Ayat-ayat Setan; Telaah Historis-Kritis
Setan adalah suatu
entitas yang diyakini ada baik di dalam agama-agama samawi maupun samawi
imitasi. Pribadi setan dipercaya sebagai sosok yang senantiasa memiliki upaya
jahat dalam setiap aktivitas kejahatannya ketika menjahati orang lain. Ia menyandang berbagai macam gelar yang
dinobatkan oleh setiap keyakinan yang ada di muka bumi. Yahudi menyebutnya
Azazil, Kristen menamakannya Belzebub, Zoroaster memanggilnya Ahraman, dan
Islam mengistilahkannya sebagai Iblis yang jauh dari rahmat Tuhan.
Al Qur’an sendiri
memuat beberapa kisah setan dengan berbagai penipuannya terhadap hati dan
pikiran manusia, mengisyaratkan selama ada manusia setan akan tetap ada
memperdaya dan mengajak manusia untuk menjauh dari rahmat Tuhan supaya tertimpa
oleh kesialan yang sama dengan musibah yang ia pikul.
Di awal-awal surat al
Baqarah, di awal-awal kehidupan perdana nenek moyang ras manusia al Qur’an
mengabarkan bahwa setan atau Iblis adalah makhluk yang pertama kali membangkang
pada titah yang diperintahkan oleh Tuhan. Berkat arogansi dan keangkuhannya ini
nama setan pun diabadikan dan abadi di dalam al Qur’an dan di dalam setiap
pikiran orang-orang yang masih beragama. Setan pun terkenang sebagai sosok
pembangkang, takabbur dan terkutuk di mata manusia.
Allah Swt. Berfirman:
وإذ قلنا
للملائكة اسجدوا لآدم فسجدوا الا ابليس أبى واستكبر وكان من الكافرين. (البقرة:
34)
“Dan ketika Kami berfirman
kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali
Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang
kafir.”
Terdapat kontraversi
argumen dalam wacana identitas yang disandang oleh Iblis menurut para sarjana
muslim. Sebagian berkata Iblis adalah entitas yang tergolong malaikat,
sedangkan yang lain berpendapat tidak. Kelompok yang mengatakan tidak adalah
sebagian ahli kalam terutama Mutazilah sedang yang berkata iya adalah sebagia
besar ahli fiqih.
1. Argumentasi Mutazilah[1]
a. Iblis termasuk golongan jin, jika ia seorang jin berarti ia bukan
malaikat. Firman Allah Swt.: “Kecuali Iblis. Dia adalah golongan jin.”[2]
b. Iblis dapat beranak pinak, tidak dengan malaikat. Firman Allah Swt. yang
menunjukkan bahwa jin dapat berketurunan: “patutkah kamu mengambil dia dan
turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku?”[3]
adapun mengenai ketidak berkembang-biakan malaikat itu karena pembiakan terjadi
hanya ketika ada lelaki dan wanita sedangkan di dalam jajarannya malaikat tidak
menampung wanita. Allah Swt. berfirman: “dan mereka menjadikan
malaikat-malaikat yang mereka itu adalah Hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah
sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan
malaikat-malaikat itu?”[4]
Allah Swt. mengingkari mereka yang menuduh malaikat berjenis kelamin
perempuan, maka pembiakan pun tak dapat terjadi.
c. Malaikat tergolong maksum, tidak dengan Iblis. Firman Allah Swt.: “tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.”[5]
d. Iblis adalah makhluk yang tercipta dari api, Allah Swt. Berfirman: “dan Dia menciptakan
jin dari nyala api”[6]
Sedang malaikat tercipta dari cahaya. Nabi Saw. bersabda: “malaikat tercipta dari Cahaya”[7]
e. Malaikat adalah utusan. Firman
Allah Swt.: “Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan”[8].
dan para rasul adalah orang-orang maksum.
2. Argumentasi para Fuqoha
a. Allah Swt. telah mengecualikan (istitsna) Iblis dari para
malaikat, dan pengecualian adalah terma mengenai pengeluaran objek yang
seharusnya ada di dalam kelompoknya, jika pengecualian itu tidak ada objek
tersebut masih berada di dalam kelompoknya (ikhrâju mâ laulâhu ladakhala aw
lashahha dukhûluhu). Atas dasar ini berarti Iblis tergolong
malaikat.
b. Jika Iblis tidak tergolong malaikat, lalu mengapa firman Allah Swt.:”ketika
kami perintahkan kepada para malaikat untuk sujud kepada Adam”[9] juga mencakup Iblis? Karena jika perintah
tersebut tidak ditujukan kepada Iblis, maka ketidak sujudnya Iblis tidak dapat
dikatakan sebagai pembangkangan atau takabur, dan tidak berhak ditimpa azab!
Akan tetapi ketika konsekuensi tersebut telah didapatkan oleh Iblis, ini
menunjukkan bahwa perintah tersebut juga mengenainya, dan ia takkan terkena
perintah kecuali jika ia tergolong malaikat.
