat “Bahwa perbedaan keyakinan itu terjadi dalam setiap umat. Hal
tersebut disebabkan watak kaum elit yang terbiasa menggunakan akal, dan menguji
kebenaran hal-hal fundamental. Sementara jemaat Awam hanyalah sekawanan orang
yang hanya mengandalkan indera, merasa puas dengan hal-hal parsial, enggan
untuk memperdalam, terlebih pada hal-hal yang menguras otak dan tak sesuai
dengan nafsu.[3]
Al-Biruni berkata: “Kepercayaan
Hindu tentang Allah Swt. adalah dia Satu Yang Azali, tak berawal dan tak
berakhir, Yang maha berkehendak dalam perbuatannya, Yang Maha Kuasa, maha
menghidupkan, Maha mengatur. Al-Biruni membuktikannya dengan sebuah diskusi
agama yang tercantum dalam salah satu kitab Hindu, yaitu Betanggal ((باتنجل. Kitab itu menceritakan seseorang yang
menanyakan perihal tuhan yang sesungguhnya kepada seorang bijak.
Jawaban-jawaban yang diterima penanya tersebut mengejawantahkan sosok tuhan
yang bersih dari segala pemalsuan, tuhan esa pada zat maupun sifatnya, Tauhid
mutlak sebagaimana yang dimiliki umat Islam.
Inilah
selayang pandang percakapan tersebut; penanya berkata: Siapakah tuhan yang
dapat memberi petunjuk dengan beribadah kepadanya? Penjawab berkata: “Dialah
tuhan yang tak butuh segala sesuatu dengan keesaan dan keabadiaanya, dialah
yang dapat diukur oleh pemahaman manusia, sebab dia jauh lebih mulia untuk
memiliki musuh dan sekutu. Dialah ilmu yang sempurna,[4]
ilmu yang bersih dari segala lupa dan ketidaktahuan. Penanya berkata; apakah
dia bersifat Kalam? Penjawab: Tentu, jika dia maha tahu, tentu dia maha
berbicara. Penanya: jika dia berbicara karena ilmunya, lalu apa bedanya dengan
para ilmuwan yang berbicara karena ilmu mereka? penjawab: bedanya ialah waktu;
mereka (ulama) sebelum menjadi orang alim dan pembicara adalah orang yang bukan
alim bukan juga pembicara, kemudian mereka belajar lalu menjadi alim dan
berbicara. Sedangkan tuhan tidak ada hubungan dengan waktu. Tetapi dia maha
tahu dan berbicara semenjak dahulu (azali).[5]
Al-Biruni
melanjutkan; “Ini adalah agama kaum elit. Kemudian kaum awamlah yang memalsukan
dan menambah-nambah kebenaran yang tertera dalam kitab tersebut, seperti yang
sering terjadi dalam agama lain.
Pernyataan
Biruni jika dikaji lebih lanjut ternyata tidak sah untuk menjadi argumen atas
tema ini (Tauhid elit), karena dia sendiri telah mengakui paganisme yang dianut
kaum Hindu; “bagaimanapun juga, para monoteis tersebut sangat jarang sehingga
tak sanggup untuk membatalkan vonis paganisme untuk para Brahmi, karena vonis
harus berdasarkan mayoritas dan umum, bukan minoritas dan jarang.[6]
Seharusnya dalam suatu agama, akidah yang dianut tidak boleh berbeda antara
satu dengan yang lain, baik kaum Elit maupun orang Awam. Jika tidak seperti
itu, maka orang-orang Awam yang menyekutukan tuhan tersebut tervonis telah
keluar dari agama.[7]
2.
Pendapat kedua adalah pendapat Dr. Ahmad Syalabi; “Terdapat kontradiksi
antara monoteisme dan politeisme dalam agama Hindu.[8]
Terdapat dua tendensi berbeda dalam pemikiran ketuhanan Hindu; tendensi tauhid
dan tendensi syirik, walaupun politeisme lebih tenar dan laku.[9]
Ibadah umat
Hindu terhadap fenomena dan benda melewati beberapa fase yang cukup banyak.
