Dikotomi Paham Identitas al Qur’an


Salah satu pemicu kemunculan kajian teologi Islam adalah kontroversi sekte-sekte besar terkait Kalam Ilahi. Masalah yang menyangkut identitas al-Qur’an ini telah membuat dentuman besar dalam sejarah pemikiran Islam. Keberagamaan damai yang dulunya dirasakan umat Islam telah banyak terganggu oleh masalah-masalah tersebut. Dampak yang dibawanya bukan sekedar perdebatan panjang, tapi tercatat beberapa nama yang menjadi korban kekerasan dari pendapat yang dimenangkan dalam pertempuran argumen itu. Peserta yang mengikuti jalannya diskusi tersebut nantinya dijuluki sebagai para Mutakallimin.  
Membuka kembali lembaran-lembaran debat tersebut tentu menjadi apresiasi tersendiri bagi para pendahulu kita, bagaimana kita memahami pemahaman yang mereka anut? Bagaimana menyikapi setiap pendapat yang dilontarkan mereka? bagaimana kita mampu memilah setiap konsep yang ditawarkan? Dan akhirnya memilih mazhab mana yang sesuai dengan pribadi kita. Setiap upaya ini terhitung sebagai rasa terima kasih kita kepada para ulama terdahulu yang telah berjasa membuka cakrawala keilmuan Islam, walaupun kita harus berhati-hati dalam menelusurinya.
Kajian ini mengetengahkan konsep-konsep dan teori teologis terkait Kalam Allah Swt. (al-Qur’an), perpindahannya dari Zat Ilahi menuju berbagai tempat seperti Lauh al-Mahfudz, Jibril As, kemudian nabi Muhammad Saw., lembaran-lembaran, hati para hafiz dan lidah para pembaca.
Para Mutakallimin meyakini bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya eksistensi yang memiliki Zat yang kekal dan Azali, sedangkan segala sesuatu selain-Nya adalah ciptaan yang bahru. Kemudian mereka (Mutakallimin) mendapati Tuhan menyifati diri-Nya sendiri dengan berbagai sifat diantaranya sifat Kalam atau Maha Berfirman, dan Tuhan juga  telah berfirman kepada makhluk-Nya. Mereka bertanya-tanya; Apakah Kalam Tuhan ini termasuk sifat-sifatNya yang Azali? Atau sekedar PerbuatanNya? jika Ia termasuk perbuatan yang tercipta dari ketiadaan, apakah perbuatan itu berbentuk fisik, atau Aradh (sifat) yang melekat pada fisik? 
Al-qur’an sendiri adalah kalam Ilahi, lalu apakah ia termasuk sifat-sifat yang kekal? Atau sifat-sifat perbuatan yang membuatnya termasuk dalam golongan makhluk? Apakah kalam Ilahi ini berpindah dari Zat Tuhan lalu kemudian bertempat dalam makhluk? Dan bagaimanakah cara Kalam Ilahi ini bertempat dalam makhluk?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya menjadi gambaran utama problematika yang akan dikaji dalam tulisan ini. Banyak ahli teologi muslim mencoba untuk menjawab persoalan tersebut, tetapi tidak pernah satupun yang mencoba mengumpulkan jawaban-jawaban itu dalam satu majemuk kajian yang dapat mempermudah dalam memahaminya. Sampai kedatangan Dr. Abd al ‘Aziz Sayf al Nasr yang berinisiatif untuk mengumpulkannya dalam satu kesatuan yang disebutnya Al-Tasawwurât wa al Nadzariyyâtu’l Kalâmiyah fi Kalami’llah. Selain itu, buku tersebut tidak hanya memuat nukilan pendapat ulama, tetapi Dr. Sayfunasr selalu berusaha mengungkapkan kejelasan terpendam dari setiap pendapat yang disampaikan para ulama terkait kajian ini, guna melayani generasi baru yang paham dengan warisan pendahulunya.
·         Tela’ah Sosio kultur

Teori identitas al Qur’an lahir dalam lingkungan politik yang dikuasai dinasti Abbasiyah, pada abad ke-2 hijriyah sekte Mu’tazilah telah mencapai puncak eksisnya; doktrin-doktrin fundamental mereka telah tersiar dan dianut oleh sebagian besar muslim. Hal ini disebabkan raja Al Makmun yang memerintah pada waktu sepakat dengan paham Khalqu’l Qur’an (kemakhlukan al-Qur’an), dan berniat untuk mengajak masyarakat untuk mengimani ajaran tersebut. Bagi siapa saja yang membantah ajakan tersebut akan menerima sangsi-sangsi yang cukup berat. Selama tiga periode dinasti Abbasiyah; al Makmun, al Mu’tashim dan al Wâtsiq, penyebaran paham ini semakin digalakkan, korban yang paling teraniaya dalam peristiwa ini adalah Ahlusunnah yang membantah paham Khalqu’l Qur’an dan tetap menganut akidah sunni. Mereka harus membayar penolakan tersebut dengan aneka ragam siksaan, tidak ada yang mampu bertahan kecuali empunya keteguhan jiwa, semisal imam Ahmad bin Hanbal.