Kita tidak butuh memperuncing permasalahan diatas karena kita tidak
memerlukan ilmu tentang siapa iblis dahulu, tetapi siapa ia sekarang dan apa
yang telah diperbuatnya karena jika pribadi seseorang tidak didefinisikan oleh
masa lalunya tetapi apa yang ia lakukan maka begitupula dengan iblis. Yang lebih
penting adalah: dengan berbagai evolusi waktu, gelar iblis atau setan tidak
hanya disandang oleh bangsa jin saja, tetapi ras manusia juga mendapat bagian
di dalamnya bagi siapa saja yang turut andil dalam upaya perbuatan jahat. Jadi,
dapat dikatakan setan terbagi menjadi dua; setan jin dan setan manusia. Allah
Swt. Berfirman:
وكذالك
جعلنا لكل نبيّ عدوا شياطين الجن الإنس والجن يوحى بعضهم إلى بعض زخرف القول غرورا
(الأنعام: 112)
“dan demikianlah Kami
jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis)
manusia dan (jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang
lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).”
Abu Qutadah berkata:
pernah suatu hari Abu Zar sembahyang, kemudian Nabi Saw. berpesan kepadanya:
berhati-hatilah terhadap setan-setan manusia dan jin. Abu Zar bertanya: apa
manusia juga ada yang setan? Rasul menjawab: tentu. Kemudian Beliau membaca
ayat:
Pada ayat di atas
disebutkan bahwa para setan itu saling membisikkan kata-kata kotor. Allah Swt.
Menggunakan terma يوحى yang juga dipergunakan dalam penyampaian
wahyu kepada para rasul yang banyak ditemukan dalam ayat semisal “وأوحينا إليك” atau
kami wahyukan kepadamu. Ini menunjukkan bahwa cara yang dipergunakan
para dedemit tersebut dalam menyampaikan pesan-pesan jahat kepada anak buahnya
tidak jauh beda dengan cara penyampaian malaikat kepada para nabi, yaitu
berbisik dengan cepat sebagaimana yang dipahami dari istilah wahyu. Ini juga
menujukkan bahwa omong kotor yang disampaikan para setan itu dapat dikatakan
sebuah ayat karena perkataan tersebut disampaikan dengan metode yang sama yaitu
wahyu. Tentunya ayat yang disampaikan melalui pewahyuan setan ini tergolong
ayat-ayat setan. Akan tetapi ayat-ayat setan yang akan kami bahas di sini
bukanlah kata-kata kotor tersebut, tetapi ayat-ayat palsu yang disampaikan baik
oleh setan jin maupun setan manusia yang berusaha menandingi al Qur’an baik
dengan mendaku diri sebagai nabi atau dengan cara lain.
Metode yang kami
pergunakan di sini adalah metode historis-kritis yaitu mengkritik akurasi sumber
yang ada di dalam teks-teks yang akan dikaji, atau mempertanyakan rasionalitas
yang bercokol di dalam teks. Pembacaan seperti ini sebagaimna kita kenal di
dalam ilmu hadits sebagai kritik sanad dan kritik matan.
1. Ayat-ayat Setan Jin
Terdapat riwayat yang
sangat terkenal kepalsuannya menarasikan bahwa nabi Muhammad Saw. pernah salah
dalam menyampaikan wahyu Tuhan, wahyu yang diduga bersumber Tuhan itu nyatanya
adalah berasal dari setan. Di kemudian hari ayat-ayat itu disebut qissat al gharânîq
(dongeng burung bangau).
Kisah ini biasanya
dipakai sebagai asbâb al nuzûl atas firman Allah Swt. :
وما
أرسلنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلا نَبِيٍّ إِلاَّ إِذا تَمَنَّى أَلْقَى
الشَّيْطانُ فِي أمنيته فَيَنْسَخُ اللَّهُ ما يُلْقِي الشَّيْطانُ ثُمَّ يُحْكِمُ
اللَّهُ آياتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (52) لِيَجْعَلَ ما يُلْقِي
الشَّيْطانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقاسِيَةِ
قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقاقٍ بَعِيدٍ (53) وَلِيَعْلَمَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ
فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلى
صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ (54)} .[سورة الحج: الآيات 52- 54]:
“Dan Kami tidak
mengutus sebelummu seorang Rasul pun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan
apabila ia mempunyai suatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan
terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan
itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Mahamengetahui lagi
Mahabijaksana,) agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu
sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang
kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu, benar-benar dalam
permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini
bahwasanya al-Qur’an itulah yang haq dari Rabbmu lalu mereka beriman dan tunduk
hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi
orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (al-Hajj: 52-54)
Setidaknya ada 10
riwayat dari jalur yang berbeda menginformasikan terjadinya kesalahan baca pada
Nabi Saw. yang menyebabkan turunnya ayat tersebut. kontroversi keabsahan tidak
dapat dihindari lantaran gentingnya perkara yang dimuat oleh riwayat-riwayat
itu. Karena masalah ini menyangkut akidah dan ibadah di mana muslim dan kafir
bersanding menyembah sesembahan yang diduga sama, dan peristiwa gencatan
senjata spontan yang tak pernah diprediksikan oleh siapapun. Di sini ada dua
peristiwa; peristiwa pertama adalah proklamasi nabi tentang pengakuan Islam
terhadap eksistensi dewa-dewi Arab jahiliah, yang menimbulkan adanya; peristiwa
kedua yaitu gencatan senjata dan penyembahan tuhan yang diduga sama oleh kedua
belah pihak. Yang akan kita kaji adalah; apakah benar terjadi kedua hal
tersebut, atau sebaliknya tidak ada yang pernah terjadi, atau sebagiannya benar
tidak dengan yang lainnya.???