Berawal dari kekaguman terhadap keindahan alam yang menimbulkan asumsi bahwa ia
mempunya ruh dan jiwa seperti mereka. Prasangka yang telah menjadi kepercayaan
ini membuat mereka tunduk dan menyembah benda-benda itu. Tetapi di
tengah-tengah keramaian dewa, terkadang umat Hindu lebih condong kepada tauhid
atau imitasinya. Ketika berdo’a kepada salah satu dewa, mereka memuji,
mengorbankan tumbal, memusatkan rasa kepada dewa itu sehingga menghilangkan
semua dewa yang lain dari pikiran mereka.[10]
Kelihatannya monoteisme memang telah ada dalam agama Hindu, karena ketika mereka
menyembah salah satu dewa, mereka akan menyembahnya sendiri, mensifatinya
dengan tuhan sekalian tuhan. Apabila mereka berpaling dari tuhan tersebut ke
tuhan yang lain, mereka akan memperlakukannya seperti tuhan sebelumnya, dan
menyifatinya dengan tuhan sekalian tuhan.[11]
Pada awalnya panggilan tuhan sekalian tuhan ini hanya sebuah pujian, tetapi
lama-kelamaan istilah tersebut mempunyai makna tersendiri yaitu kepercayaan
tentang adanya tuhan yang memerintah dan tuhan yang diperintah.[12]
Konklusinya
adalah; Memvonis orang Hindu sebagai monoteis tidak sah. Karena tauhid menurut
mereka bukan mengesakan Tuhan sebagaimana yang dianut umat Islam, tetapi
monoteisme penyembahan satu dewa dalam jangka waktu tertentu, dan dapat
berpindah ke dewa yang lain jika masa tenggang telah habis. Tauhid yang seperti
ini adalah tauhid sesuai kondisi, jika mereka kepanasan mereka akan menyembah
Indra dewa hujan, jika kedinginan mereka akan menyembah api.[13]
Tidak
lengkap rasanya jika tidak meyinggung Trinitas Hindu, karena problema tersebut
sangat erat kaitannya dengan imitasi monoteisme. Trinitas Hindu adalah
inspirasi bagi para pemuka agama Nasrani dengan Tiga Oknum mereka. Trinitas ini
adalah pengumpulan dewa-dewa Hindu ke dalam satu Pemilik tiga oknum,
mereka berkata; bahwa dari zatnya Lah alam semesta ini tercipta, dan kepadanya
ia akan kembali ketika ia telah binasa. Mereka memberinya tiga panggilan;
Brahma dari segi bahwa dialah sang pencipta, Visnu dari segi dialah sang
penjaga, Syiva dari segi bahwa dialah sang perusak.[14]
Salah satu kitab Hindu menceritakan; Seorang pendeta pernah menghadap Brahma,
Visnu, dan Syiva, lalu menanyai mereka; Siapakah tuhan yang benar diantara
kalian? Semuanya menjawab: ketahuilah wahai pendeta; Kami bertiga tidak
berbeda. Sesungguhnya satu tuhan menjelma menjadi tiga bentuk sesuai profesi
sebagai pencipta, penjaga, dan perusak. Tetapi pada hakikatnya adalah satu,
barangsiapa yang menyembah salah satu dari ketiganya, seakan-akan dia telah
menyembah semuanya.[15]
[1] Nadzrât fî al-dayyânât al-Syarqiyah. op.
cit. Hal. 94.
[2] Ibid.
92. Lihat juga: Gustaf Lobon, Hadâratu’l Hind. Hal. 276.
[3] Ibid.
101. Lihat juga: Tahqiq mâ li’l Hind. Hal 71 Dst.
[4] Maha
Tahu
[5] Ibid.
102.
[6] Abu
Zahrah, Dayyânât al-Hind al-Qadîmah. Hal 27
[7] Nadzrât,
op.cit.Hal. 103.
[8] Ibid.
103. Lihat juga: Ahmad Syalabi: Adyân al-Hind al-kubra. Vol. 4. Hal. 51.
[9] Dr.
Ahmad Syalabi. Muqâranah al-adyân wa al-istisyraq. Cet. Ma’had al-dirâsât
al-islâmiyah. Hal. 241.
[10] Ibid.
242. Lihat juga: Mahmud Khan, Fî al-taqdiym li anAsyid al-Rij Wîsa. Hal. 77.
Falsafah al-Hind al-qadîmah, tsaqâfah al-Hind mârs. 1953. Hal 10. Hinduism,
Ed, by Lewis Renou p. 6.
[11] Ibid.
Hal. 105.
[12] Dr.
Ahmad Syalabi. Muqâranah. op.cit. Hal. 242.
[13] Nadzrât,
op. cit. Hal. 106.
[14] Dr.
Ahmad Syalabi, op. cit. Hal. 243-244. Lihat juga: Ibrahim Madkour dan
Yusuf Kiram, Durûs Fi Târikh al-falsafah, Hal. 2.
[15] Nadzrât,
op. cit.Hal. 106-107. Lihat juga: muhammad Farid Wajdi, Dâirah
al-ma’ârif, Vol. 2. Hal. 154.
Comments
Post a Comment