Terdapat tiga poin dalam peristiwa itu: Pertama; Dekrit dari Khalifah al Makmun yang telah mengakui mu’taziliah sebagai mazhab dan akidah resmi negara.. Kedua; Dekrit lain menjelang kematiannya; sebuah proyek yang harus dilaksanakan yang disebut al Minah. Ketiga; Berlanjutnya ujian (al miẖnah) pada masa al Mu’tashim dan al Watsiq, dan berakhir pada pemerintahan al Mutawakkil.

Jika kita kembali lebih jauh lagi, ternyata dokrin kemakhlukan al-Qur’an ini dirintis oleh Ja’d bin Dirham yang telah berusaha menafikan sifat-sifat kekal Tuhan; mengingkari sifat Kalam serta mengira bahwa Allah Swt. tidak pernah berfirman kepada Musa As. maka dari itu, Ja’d menganggap al-Qur’an adalah sebuah karya karena Ja’d tidak mengakui Kalam sebagai sifat yang kekal. Dan Ja’d adalah orang pertama yang menganut paham tersebut lalu kemudian diikuti oleh Jahm bin Safwan.

Imam Ibn Taimiyah menyematkan paham yang dirintis Ja’d tersebut kepada sumber asing dari Islam; Ja’d memperolehnya dari Ibbân bin Sam’ân dari Thâlût bin Lubaid bin A’sham seorang Yahudi yang telah menyantet Nabi Saw. Ja’d sendiri dulunya adalah penduduk Harran yang ditempati sisa-sisa aliran  Mandaeanisme (الصابئة) dan para filsuf agama Nimrod dan bangsa Kana’an.

·         Paham al-Qur’an bukan Makhluk

Akidah yang menafikan kemakhlukan al-Qur’an ini muncul tidak lama setelah perdebatan umat Islam terkait Sifat-sifat Ilahi, terutama Sifat-sifat eksistensial (Sifât al Ma’âni); Sekumpulan sifat yang memiliki eksistensi sebagai tambahan atas Zat Ilahi. Sifat-sifat itu ialah; Ilmu, Maha Berkehendak (al Irâdah), Maha Kuasa (Qudrah), Maha Hidup (al Hayâh), Maha Mendengar (as Sam’u), Maha Melihat (al Bashar), Maha Berbicara (al Kalâm). Setiap orang yang meyakini keberadaan Sifat-sifat ini berpendapat bahwa; Jika Allah azali tidak ada awal untuk-Nya, Qadim; tidak ada awal bagi eksistensinya, maka Sifat-sifat ini juga; azali tidak ada awal untuknya, Qadim tidak ada awal bagi eksistensinya.

Mayoritas Muslim ketika itu telah meyakini keabadian (Qadim)  al-Qur’an, mereka juga percaya bahwa Qur’an ini telah ada bahkan sebelum diwahyukannya kepada Nabi Muhammad Saw. bahkan sebelum langit dan bumi tercipta. Paham ini diklaim lebih awal dalam Islam daripada lawannya, karena referensinya langsung dipahami melalui firmanAllah Swt.: “Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhu’l Mahfudz).”[1]

Lain halnya dengan kalangan yang menolak entitas sifat-sifat keilahian,  menurut mereka mengakui adanya sifat-sifat keilahian tidak jauh beda dengan akidah Nasrani dalam Trinitas. Raja al Makmun yang telah menganut paham Mu’tazilah memvonis dan memparalelisasi mereka yang mengimani ketidak-makhlukkan al-Qur’an dengan Kristen dalam paham Yesus bukan makhluk karna dia adalah inkarnasi firman Allah yang bukan makhluk; maka dia adalah tuhan.” Tentu ajaran ini mengandung unsur syirik karena dengan sharih telah meresmikan pluralitas ketuhanan; suatu kesyirikan yang menghilangkan tauhid. Al Makmun berpesan kepada menteri Ishak bin Ibrahim; sesungguhnya tauhid tidak ada dalam diri orang yang tidak meyakini bahwa al-Qur’an itu makhluk.

Padahal Ahlusunnah jelas-jelas menolak paham trinitas, tetapi mereka meyakini ketidak-makhlukkan Kalam Allah, dan al-Qur’an adalah kalam Allah, maka al Qur’an bukan makhluk. Sedangkan Isa As. lain cerita, beliau adalah Firman (kalimat Allah) dengan arti bahwa fiman ini merupakan alasan mengapa nabi Isa As ada. Allah Swt. berfirman: ”Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.”[2]

Allah Swt. menerangkan dalam ayat sebelumnya[3] bahwa firman-Nya (al-Qur’an) pernah bertempat di dalam Lauh al-Mahfudz. Ahlusunnah mengimani bahwa Lauh al-Mahfudz ini adalah makhluk yang diciptakan Allah sebelum langit dan bumi, sedangkan al-Qur’an adalah firman Allah yang bukan makhluk. Pertanyaannya: bagaimana bisa al-Qur’an yang ilahiah bertempat dalam makhluk seperti Lauh al-Mahfudz?

Pertanyaan kedua terkait eksistensi al Qur’an duniawi di dunia. Apakah al-Qur’an ilahi bertempat lagi di dalam Qur’an dunia? Jadi, apakah al-Qur’an mempunyai dua kondisi, kondisi pertama ilahiah, kondisi kedua makhluk? Atau satu kondisi sebagai perbuatan manusia ketika ia ditulis, dihapal, dibaca, dan didengarkan?