عن سعيد
بن جبير قال : لما نزلت هذه الآية : (أفرءيتم اللات والعزى ) قرأها رسول الله
(صلعم) فقال : تلك الغرانيق العلى، وإن شفاعتهن لترجى . فقال المشركون : إنه لم
يذكر آلهتنا قبل اليوم بخير، فسجد المشركون معه، فأنزل الله: وما أرسلنا من قبلك
من رسول . . . الى قوله: عذاب مقيم. (الحج: 52-55).
Dari Sa’id bin Jubair,
beliau berkata: Ketika turunnya ayat “afaraitum al lâtta wa’l ‘uzza” apakah
kalian lihat patung Latta dan Uzza? Kemudian Rasulullah Saw. membaca: mereka
adalah bangau-bangau mulia, dan pertolongan mereka dapat diandalkan. Orang-orang
musyrik pun berkata: sebelumnya Dia tidak pernah memuji dewa-dewi kita! Maka
sujudlah para musyrikin itu bersama Nabi Saw. kemudian turunlah ayat; wa mâ
arsalnâ min qablika min rasûlin. . . Dan Kami tidak mengutus sebelummu seorang
Rasul pun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai suatu
keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. . . (al Hajj:
52-55.)
Dapat kita saksikan
betapa anehnya berita yang diinformasikan oleh riwayat tersebut, wahyu yang
menurut sebagian ulama diturunkan bersama penjagaan ketat dari beribu-ribu
malaikat ternyata bisa dijebol oleh seorang Ifrit rendahan! Dan bagaimana
mungkin seorang yang maksum ternyata pernah mendeklarasikan ayat-ayat setan!
Tidak lebih dari dua
kubu, sebagian sarjana muslim mengamini bahkan menguatkan keotentikan riwayat
tersebut, dan sebagian mengklaim kelemahan bahkan kepalsuan yang dimuat oleh
riwayat tersebut.
a. Pro
Terdapat dua imam kondang yang mengamini riwayat tersebut; Ibn Hajar dan
al Sayuthi. Kedua imam ini dan orang yang sepaham dengan mereka berdalih dengan
dua bukti;
1. Banyaknya jalur periwayatan. Al Sayuthi berkata: hadits ini diriwayatkan
oleh al Bazzar, Ibn Marduyah melalui jalur berbeda dari Sa’id bin Jubair dari
Ibn Abbas kalau tidak salah, dan Ibn Marduyah berkata: hadis ini tidak
diriwayatkan secara muttasil kecuali dari sanad ini. . . Hadis ini juga
diriwayatkan oleh al Bukhari dari Ibn Abbas,[11]
Ibn Jarir melalui al ‘Aufi dari Ibn Abbas, Ibn Ishak dalam al sîrah melalui
Muhammad bin Ka’b. . . semua riwayat itu memiliki makna yang sama, bisa jadi
semua riwayat tersebut dhaif dan terputus (munqathi’), tetapi tidak
dengan jalur Said bin Jubair. Imam Ibn Hajar berkata: “Banyaknya jalur
menunjukkan bahwa kisah ini memiliki sumber, walaupun sebenarnya ia juga
mempunyai dua jalur sahih yang mursal, kedua jalur tersebut dinarasikan oleh
Ibn Jarir melalui al Zuhri dari Abu Bakr bin Abdul Rahman bin Haris bin Hisyam,
dan melalui Daud bin Abi Hind dari Abul Aliyah[12]
dan riwayat-riwayat tersebut merupakan hadis-hadis mursal yang saling
memperkuat satu sama lain. . .
2. Para rawi terpercaya. Imam Ibn Hajar berkata: Sebenarnya tidak ada
kedha’ifan dalam hadits tersebut, semua rawinya adalah orang-orang terpercaya (tsiqât).
. . adapun cacat yang disebabkan
oleh kontroversi kata itu tidaklah penting karena riwayat-riwayat yang lemah
tidak dapat mempengaruhi riwayat-riwayat yang kuat, maka dalam kisah ini
seharusnya yang menjadi pegangan adalah riwayat-riwayat sahih itu bukan yang
lain, karena jalur dhaif dalam hadis ini hanya jalur yang dinarasikan oleh al
Kalbi.[13]
3. Ta’wil; Imam Ibn Hajar berkata: adapun cacat yang timbul melalui makna,
hadits ini mempunyai prinsip yang sama dengan hadis-hadis sahih yang tidak boleh
dipahami secara lahiriah tetapi dita’wil dengan apa yang sejalan dengan
prinsip-prinsip agama.[14]
Oleh karena, ungkapan ”lalu setan membisikannya: “merekalah bangau-bangau
mulia, dan syafaat mereka dapat diandalkan.” Tidak boleh dipahami secara
zahir, karena Nabi Saw. mustahil baginya untuk sengaja menambah-nambahkan al
Qur’an dengan sesuatu yang bukan al Quran, pun dengan kelalaian jika perkara ini terkait tauhid,
mengingat bahwa beliau termasuk orang maksum. Para ulama telah mencoba berbagai
cara untuk menyesuaikan riwayat ini dengan akidah melalui pena’wilan yang pas,
dan setelah proses penyisihan beberapa ta’wil, terpiliihlah satu ta’wil yang cocok
yaitu; seungguhnya Nabi Saw. membacakan al Qur’an dengan perlahan, dan di
tengah-tengah terdiamnya setan menyelingi meniru logatnya dan menyampaikan
kalimat (tilka’l gharânîq..) tersebut, lalu didengar oleh orang yang
berada di dekatnya dan ia mengira bahwa kalimat itu adalah ucapan Nabi Saw. maka
orang itupun menyebarkannya. Dan ta’wil inilah yang diamini oleh Qadhi ‘Iyadh
dan Abu Bakr bin al ‘Arabi. [15]
Selain dua imam
tersebut, seorang orientalis juga menduga keabsahan riwayat tersebut dengan
dalih “Pasca deklarasi Rasulullah (tentang pengakuannya tehadap dewa-dewi
Quraisy), tejadilah gencatan senjata antara muslimin dan orang-orang kafir.