Untuk pertanyaan pertama al Asy’ari menjawab tegas bahwa al-Qur’an pernah berada dalam Lauh al-Mahfudz sebagaimana yang diterangkan al-Qur’an. tetapi jawaban tersebut justru megesankan bahwa al-Qur’an ilahiah memiliki dualisme eksistensi, eksistensi ilahiah sebagai salah satu sifat-sifat Tuhan, dan eksistensi yang berrtempat dalam makhluk. Jadi, (sekali lagi) bagaimana al-Qur’an ilahiah dapat bertempat dalam Lauh al-Mahfudz? Bagaimana al-Qur’an dapat menyempurnakan proses perpindahan dari Zat Tuhan menuju Lauh al-Mahfudz?

 Al-Fudhâli berkata: “Sesungguhnya al-Qur’an diciptakan dan ditulis dalam Lauh al-Mahfudz”. Pernyataan ini nyatanya  hanya mengacu pada  al-Qur’an yang bermakna ungkapan-ungkapan (al Quran) yang memang jelas makhluk, tidak kepada kalam Tuhan yang tak terbagi,  dan  bukan makhluk.

Terkait masalah eksistensi al-Qur’an dalam mushaf ketika ia ditulis, di dalam hati ketika dihafal, di dalam lisan dan telinga ketika ia dibaca. Jawabannya dapat ditemukan dalam beberapa literatur ulama-ulama yang mengkaji tema identitas al-Qur’an.

 Ibn Kilâb dan Penolakan terhadap eksistensi Kalam Allah pada SelainNya

Menurut al-Asy’ari, Ibn Kilab terkait kalam Ilahi meyakini bahwa kalam itu tidak bersusun dan tidak terbagi, karena ia tidak berbentuk suara dan huruf-huruf, ia tidak berubah-ubah, ia satu makna dengan Allah Swt. Adapun terkait al-Qur’an yang kita lihat itu sejatinya adalah unkapan-ungkapan yang terbentuk dari huruf, ungkapan-ungkapan ini berbeda-beda dan berubah-ubah. Jadi, Qur’an yang berada dalam mushaf adalah ungkapan tentang Kalam Ilahi, bukan Kalam Ilahi .Seperti meyebut-nyebut nama Allah (zikir), ia  dilafalakan dengan bentuk berbeda dan berubah-ubah tetapi Allah Swt. yang disebut tidak berubah-ubah.

Selain itu Ibn Kilab juga menegaskan bahwa bacaan (Qirâ’at) sebagai uraian kalam Ilahi berbeda dari hal yang dibaca yang ada dalam Zat Tuhan. Seperti zikir kepada Allah Swt. berbeda dengan Zat yang kita sebut (zikir) tersebut, karena yang kita sebut adalah Zat Qadim yang tidak memilliki awal mula dan Kekal tanpa akhir; sedangkan zikir atau penyebutan itu tentu bahru dan habis. Adapun terkait hal (substansi) yang kita baca itu berada dalam Zat Allah  karena ia adalah KalamNya, dan Allah Swt. senantiasa berfirman dengan kalam itu semenjak azali, sedangkan bacaan itu sendiri bersifat bahru dan dihasilkan dari perbuatan manusia.[4]

Artinya Ibn Kilab membedakan antara Kalam Allah yang menjadi sifatNya, dan Kalam Allah yang telah diwahyukan ke muka bumi yaitu taurat, Injil, dan al-Qur’an. Kalam kedua ini tentu diungkapkan dengan bahasa yang berbeda-beda, ia disebut kalam Ilahi berbahasa Arab karean ia dilustrasikan dengan bahasa Arab, jadi karena alasan tertentu ia disebut berbahsaa Arab atau Ibrani dan Siryani. Karena alasan tertentu pula Kalam Ilahi ini disebut  sebagai perintah atau larangan dan yang lainnya. Sementara Allah senantiasa berfirman sebelum kalamnya tersebut disebut perintah, dan sebelum adanya alasan mengapa ia disebut perintah.

Selain itu Ibn Kilab menganggap bahwa apa yang kita dengar dari setiap pembaca al-Qur’an juga adalah ungkapan dari Kalam Ilahi. Adapun firman Allah “Fa ajirhu ẖatta yasma’a kalâm Allah” [5] mendengar di sini bermakna sampai dia memahami kalam Allah, atau sampai dia mendengar seseorang membacanya.

Dr. Sayfunasr mamahami bahwa redaksi-redaksi yang diungkapakan Ibn Kilab tersebut mengacu kepada dua problem, pertama; Terkait asal huruf-hurf dan ungkapan dalam al-Qur’an. Ibn Kilab menjelaskan bahwa uraian atau ilustrasi al-Qur’an yang terdiri dari berbagai hurup dan ungkapan tercipta pada waktu Allah mengarabisasi kalamNya atau menjadikannya bahasa Arab. Arabisasi ini sendiri berdasarkan bagaimana nabi Muhammad membaca al-Qur’an. hal yang serupa juga terjadi dalam pembacaan Taurat dalam bahasa Ibrani berdasarkan pembacaan nabi Musa As kepada Taurat tersebut. Jadi, kalam Ilahi diperdengarkan melalui bacaan nabi Muhammad Saw. atau bacaan Musa As., dengan kata lain bacaan mereka inilah yang telah menghasilkan gambaran kalam Allah Swt. dan Arabisasi kalam itu dimanifestasikan melalui perantara nabi Muhammad Saw. dan bacaannya. Begitupula dengan setiap orang yang membaca firman Tuhan itu pada dasarnya telah merubah kalam Ilahi menjadi berbahasa Arab dan bahru atau makhluk. Kedua ;terkait kompleksitas perpindahan kalam Ilahi dan keberadaannya di berbagai lokasi. Menurut Ibn Kilab Kalam Allah ini adalah sifat qadim yang tidak dapat berpindah menuju tempat lain. Penolakannya ini berdasarkan keengganannya terhadap penafsiran lahiriah dalam firman Allah “Fa ajirhu ẖatta yasma’a kalâm Allah” tetapi beliau memandangnya sebagai majas dengan arti ”Sehinnga dia memahami kalam Allah”.[6]

Kesimpulannya adalah kalam Ilahi bukan bagian dari Zat Allah karena Allah tidak terdiri dari bagian-bagian, jika tidak maka Allah akan butuh kepada susunan yang membuatNya bahru. Begitupula kalamNya bukan hal yang dapat berpindah dari Zat Allah menuju zat lain karena kalam ini adalah sifatNya, dan yang dinamakan sifat adalah sesuatu yang selalu ada pada empunya (mausuf), karena yang dapat berpindah dari satu tempat ke yang lain adalah fisik.

Imam Ahmad bin Hanbal dan Perpindahan Kalam Allah

Ibn Hazm dan Syahrastani mengutip pendapat Imam Ahmad terkait problematika tersebut. Pertama; oleh Ibn Hazm, menurutnya Imam Ahmad meyakini bahwa kalam Allah adalah IlmuNya yang azali, dan ia bukanlah makhluk. Kedua; Menurut Syahrastani orang-orang Salaf dan Hanabilah telah sepakat bahwa apa yang ada diantara dua sampul (al-Qur’an) adalah Kalam Allah. Jadi, kata-kata dan hurufnya pula merupakan kalam Allah. Ketiga; Dari Syahrastani juga menurutnya orang-orang Salaf berkata: ”Jangan sekali-kali seseorang menyangka bahwa kami menetapkan kekekalan huruf-huruf beserta suara yang dilantunkan lidah kami.”

Tiga poin tersebut menjelaskan tiga konsep dalam pandangan akidah Imam Ahmad terkait ketidak makhlukkan al-Qur’an. kali ini  Dr Sayfunasr mencoba untuk merapikan ketidak sesuaian konsep-konsep yang dinarasikan Syahrastani dan Ibn Hazm, karena mungkin menurutnya tidak perlu mencari celah kontra tafsir antara dua pendapat selama hal tersebut masih bisa dipersatukan. Karena perbedaan antara poin ketiga dan pertama terlihat sangat kontras, pertama menyebut azali dan ketiga sebaliknya:

1.       Dari poin pertama dan ketiga kita mengetahui bahwa Imam Ahmad sependapat dengan Ibn Kilab dalam dikotomi al-Qur’an ilahiah, yang telah ada sebelum terciptanya langit dan bumi, dan sebelum masa penurunan al-Qur’an (‘ashr al-tanzil), dengan al-Qur’an – yang juga kalam Allah – yang bahru dan nampak dalam dunia ini ketika ia dibaca, dihafalkan, ditulis, dan didengar.
2.       Sedangkan poin kedua menjelaskan ketidak setujuannya atas keilahian al-Qur’an yang nampak dalam dimensi dunia. Imam Ahmad menetapkan bahwa semua yang ada di dalam al-Qur’an tersebut dihasilkan melalui bacaan, tulisan, dan seterusnya; al Quran ilahiah (menurutnya) telah berpindah ke dalam kalam yang bersifat makhluk. Jadi, menurut Imam Ahmad al-Qur’an yang bahru tersebut memiliki dua kondisi, kondisi ilahiah dan kondisi makhluk. Hal ini menjelaskan adanya suatu pengakuan atas perpindahan kalam Allah dan persemayamannya dalam fisik-fisik makhluk.
3.       Masih dalam poin kedua, dalam poin tersebut Imam Ahmad memutuskan bahwa kata-kata dan huruf al-Qur’an termasuk kalam Ilahi (Wa anna kalâmallâhi ghairu makhlûqin – wa anna’l kalimâti azaliyatun gairu makhluqatin). Bahwa kalam Allah bukanlah makhluk, bahwa kata-kata itu azali bukan makhluk. Imam Ahmad menegaskan adanya  perbedaan dan perubahan kata dan huruf dalam kalam Allah yang bukan makhluk. Oleh kareana itu beliau menyepakati adanya perpindahan kata-kata ilahiah ke dalam kata-kata makhluk. Pendapat ini tentu sangat berbeda dengan pendapat Ibn Kilab yang menegaskan bahwa kalam ilahiah itu satu dan tidak terbagi-bagi, adapun perubahan hanya berlaku dalam kalam makhluk. Maka dari itu Imam Ahmad menafsirakan ayat “Fa ajirhu ẖatta yasma’a kalâm Allah” sesuai dengan lahirnya. Sebagaimana yang dinarasikan Syahrastani bahwa orang-orang salaf berdalih dengan ayat tersebut bahwa apa yang tertulis diantara dua sampul (al-Qur’an) adalah kalam Allah.