Ketika berita ini sampai telinga para imigran muslim di Abyssinia, mereka pun
kembali ke mekah”[16]
ini tidak benar karena penyebab kepulangan muslim muhajir tersebut
sebenarnya adalah keislaman Umar bin Khattab Ra. yang telah ditakdirkan untuk
membuat Islam bangga, merendahkan martabat orang-orang kafir, dan mengakhiri
kedzaliman pembesar Quraisy. Selain itu, masalah yang terjadi di Abyssinia
lantaran persetujuan Negus terhadap apa yang disampaikan muslimin terkait Isa As.
hanyalah seorang Hamba dan utusan Tuhan (yang mungkin tidak disetujui
menteri-menterinya), membuat muslimin lebih memilih pulanng karena khawatir
terjadi hal buruk kepada mereka.[17]
b. Kontra
Bukti-bukti yang
disampaikan oleh imam Ibn Hajar tersebut sekilas terlihat kokoh tanpa aib,
tetapi pendapat keabsahan riwayat tersebut berikut bukti-buktinya disangkal
dengan beberapa tinjauan lebih dalam:
1. Kaidah terkait bertambahnya kekuatan hadits melalui banyaknya jalur yang
menarasikannya tidak dapat digeneralisir untuk setiap hadits,[18]
karena tidak semua kedhaifan yang ada di dalam hadits menjadi hilang
lantaran banyaknya jalur… tetapi terdapat hadits dhaif yang dapat dikuatkan
dengan cara tersebut jika kedhaifan hadits itu muncul dari lemahnya
hapalan perawi misalnya, padahal perawi ini terkenal sebagai orang jujur dan
agamis. Jika riwayatnya itu diketahui ada melalui jalur berbeda berarti hadits
tersebut memang telah dihafalnya, dan kelupaan tersebut tidak mengganggu
akurasi perawi itu. Begitupula jika kedhaifan suatu hadis itu ada
ditinjau dari kemursalannya, seperti hadits mursal yang dimursalikan
oleh seorang imam yang hafiz. Karena kelemahan hadits-hadits
tersebut relatif enteng, dan dapat dibersihkan melalui periwayatan dari jalur
lain. Dan juga ada kedhaifan hadits yang tidak dapat dihilangkan dengan
cara ini disebabkan parahnya kedhaifan hadis, jalur lain yang diharapkan
dapat mengkuatkan riwayat tidak dapat berkutik dan melawan kedhaifan
itu, seperti kedhaifan yang muncul dari fakta bahwa perawinya tertuduh
sebagai seorang pembohong, atau kondisi hadisnya yang syâz.[19]
Seperti hadits Ibn Abbas Ra. terkait kisah ini; semua jalur yang menarasikannya
dhaif jiddan dan tidak dapat diperkukuh. [20]
2. Kisah tersebut tidak dinarasikan oleh seorangpun imam yang menelateni
kesahihan hadis (iltazama al shahîh), tidak pula para pemilik
kitab-kitab mu’tamad.[21]
Qhadi ‘Iyadh berkata; Hadits ini tidak dinarasikan oleh seorangpun
ahli kesahihan, tidak pula orang terpercaya dengan sanad yang bersambung,
tetapi galibnya yang senang dengan hadis ini adalah para penafsir dan
sejarahwan yang gemar dengan semua yang aneh-aneh, mereka membungkar setiap
kitab baik yang benar atau yang cacat.[22]
Adapaun hadis yang diriwayatkan imam Bukhari terkait sebab turun ayat tersebut
sama sekali tidak menyinggung pemujaan Nabi Saw. terhadap berhala-berhala
musyrikin. Hadis yang diriwayatkan imam Bukhari melalui Ibn Abbas Ra. ini
berkata:
أن النبي (صلعم) قرأ: النجم وهو بمكة، فسجد معه المسلمون
والمشركون والجن والإنس. وفي رواية ابن رواية ابن مسعود : أول سورة أنزلت فيها
سجدة، والنجم، قال: فسجد رسسول الله (صلعم) وسجد من خلفه إلا رجلا رأيته أخذ كفا
من تراب فسجد عليه، فرأيته بعد ذلك قتل كافرا.[23]
Sujud yang dilakukan muslimin tentunya adalah
perwujudan taat mereka atas perintah Allah swt. Adapun sujud musyrikin di sini
adalah dampak yang terlahir dari ketakjuban mereka terhadap tingginya balaghah
ayat-ayat Allah Swt. . . selain itu, adalah suatu kelaziman manusia, ketika ia
berada ditengah-tengah masyarakat tertentu maka ia akan meniru gerak-gerik yang
mereka lakukan walaupun sebenarnya ia tidak suka terhadap gerakan itu.[24]
3. Kedhaifan hadits mursal. Walaupun dimursalkan oleh
seorang terpercaya (tsiqah), tetap saja hadits mursal perpektif ahli
hadits tidak dapat menjadi hujah. Imam Ibn Shalah berkata: hadits mursal
dihukumi layaknya hadits dhaif kecuali ia diperkuat oleh jalur lain. . . alasan
mengapa para ahli hadits tidak memperhitungkan keabsahan hadis mursal karena
tidak diketahuinya siapakah yang dihapus oleh perawi dalam riwayatnya. Ketika
sumber yang dihapus tersebut masih dalam status majhul, maka tidak mungkin pula
mengetahui ‘adalahnya, sedangkan suatu riwayat tidak dapat diterima
kecuali riwayat yang bersumber dari perawi ‘âdil. Jika seperti itu, asumsi
bertambahnya kekuatan hadits mursal yang diberikan oleh mursal lain tidaklah
kuat, karena adanya kemungkinan bahwa semua yang memursalkan hadits itu
menerimanya dari seorang perawi yang sama. [25]
4. Pena’wilan yang diamini oleh al Hafiz itu jika dikaji lebih lanjut
ternyata malah membuat pena’wil terkena hal yang ditakutinya, yaitu setan telah
menguasai Nabi Saw., menguasainya dengan peniruan, menguasainya dengan berkata
seenaknya melalui lidah beliau. Tentu ini tidak mungkin, mengamininya sangat
berbahaya terhadap aspek kerasulan, kalaupun kita akaui bahwa setanlah yang
berbicara di tengah-tengah diamnya rasul, lalu mengapa rasul Saw. tidak
mendengar apa yang diucapkan setan? Jika Beliau mendengarnya, mengapa Beliau
tidak buru-buru mengingkarinya? Atau jika nabi Saw tidak mendengarnya, mengapa
para sahabat tidak mendengarnya? Jika mereka dengar, mengapa mereka diam?[26]
5. Pendapat imam Abu Bakar bin al ‘Arabi:[27]
a.
Rasulullah Saw. telah
dianugerahkan suatu ilmu yang membuatnya mampu membedakan mana utusan Tuhan atau
tidak. Karena jika ilmu ini tidak ada, otomatis kerasulan beliau takkan sah,
kenabiannya takkan jelas. Jika malaikat berbisik kepadanya, beliau takkan tahu
apa ia setan atau malaikat atau manusia.
b.
Allah Swt. Menjaga
Rasulullah Saw. dari kekafiran, dari kesyirikan. Dan ini telah disepakati oleh
semua kalangan muslim. Bagi siapa saja yang mendaku bahwa beliau bisa saja
kafir, atau ragu (terhadap mustahilnya hal itu) maka orang tersebut
sesungguhnya telah keluar dari Islam.
c.
Sangat aneh sekali jika
Nabi Saw. ketika bersama pembesar Quraisy berharap agar Tuhan tidak menurunkan
wahyu kepadanya! Bagaimana mungkin Nabi Saw lebih memilih ikatannya dengan
kaumya ketimbang dengan Tuhannya! Kemudian beliau enggan memutuskan kekerabatan
itu dengan wahyu yang Tuhan kirimkan!
d.
Kalimat tilka’l
gharânîq… yang dibisikkan setan kepada Nabi Saw. telah diterimanya, setan
membias diri sebagai malaikat dan Rasulullah tidak mengetahuinya! Bercampur
baurlah tauhid dan kafir sampai-sampai Rasulullah tidak dapat membedakannya. .
. tidak diragukan lagi ini adalah suatu kekafiran yang tidak mungkin berasal
dari Allah Swt. Jika eseorang mengatakan hal demikian, tentu tanpa berfikir
panjang seorang muslim walaupun yang keilmuannya rendah akan mengingkari hal
terebut.
6. Pendapat Qadhi Iyadh[28]
a. Kontradiksi riwayat-riwayatnya dan kontroversi kata-katanya. Seroang
rawi berkata; ketika sedang dalam salat, yang lain berkata; ketika berada di
tengah khalayak ramai, yang lain: beliau mengatakannya setelah pingsan, yang
lain; beliau mengatkannya lalu lupa; yang lain setanlah yang mengatakaan hal
tersebut melalui lisannya, dan ketika Rasulullah menyampaikan hal tersebut
Jibril, ia berkata; ini bukanlah apa yang aku bacakan kepadamu!? Yang lain
berkata; tetapi setanlah yang memberitahu mereka bahwa nabilah yang telah
membacakannnya, dan ketika hal tersebut diketahui Rasulullah, beliau berkata;
demi Allah, ini bukanlah ayat yang diturunkan kepadaku.
b. Allah Swt. Berfirman : وإن كادوا ليفتنونك. . . dua ayat
tersebut sejatinya menyangkal apa yang diberitakan oleh riwayat-riwayat itu;
Allah Swt. Menjelaskan bahwa orang-orang kafir itu mencoba untuk memfitnah
Rasulullah Saw. agar beliau mengarang-ngarang ayat. jika saja Tuhan tidak
meguatkan hatinya maka bisa jadi beliau akan terbujuk oleh mereka, ini artinya
Allah Swt. Menjaga beliau dari pemalsuan ayat, dan mengukuhkan hatinya agar
tidak berpaling kepada mereka.
c. Seharusnya hadis ini dapat menjadi senjata bagi orang-orang kafir,
munafik untuk menyerang Islam, jika ditilik ulang sesungguhnya mereka tidak
menyisakan sedikit celah guna menyerang agama tersebut. tetapi nyatanya, tidak
ada seorang kafir atau yahudi misalnya memakai hadis ini sebagai peluru ampuh mereka
seperti yang telah mereka lakukan dalam berita isra’ mi’raj yang tidak dapat
diafahami sebagian orang dan membuatnya murtad.