Konsep terkait akidah ketidak makhlukkan al-Qur’an yang telah dipaparkan Ibn Hazm dan Syahrastani tersebut ternyata diperkuat pula oleh ungkapan Imam Ahmad sendiri dalam tiga kesempatan, kesempatan pertama dihadapan khlaifah al-Mu’tashim,[7] kedua dalam perdebatannya dengan Ishak bin Ibrahim,[8] ketiga khutbahnya untuk Abdullah bin Yahya.[9] Akan tetapi walaupun bentuk-bentuk perubahan kata-kata al-Qur’an itu sebuah makhluk, beliau menghindar untuk mempergunakan kata  makhluk kepada bentuk-bentuk tersebut. hal yang mencegahnya adalah bahwa beliau mendapatakan para Salaf berkata “Sesungguhnya al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk.”

Jadi, terkait perpindahan Kalam Allah, Ahlusunnah memiliki dua pendapat berbeda, pendapat Ibn Kilab dan pendapat Imam Ahmad. Selanjutnya adalah sikap Ahlusunnah yang datang setelah kedua Imam tersebut, mereka yang meyakini ketidak makhlukkan al-Qur’an ini apakah mengikuti Ibn Kilab atau Imam Ahmad.

Al-Asy’ari Hanbalian

Mediator termasyhur konsep Hanbalian terkait akidah keilahian al-Qur’an adalah Abu Hasan al-Asy’ari dalam bukunya al-Ibânah. Dalam buku tersebut beliau mendeklarasikan kehanbalian dirinya terkait masalah akidah ini. Seperti Imam Ahmad, al-Asy’ari tidak berpendapat bahwa kalam Allah itu satu, tetapi beliau menganggapnya bersusun. Keyakinan ini menurutnya terbukti dalam al-Qur’an:

(109). قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).[10]

Ayat ini menurutnya menunjukkan bahwa kalam Allah yang bukan makhluk itu tersusun dari kata-kata; “Jika lelautan menjadi tinta tulis, pasti ia akan habis, pena-penanya akan patah, sementara firman Tuhan takkan pernah binasa (Falau kânati’l biẖâru midâdan lanafidati’l biẖâru, wa takassarati’l aqlâmu, wa lam yalhaqi’l fanâ’u kalimâtu Rabbiy).”  Seperti Imam Ahmad juga, al-Asy’ari menganggap al-Qur’an yang dibaca, dihafal, dan seterusnya adalah makhluk yang telah ditempati al-Qur’an ilahiah. Tetapi al-Asy’ari menolak pemakaian kalimat pelapalan al-Qur’an (al lafdzu bi’l Qur’an)  seperti yang dicetuskan Imam Ahmad; “al-Qur’ânu yuqra’u fi’l haqîqati wa yutla, wa lâ yajûzu an yuqâla “yulfadzu”, wa innama yuqâlu, yuqra’u wa yutla, wa yuktab wa yuhfadz.” Oleh karena itu, al-Asy’ari dalam menafsirkan ayat “Fa ajirhu atta yasma’a kalâm Allah”  sesuai dengan lahirnya persis sebagimana yang Imam Ahmad perbuat. Dan terakhir, al-Asy’ari juga enggan memakai kata makhluk untuk setiap al-Qur’an baik yang dibaca atau di dengar dan seterusnya walaupun al-Qur’an mempunyai dua kondisi, kondisi non makhluk, dan kondisi makhluk.

Al-Asy’ari dan Asy’arian Kilabian

Berbeda dari sebelumnya, beberapa literatur menyebutkan bahwa al-Asy’ari dan pengikutnya cenderung kepada pendapat Ibn Kilab terkait permasalahan ini. Menurut Ibn Hazm Asy’arian berpendapat bahwa kalam Allah adalah sifat abadi dan bukan makhluk; Ia bukan Allah, bukan juga ilmu Allah, dan Allah tidak mempunyai kalam kecuali satu. Selain itu menurut mereka, yang diturunkan Jibril bukanlah kalam Allah, tetapi sesuatu yang lain yaitu ungkapan tentang kalam Allah. Adapun tulisan dan bacaan dalam mushaf itu sama sekali bukan kalam Allah, karena ia selalu bersama Allah, dan tidak dapat berpindah.  Menurut Dr. Sayfunasr, keyakinan mereka 90% sama dengan yang diyakini Ibn Kilab; perbedaannya hanya terletak pada asal-usul ungkapan (ashlu’l ‘ibârat). Karena menurut Ibn Kilaab ungkapan-ungkapan itu tercipta melalaui perantara bacaan al-Qur’an yang diturunkan. Sedangkan menurut Asy’arian ungkapan-ungkapan itu muncul dalam Qur’an samawi yang ada pada Lauh al Mahfudz sebelum penurunannya.

Syahrastani menyematkan pendapat kilabiah yang persis dengan sebelullmnya kepada al-Asy’ari dan Asy’arian. Asy’ari menurutnya membuat pendapat ketiga yaitu bahrunya kata-kata dan huruf; dan al-Qur’an yang kita baca adalah kalam Allah secara metafora bukan hakikatnya. Selain itu menurutnya al-Asy’ari berpendapat bahwa kalam Allah itu satu yaitu perintah, larangan, khabar, janji, dan ancaman; tema-tema ini merujuk kepada ungkapan-ungkpan tentang kalam Allah bukan jumlah kalam itu. Perbedaan antara bacaan dan yang dibaca sebagaimana perbedaan zikir dan yang dizikiri (disebut), zikirnya bahru, sementara yang dizikiri qadim.