7. Imam Muhammad Abduh berkata; orang-orang arab kuno tidak pernah
mensifati dewa-dewi mereka dengan nama burung bangau (al gharânîq), karena
nama itu tidak pernah ditemukan baik dalam syi’ir atau pidato mereka. Tidak
seorangpun pernah mengatakan nama itu selalu disebut-sebut oleh mereka, kecuali
pada sebuah riwayat tanpa sanad berjalur majhul dalam mu’jam yâqût. Di
dalam Bahasa Arab, al Gharânîq adalah jama’ dari kata al
gharnûq, yaitu nama yang ditujukan kepada burung yang hidup di air,
berwarna putih dan ada pula yang hitam. Selain itu makna dari kata terebut
adalah pemuda tampan. Dari segi Bahasa, kata al gharnûq sama sekali tidak
menunjukkan atau berkaitan dengan ketuhanan atau berhala-berhala sehingga ia
dipergunakan di dalam logat fasih yang dipergunakan oleh para ahli kata-kata di
zaman itu. Kata tersebut juga tidak mungkin diartikan secara majaz, yaitu
menyerupakan berhala dan dewa dengan burung-burung bangau, karena satra Arab
enggan terhadap hal tersebut.[29]
2. Ayat-ayat Setan Manusia; majalah 298
Tidak dapat dielakkan
bahwa sepeninggal Nabi terakhir muncul sejumlah pengaku nabi yang mengaku
dititahkan membawa ajaran baru untuk manusia. Demi mengukuhkan gagasan tersebut
nabi-nabi palsu ini tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan plagiat
terhadap beberapa perilaku dan wahyu yang dimiliki oleh nabi Muhammad Saw.
Motif yang mendasari gerakan mereka tidak lebih daripada fanatisme rasial yang
menolak kepemimpinan orang luar terhadap suku atau klan mereka, dan ambisi
kekuasaan yang lama dipendam oleh nabi-nabi palsu itu.
Bahkan sebelum wafatnya
Nabi Saw. seorang nomaden rendahan pernah mencoba mendaku kenabian agar
masyarakatnya mengakui keberadaan dan menempatkannya pada posisi yang tinggi.
Musailamah, waktu itu berambisi menguasai separuh Arab dan membagi tugas
kerasulan bersama nabi Muhammad Saw. Ditolak mentah-mentah, gerakan kenabian
palsu Musailamah semakin mendapat perhatian dari masyarkatnya.
Musailamah yang
dijuluki pendusta ulung (al kazzâb) ini terhitung sebagai peniru
terbanyak terhadap perilaku dan wahyu Rasulullah Saw. hal ini difaktori oleh
ketepatan waktu antara era Musailamah dan era Rasulullah, dan bantuan seorang
mantan sahabat[30]
yang memberikannya informasi terhadap setiap apa yang ingin ditirunya dari
Rasulullah Saw.
Menilik ayat-ayat
gubahan Musailamah, pikiran seorang pelajar tentu meyakini ketidak sebandingan
sastra yang dikandung al Qur’an dengan sajak-sajak yang dibuat-paksakan oleh si
Nabi palsu. Oleh karena itu, sekelompok peneliti tidak mempercayai penisbatan
sajak-sajak murahan tersebut kepada seorang Arab badui yang galibnya masyhur
dengan kearifannya terhadap seluk-beluk sastra, dan tidak mungkin seorang badui
yang tahu akan tersebut berani menantang al Qur’an dengan sajak-sajak
murahannya yang bahkan tidak layak untuk di kritik.
Pendapat ini boleh saja
diamini, tetapi ayat-ayat palsu tersebut nyatanya telah diabadikan di dalam
literatur-literatur terpercaya yang tidak mungkin berkonspirasi atas
kebohongan. Selain itu, bisa saja sisi psikologis nabi-nabi palsu ini telah
berubah lantaran desakan-desakan batin yang memaksa mereka membuat-buat ayat
yang setidaknya agak sama dengan al Qur’an, dan mereka tidak peduli jika orang
lain menemukan kebobrokan yang diumbar-umbarkan oleh mereka, sebagaimana yang
telah diriwayatkan oleh imam al Thabari.[31]
Ayat-ayat buatan itu
seperti ini;
والمُبذرات زرعًا،
والحاصدات حصدًا، والذاريات قمحًا، والطاحنات طحنًا، والعاجنات عجنًا، والخابزات
خبزًا، والثاردات ثردًا، واللاقمات لقمًا، إهالة وسمنا، لقد فضلتم على أهل الوبر،
وما سبقكم أهل المدر، ريفكم فامنعوه، والمعتر فآووه، والباغي فناوئوه
الْفِيلُ وَمَا أَدْرَاكَ
مَا الْفِيلُ، لَهُ زَلُّومٌ طَوِيلٌ، إِنَّ ذَلِكَ مِنْ خَلْقِ رَبِّنَا الْجَلِيلِ
والشاء وألوانها، وأعجبها
السود وألبانها، والشاة السوداء واللبن الأبيض، إنه لعجب محض، وقد حرم المَذق، فما
لكم لا تمجعون
يَا ضِفْدَعُ ابنة ضفدع،
نِقِّي مَا تَنِقِّينَ، أَعْلَاكِ فِي المَاءِ وَأَسْفَلُكِ فِي الطِّينِ، لَا
الشَّارِبَ تَمْنَعِينَ، وَلَا الْمَاءَ تُكَدِّرِينَ[32]
Selain Musailamah, badui yang mengaku nabi bernama Sijah. Ia
adalah seorang wanita dari Najd yang menentang pemerintahan khalifah Abu Bakar
Ra. ketika ia dan tentaranya telah berncana menjarah suku Hanifah, Nabi palsu
ini berpidato menyemangati kaumnya:
Tetapi takdir berkata lain,
ketika Sijah bertemu Musailamah sang nabi palsu dari Yamamah, Sijah jatuh hati
dan menikah dengan Musailamah. Al kisah mahar yang diberikan Musailamah adalah
kelonggaran salat isya dan subuh untuk para pengikut Sijah. Tentu ini adalah
suatu hadiah besar bagi mereka, yang mana kedua salat tersebut dipraktekkan
pada waktu-waktu termalas, maka penghapusan kewajibannya adalah hadiah yang
eman jika ditolak.
Dr. Thaha Hibisyi menyebutkan
beberapa factor munculnya gerakan nabi palsu ini;[34]
1. Fanatisme;
ia adalah sebuah watak manusia, dapat menjadi alat yang mematikan ketika ia
disalah gunakan empunya. Fanatisme bukan aib, bahkan ia dapat memicu pujian
kepada seseorang jika ditugaskan menjamin dan menjaga suatu prinsip dan norma.
Tetapi ia menjadi aib ketika empunya buta terhadap sisi baik ras lain,
fanatisme dipergunakan untuk mencela suku berbeda, ketika itu fanatisme menjadi
suatu aib yang membuat empunya tercela. Contohnya Musailamah, dia adalah
seorang yang tak dipandang, tidak memiliki posisi khusus dalam masyarakatnya.
Melihat popularitas Rasulullah Saw diantaranya sahabat membuat Musailamah iri,
dia takut jika namanya terlupakan begitu saja, dia perlu melakukan suatu hal
yang dapat membuatnya seperti Nabi, yaitu dengan menjadi nabi. Ngaku nabi ini
pada dasarnya didasari alasan pribadi Musailamah, kondisi psikologis yang
menguasai Musailamah.
2. keterpengaruhan
terhadap pribadi para nabi dan wahyu mereka. Kepastian adanya musuh-musuh bagi
setiap nabi, yang menginginkan kekuasaan bagaimanapun caranya, apapun
resikonya. Fanatisme rasial hanya dapat dihilangkan melalui dakwah yang diembel-embeli
dengan wahyu imporan dari langit. Hal ini telah diketahui oleh para pengaku
nabi, mereka menyadari adanya dampak besar yang telah dihasilkan oleh
perilaku-perilaku Nabi Saw. teristimewakan pangkat dan hormat yang beliau
terima dari setiap pengikutnya, maka tidak ada acara lain selain plagiarism
terhadap dua hal tersebut; perilaku dan wahyu.
3. Pemikiran-pemikiran
aneh yang tersebar di tengah masyarakat. Seperti; pertama; mengakui posisi
dan mentaati perkataan tukang sihir. Kedua; teori-teori dan pemikiran
Kristen yang absurd juga menyebabkan munculnya nabi palsu. Terma wahyu yang
tidak terpasung di dalam Kriten menyebabkan beberapa pengikutnya yang tak paham
mengakui dirinya telah menerima wahyu. Ketiga; gerakan batiniah. Tidak
jauh beda dengan dua seniornya, gerakan ini memiliki style-style yang
galibnya membutakan orang-orang awam. Buktinya tanpa adanya gerakan ini, agama
Bahaiyah dan Babiyah tidak akan pernah hadir di muka bumi ini, dengan prinsip
inilah mereka mampu mendapat pengikut yang lumayan. Keempat; tasawwuf
sesat. Tentu hal ini terjadi ketika pendaku sufi bertindak menginginkan
keruntuhan umat, ditambah kebobrokan objek dakwahnya tentang agama. Hal ini
diperkuat bahwa sebuah riset menemukan factor munculnya Qadyaniah merujuk pada
dampak negative Tasawwuf yang diterima oleh Gulam Ahmad pendiri Qadyaniah dan
nabinya.
4. Konflik
intelektual dan maslahat. Suburnya konflik ini biasanya ditemukan pada
bangsa-bangsa jajahan. Kekalahan spirit dan fisik mereka mempermudah penjajah
untuk menguras harta kekayaan alam mereka tanpa mereka sadari atau sadar tetapi
tanpa perlawanan. Salah satu tak-tik yang dipergunakan para penjajah itu adalah
memilih di antara umat jajahan, seorang yang setia, yang akan diangkat menjadi
nabi dengan wahyu baru dan gagasan baru, yang akan diikuti oleh orang-orang
awam dan mereka yang terperdaya. Seperti Gulam Ahmad yang sebenarnya adalah
anak buah Inggris yang diperintahkan merusak spiritual rakyat India.