Ibn Hazm Hanbalian

Ulama ini menyebutkan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad sebagai kritikan terhadap pendapat mereka yang dikenal dengan Asy’arian Kilabian.

1.       Ibn Hazm menolak pendapat Kilabian terkait kesatuan dan ketidak-tersusunan kalam Allah yang bukan makhluk. Berlebihan, Ibn Hazm mencap pendapat itu sebagai bentuk kekafiran karena tidak sesuai dengan firman Allah dan konvensi umat Islam; sebab Allah telah berfirman:

   (109). قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Dan
وَلَوْ أَنَّمَا فِي الأرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

"Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi), sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana." – (QS.31:27)

Sebagaimana Imam Ahmad, Ibn Hazm juga berpendapat bahwa kalam Allah adalah adalah ilmuNya yang kekal. Tetapi Ibn Hazm mempunyai pandangan eksklusif yang membedai Imam Ahmad bahkan seluruh pengiman paham sifatiyah; Ibn Hazm mengingkari adanya sifat-sifat dan pemakaian kata tersebut untuk Allah. Dia berkata: ”Adapun pemakaian kata sifat untuk Allah Swt. adalah mustahil dan tidak boleh, toh Allah tidak pernah menyebutnya dalam al-Qur’an, dan tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa Allah memiliki satu sifat atau sifat-sifat.”  

Dr. Sayfunasr mengasumsikan bahwa pendapat Ibn Hazm dengan perkataannya: “Bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah, ia adalah ilmuNya.”  Sama seperti yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad. Karena sejalan dengan paham pengakuan adanya sifat-sifat Tuhan, Kalam Allah dan IlmuNya adalah dua sifat yang ada dan berwujud dalam Zat Allah Swt. tetapi menurut Ibn Hazm – karena kedua sifat itu (menurutnya) tidak hakiki – kedua sifat itu adalah sifat yang sesuai dengan Zat Tuhan, dan tidak menutup kemungkinan untuk memahami bahwa kalam Allah sebagai salah satu perbuatanNya.
2.       Ibn Hazm membedakan antara kalam Allah yang bukan makhluk dan kalam Allah yang makhluk. Menurutnya ada lima arti yang kesemuanya disebut al-Qur’an. Makna pertama adalah suara yang dilafalkan dan didengar ketika seseorang membaca al-Qur’an, ini yang kita sebut dengan lafaz al-Qur’an “ Inna’l masmû’a wa huwa al shauthu’l malfûdzu bihi huwa’l Qur’ânu ẖaqiqatan, wa huwa Kalâmullah ‘ala’l ẖaqiqah” yang kita dengar adalah suara yang dilafalkan itu benar-benar al-Qur’an, benar-benar Kalam Allah. Kedua; konotasai dari suara tersebut, seperti ketika kita menafsirkan salat, zakat, dll dalam al-Qur’an; “Wa yusamma’l mafhûmu min dzâlika al shautu Qur’ânan wa kalâmallahi ‘ala’l ẖaqiqah” yang dimengerti dari suara tersebut juga disebut al-Qur’an dan Kalam Allah. Ketiga; mushaf juga adalah al-Qur’an. Keempat; yang tersimpan dalam hati juga al-Qur’an dan kalam Allah. Dan kelima; kita meyakini bahwa al-Qur’an atau kalam Allah adalah IlmuNya. Selain itu Ibn Hazm juga meyakini perpindahan Kalam Allah yang bukan Makhluk dalam Qur’an makhluk melalui bacaan, tulisan, dan seterusnya. Dari kelima makna dari kata al-Qur’an dan Kalam Allah ini, Ibn Hazm hanya menghukumi makna kelima sebagai suatu yang bukan makhluk, suatu yang azali dan qadim. Adapun keempat makna yang lain menunjukkan hal-hal bahru dan makhluk, tercipta melalui perantara manusia. Tetapi al-Qur’an makhluk ini tetap disifati Ibn Hazm sebagai kalam Allah, bukan sekedar ungkapan tentang kalam Allah sebagaimana yang diyakini Asy’arian yang menganggap Jibril tidak menurunkan kalam Allah, tetapi sekedar ungkapan tentang kalam itu.

Pertanyaannya adalah apakah kita boleh mengatakan al-Qur’an terkadang makhluk, terkadang bukan makhluk, atau ia bukan makhluk tetapi juga makhluk dalam pada saat bersamaan? Tentunya pertanyaan ini terlintas dalam benak Ibn Hazm dan mencari solusinya. Perlu diketahui, bahwa Imam Ahmad turut andil dalam menjawab pertanyaan ini walaupun pada akhirnya beliau enggan untuk menyematkan sifat kemakhlukan terhadap al-Qur’an sekalipun diartikan dengan kata-katanya lah yang makhluk. Keengganannya ini timbul dari kehati-hatian karena tidak adanya bukti keabsahan istilah tersebut dan tak pernah dituturkan oleh orang-orang Salaf. Dan sikap inilah yang selanjutnya diteruskan oleh Imam al-Asy’ari dalam karyanya al-Ibanah.

Pun dengan Ibn Hazm, beliau mengikuti sikap yang telah ditawarkan oleh Imam Ahmad dan para Salaf itu. Tetapi tidak seperti jawaban Imam Ahmad yang berbasis kewaspadaan religi, Ibn Hazm justru menawarkan sebuah argumentasi baru dengan menjelaskan pernyataan Imam Ahmad terkait hal tersebut berdasarkan logika dengan sebuah proposisi yang dapat divonis kebenaran atau tidaknya. Ibn Hazm berkata: “Ketika istilah al-Qur’an dapat digunakan pada lima hal, empat diantaranya adalah makhluk, dan satu bukan makhluk, maka tidak satupun yang boleh mengatakan “al-Qur’an itu makhluk.” Karena orang yang berkata tersebut sesungguhnya telah berdusta; dia telah menyematkan sifat kemakhlukan pada al-Qur’an dan hal-hal yang diistilahkan sebagai al-Qur’an dan kalam Allah. Tetapi dia harus mengatakan “Bahwa al-Qur’an bukan pencipta, bukan juga ciptaan; bahwa empat hal tersebut bukanlah pencipta, dan makna kelima bukan ciptaan. Dan tidak boleh pula menggeneralisir suatu keseluruhan dengan sifat yang hanya ada pada partikelnya, tetapi boleh menafikan keseluruhan dari sifat yang ada pada partikelnya.

Dr. Sayfunasr menyadari bahwa argumentasi yang ditawarkan Ibn Hazm ini merupakan adopsi teori Aristoteles terkait universalitas. Universalitas menurutnya dipahami sebagai suatu hal yang mencakup segala sesuatu yang dikandungnya, hal-hal itu menggambarkan satu kesatuan. Hal ini berdasarkan dua sisi, sisi pertama adalah universalitas dipakai pada semua istilah yang umum; kata manusia misalnya, ia mencakup setiap individu yang menggambarkan suatu jenis yang bernama manusia. Dari sisi lain, universalitas terkadang tersusun dari berbagai hal, tapi dapat menjadi keseluruhan (universalitas) atau kesatuan dengan mengumpulkannya menjadi satu.

Beranjak dari universalitas ini Ibn Hazm berargumen bahwa ketika subjek proposisi (qodyah) bebentuk universal (baik dari sisi pertama maupun kedua), dan individu objeknya lebih sempit ketimbang individu yang dicakup subjek, maka suatu proposisi tidak akan menghasilkan kebenaran jika subjek dan objeknya positif, tetapi benar ketika subjeknya negative dan objeknya positif. Contoh; setiap hewan adalah manusia, proposisi ini salah karena individu subjek lebih luas ketimbang objek; tetapi benar jika mengatakan  tidak setiap hewan adalah manusia (universal negatif). Contoh dari sisi kedua adalah ada lima buah baju yang dilihat secara menyeluruh, empat dari baju tersebut berwarna merah dan satunya tidak. Proposisi yang benar adalah dengan mengatakan baju (secara keseluruhan) ini tidak merah,   dan salah ketika berkata baju ini merah karena kuantitas baju sebagai subjek lebih luas daripada merah yang menjadi objeknya.                                                                                                                                                                                                                                                                                                              

Pengaplikasian kaidah tersebut dalam masalah al-Qur’an adalah ketika istilah al-Qur’an adalah sebuah keseluruhan yang mengandung lima hal; empat diantaranya adalah makhluk dan satu bukan makhluk, maka menurut logika tidak ada yang boleh mengatakan al-Qur’an adalah makhluk, tetapi boleh mengatakan al-Qur’an bukan makhluk.

· Paham Kemakhlukkan al-Qur’an; Pengingkaran atas Al-Qur’an ilahiah dan Hubungannya dengan Pengingkaran Sifat-sifat Tuhan.

Teori kemakhlukkan al-Qur’an sangat erat dengan masalah pengingkaran terhadap entitas sifat-sifat Ilahi. Mereka yang mengamini hal tersebut memahami bahwa setiap nama yang disematkan kepada Allah dalam al-Qur’an hanya sekedar nama saja, tidak mengandung entitas sifat-sifat azali yang berdiri dalam Zat Tuhan; karena ini menurut mereka bertentangan dengan tauhid. Terkait masalah kalam Allah, sekte ini mengakui adanya al-Qur’an yang telah ada sebelum masa penurunannya bahkan sebelum terciptanya langit dan bumi; tapi tetap saja al Qur’an tersebut adalah sebuah karya. Maka dari itu, ketika kelompok ini menolak paham keazalian al-Qur’an, bukti yang digunakan sama dengan bukti yang menolak paham entitas sifat-sifat Ilahi.

 Mu’tazilah meyakini bahwa akidah keazalian al-Qur’an itu sangat bertentangan dengan akidah keesaaan Tuhan, karena keazalian meyebabkan adanya keilahian dalam dirinya. Apabila sifat-sifat qadim itu ada, maka akan ada banyak tuhan, hal tersebut adalah syirik yang menafikan tauhid dalam agama Islam. Khalifah al-Makmun pernah berkata: “Innahu lâ tauhîda liman lam yuqirra bianna’l Qurána makhlûqun” Tiada pengesaan bagi orang yang belum mengukuhkan bahwa al-Qur’an adalah makhluk.