5. Lemahnya
kehendak. Kehendak kuat adalah salah satu factor kebangkitan manusia baik individu
maupun masyarakat. Ketika kehendak ini melemah, pribadi yang mengalami kkondisi
ini dengan mudah menerima kemerosotan dan kekalahannya, dan salah satu
alternative yang dianggapnya mampu meringankan bebannya adalah menghapus
beban-beban (takalif) itu. Pribadi seperti ini biasanya membutuhkan prinsip
pilosofis yang dapat membantu mereka menjustifikasi perbuatan mereka ketika
dituduh sebagai kaum pesakitan atau menyimpang, jika saja ada suatu landasan
syar’i berbasis wahyu yang dapat membebaskan mereka dari setiap vonis, ini
lebih bagus menurut mereka.
[1]
Fakhruddin al Razi, mafâtihu’l
ghaib, vol ii, dar al fikr, cet 1. 1981, Beirut. Hal 232-234.
[10]
Dr. Wahbah Zuhaili, tafsir
munîr; fi’l ‘aqîdah wa al syarî’ah wa’l manhaj, vol 7, jilid 4, cet 10,
2009, dar al fikr, Beirut. Hal 367.
[11]
Riwayat dari imam Bukhari ini
perlu dipertanyakan.
[12]
Jalaluddin Abu Abdul Rahman al
Sayuthi, lubâb al nuqûl fî asbâb al nuzûl, muassasah al kutub al
tsaqafiyah, cet i, 2002, Beirut, Lebanon, Hal 178. Selengkapnya: Jalaluddin al Sayuthi, al
durarul mantsûr fî tafsîr bi’l ma’tsûr, ed.
Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin al Turki, vol 10, cet 1, 2003, markaz hijr li’l
buhuts wa al dirasati’l arabiah wa’l islamiah, jalan tur’a al zomor, al
Muhandisin. hal 524-533.
[13]
Al Hafiz Ibn Hajar al
Asqalani, al kâfi al syâfi fî takhrîji ahâdîtsi’l kassyaf, ed.
Muhammad al Said Muhammad, maktabah al taufiqiyah, vol 3, cet 1, 2012, Kairo, ,
Hal 163-164.
[14]
Ibid, 164.
[15]
Dr. Muhammad bin Muhammad Abu
Syahbah, al isrâiliyyât wa’l maûdhû’ât fî kutub al tafsîr, maktabah al
Sunnah, cet 2, 2006, Kairo, Hal 308. Ta’wil lain seperti yang disampaikan Musa bin
Aqabah berpendapat bahwa muslimin ketika itu tidak mendengar ayat-ayat setan
itu, tetapi setanlah yang membisikkannya ke dalam benak orang-orang kafir.
Lihat oula: Fathul bari, tafsir surat al haj
[16]
Lihat; hal 153. William Muir, life
of Mahimet and History of Islam, to the era of the hegira, vol 2, London,
Smith, elder & Co. 65, Cornhill, 1858, hal 153
[18] Muhammad Nashiruddin al Albani, nashbu’l
majânîq linasfi qisshati’l gharÂnîq, maktab al Islami, cet 3, 1996, Hal
39-40
[19]
Abdul Rahman bin Musa Ibn
Salah, muqaddimah ibn al shalâh, ed. Dr. Ali Abdul Basith Mazid,
maktabah al iman, cet 1, 2014, Kairo, Hal 113.
[20]
Al Albani, nashbu’l
majânîq, 40.
[22]
Lihat; Abu al Fadl
‘Iyadh bin Musa al Sibty, al Shifâ bita’rîfi Huqûqi’l mushtafa, ed.
Dr. Muhammad ‘Imaarah, al azhar, vol 2, hal 149.
[23]
Fathul
bari. Vol 8. 498.
[25]
Lihat; Al Albani, nashbu’l
majânîq, 41.
[27] Ibn al ‘Arabi Abu Bakar Muhammad
bin Abdullah, ahkâmu’l Qur’an, ed. Muhammad Abdul Qadir Atha, vol
3, dâru’l kutubi’l ‘ilmiyah, Beirut, cet 3, 2002, Hal 303-307
[28]
Lihat; Abu al Fadl
‘Iyadh bin Musa al Sibty, al Shifâ bita’rîfi Huqûqi’l mushtafa, ed.
Dr. Muhammad ‘Imaarah, al azhar, vol 2, hal 149-162.
[29] Dr. Abu Syahbah, al isrâiliyyât,
op, cit, 311.
[30] Nahar al Rijal.
[31]
Lihat; hal 300. Dr. Said Abdul
Fattah Ayur, adhwâ’ ‘ala harakat al riddah fî sshadri’l Islâm, dalam
majalah ‘âlamu’l fikr tema al Qur’an wa al sirah al nabawiyah, edisi;
februari-maret 1982. Vol 12. Kuwait.
[32]
Lihat; Abu Jakfar Muhammad bin
Jarir al Thabari, târikh thabari, ed. Muhammad Abu al Fadhl Ibrahim, vol 3, cet 2, daru’l ma’arif, Kairo. hal
284.
[33]
Hal 247. Dr. Ali Muhammad al
Shallabi, Abu Bakr al Shiddiq; syakhshiyyatuhu wa ashruhu, 2002, dar al
tauzi’ wa al anasyr al islâmiyah, Mesir,
[34]
Selengkapnya; Dr. Thaha
Hibisyi, al ‘aqidah fi’l islâm; taysîr wa tahrîr, vol 3, maktabah
al iman, Kiro, cet 1, 2015, hal
55-86
Comments
Post a Comment