Konsep-konsep terkait kemahklukan al Qur’an samawi yang tercipta pra eksistensi langit dan bumi

Abu al-Huzail al-‘Allâf selalu membedakan antara kata penciptaan “kun” dengan kalam yang berarti al-Qur’an. Menurutnya, kata penciptaan “Kun” ini diciptakan Allah tidak bertempat, sedangkan kalam yang berarti al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam tempat. Hal ini sejalan dengan klasifikasi miliknya terkait kalam bahwa ia terbagi kepada kalam membutuhkan tempat, dan kalam yang tidak membutuhkannya.

Pertanyaannya adalah tempat apakah yang menampung kalam Tuhan ini?

Al-Asy’ari berpendapat bahwa Jahm bin Shafwan meyakini kalam sebagaimana yang dipahami Kristen; Kristen meyakini bahwa firman Tuhan telah dikandung oleh rahim Maryam, kemudian Jahm menambahkan bahwa kalam Allah tercipta dalam pohon (firman Allah kepada Musa), dan pohon itu telah mengandungnya. Akidah Jahmian ini kemudian menjadi akidah formal di dalam tubuh sekte Mu’tazilah, yaitu ekistensi kalam Allah kepada Musa yang diciptakan di dalam pohon. Al-Asy’ari juga menyebutkan bahwa Ja’far bin ẖarb dan mayoritas Mu’tazilah Bagdad menganggap bahwa kalam Allah bukanlah Zat (‘Ardh) dan sebuah ciptaan. Dalam paragraf lain al-Asy’ari juga menyebut pendapat Ja’far bin Mubsyir dan Ja’far bin ẖarb bahwa al-Qur’an adalah makhluk yag diciptakan Allah dalam Lauh al-Mahfudz. Dan ungkapan tambahan dari Ja’far bin Mubsyir, bahwa al-Qur’an adalah fisik yang diciptakan Allah dalam Lauh al-Mahfuz. Dari pernyataan-pernytaan dapat kita asumsikan bahwa kalam Allah yang terciptakan ini (al-Qur’an menurut Mu’tazilah) diciptakan di dalam Lauh al-Mahfudz; dan selama Lauh al-Mahfudz ini termasuk salah satu kreasi Tuhan pra eksistensi langit dan bumi, maka al-Qur’an adalah makhluk pra eksistensi tersebut.

Adapun terkait hubungan antara al-Qur’an ciptaan pra eksistensi dan al-Qur’an yang diwahyukan ke muka bumi, al-Asy’ari menegaskan bahwa pendapat Ja’far bin Harb dan mayoritas Mu’tazilah; bahwa al-Qur’an ini adalah ciptaan, dan mereka memungkiri keberadaan kalam tersebut pada dua tempat dalam waktu yang sama, dan memungkiri perpindahnnya dari posisi dimana ia tercipta (lauh al Mahfudz). Adapun al-Qur’an yang didengar, ditulis, dan seterusnya adalah copy dari al-Qur’an, ia adalah perbuatan penulis atau pembacanya.  Jadi,  menurut Mu’tazilah la-Qur’an hanya berada dalam satu tempat, tempat dimana ia tercipta yaitu Lauh al-Mahfudz. Ia tidak berpindah dari tempat itu menuju al-Qur’an yang ada di bumi, dan al-Qur’an bumi hanyalah ungkapan dari al-Qur’an yang ada dalam Lauh al-Mahfudz.

Abu Huzail al-‘Allaf setuju dengan pendapat Ja’far bin harb bahwa al-Qur’an langit adalah ciptaan yang bertempat dalam Lauh al-Mahfudz. Tetapi terkait perpindahan kalam Allah dari Lauh al-Mahfuudz, al-‘Allaf berpendapat bahwa ia ada di berbagai tempat pada waktu yang sama; ketika ia dibaca oleh seseorang maka ia ada bersama bacaan orang tersebut, ketika ia ditulis ia juga ada bersama tulisan itu, dan begitu sterusnya.

Al-Syahrastani menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an pra eksistensi langit dan bumi adalah ciptaan dalam Lauh al Mahfudz, ia adalah suara dan huruf, dan ungkapannya tertulis dalam kitab-kitab. Beliau juga menegaskan bahwa Mu’tazilah kali ini setuju dengan Hanbalian terkait al-Qur’an bumi adalah kalam Allah, tetapi berbeda pendapat tentang keaazalian al-Qur’an.
















[1] Al waqiah. 77-78. Baca juga; al buruj; 21-22. Az zukhruf; 4.
[2] Ali Imran. 59
[3] Al waqiah. 77-78.
[4] Yang kami maksud dengan Hal yang kita baca di sini bukan berarti huruf-huruf yang ada dalam mushaf, tetapi hakikat dari bacaan itu yaitu kalam Ilahi.
[5] At taubah .6
[6] Karena tidak terdapat perpindahan material dalam pemahaman, tetapi pendengaran adalah perpindahan suara dari penghasil suara tersebut.
[7] Lihat; Baton, Ahmad bin Hanbal wa’l  Miẖnah, hal 93.
[8] Ibid, 39.
[9] Ibid, 355.
[10] Al kahfi 109

Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons