Ayat-ayat Setan; Telaah Historis-Kritis



Setan adalah suatu entitas yang diyakini ada baik di dalam agama-agama samawi maupun samawi imitasi. Pribadi setan dipercaya sebagai sosok yang senantiasa memiliki upaya jahat dalam setiap aktivitas kejahatannya ketika menjahati orang lain.  Ia menyandang berbagai macam gelar yang dinobatkan oleh setiap keyakinan yang ada di muka bumi. Yahudi menyebutnya Azazil, Kristen menamakannya Belzebub, Zoroaster memanggilnya Ahraman, dan Islam mengistilahkannya sebagai Iblis yang jauh dari rahmat Tuhan.
Al Qur’an sendiri memuat beberapa kisah setan dengan berbagai penipuannya terhadap hati dan pikiran manusia, mengisyaratkan selama ada manusia setan akan tetap ada memperdaya dan mengajak manusia untuk menjauh dari rahmat Tuhan supaya tertimpa oleh kesialan yang sama dengan musibah yang ia pikul.
Di awal-awal surat al Baqarah, di awal-awal kehidupan perdana nenek moyang ras manusia al Qur’an mengabarkan bahwa setan atau Iblis adalah makhluk yang pertama kali membangkang pada titah yang diperintahkan oleh Tuhan. Berkat arogansi dan keangkuhannya ini nama setan pun diabadikan dan abadi di dalam al Qur’an dan di dalam setiap pikiran orang-orang yang masih beragama. Setan pun terkenang sebagai sosok pembangkang, takabbur dan terkutuk di mata manusia.
Allah Swt. Berfirman:
وإذ قلنا للملائكة اسجدوا لآدم فسجدوا الا ابليس أبى واستكبر وكان من الكافرين. (البقرة: 34)
“Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang kafir.”
Terdapat kontraversi argumen dalam wacana identitas yang disandang oleh Iblis menurut para sarjana muslim. Sebagian berkata Iblis adalah entitas yang tergolong malaikat, sedangkan yang lain berpendapat tidak. Kelompok yang mengatakan tidak adalah sebagian ahli kalam terutama Mutazilah sedang yang berkata iya adalah sebagia besar ahli fiqih.
1.    Argumentasi Mutazilah[1]
a.    Iblis termasuk golongan jin, jika ia seorang jin berarti ia bukan malaikat. Firman Allah Swt.: “Kecuali Iblis. Dia adalah golongan jin.”[2]
b.    Iblis dapat beranak pinak, tidak dengan malaikat. Firman Allah Swt. yang menunjukkan bahwa jin dapat berketurunan: “patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku?”[3] adapun mengenai ketidak berkembang-biakan malaikat itu karena pembiakan terjadi hanya ketika ada lelaki dan wanita sedangkan di dalam jajarannya malaikat tidak menampung wanita. Allah Swt. berfirman: “dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah Hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu?”[4] Allah Swt. mengingkari mereka yang menuduh malaikat berjenis kelamin perempuan, maka pembiakan pun tak dapat terjadi.
c.     Malaikat tergolong maksum, tidak dengan Iblis. Firman Allah Swt.: “tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”[5]
d.    Iblis adalah makhluk yang tercipta dari api, Allah Swt. Berfirman: dan Dia menciptakan jin dari nyala api”[6] Sedang malaikat tercipta dari cahaya. Nabi Saw. bersabda:  “malaikat tercipta dari Cahaya”[7]
e.     Malaikat adalah utusan. Firman Allah Swt.: “Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan”[8]. dan para rasul adalah orang-orang maksum.

2.    Argumentasi para Fuqoha
a.    Allah Swt. telah mengecualikan (istitsna) Iblis dari para malaikat, dan pengecualian adalah terma mengenai pengeluaran objek yang seharusnya ada di dalam kelompoknya, jika pengecualian itu tidak ada objek tersebut masih berada di dalam kelompoknya (ikhrâju mâ laulâhu ladakhala aw lashahha dukhûluhu). Atas dasar ini berarti Iblis tergolong malaikat.
b.    Jika Iblis tidak tergolong malaikat, lalu mengapa firman Allah Swt.:”ketika kami perintahkan kepada para malaikat untuk sujud kepada Adam”[9]  juga mencakup Iblis? Karena jika perintah tersebut tidak ditujukan kepada Iblis, maka ketidak sujudnya Iblis tidak dapat dikatakan sebagai pembangkangan atau takabur, dan tidak berhak ditimpa azab! Akan tetapi ketika konsekuensi tersebut telah didapatkan oleh Iblis, ini menunjukkan bahwa perintah tersebut juga mengenainya, dan ia takkan terkena perintah kecuali jika ia tergolong malaikat.

Kita tidak butuh memperuncing permasalahan diatas karena kita tidak memerlukan ilmu tentang siapa iblis dahulu, tetapi siapa ia sekarang dan apa yang telah diperbuatnya karena jika pribadi seseorang tidak didefinisikan oleh masa lalunya tetapi apa yang ia lakukan maka begitupula dengan iblis. Yang lebih penting adalah: dengan berbagai evolusi waktu, gelar iblis atau setan tidak hanya disandang oleh bangsa jin saja, tetapi ras manusia juga mendapat bagian di dalamnya bagi siapa saja yang turut andil dalam upaya perbuatan jahat. Jadi, dapat dikatakan setan terbagi menjadi dua; setan jin dan setan manusia. Allah Swt. Berfirman:
وكذالك جعلنا لكل نبيّ عدوا شياطين الجن الإنس والجن يوحى بعضهم إلى بعض زخرف القول غرورا (الأنعام: 112)
dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).”
Abu Qutadah berkata: pernah suatu hari Abu Zar sembahyang, kemudian Nabi Saw. berpesan kepadanya: berhati-hatilah terhadap setan-setan manusia dan jin. Abu Zar bertanya: apa manusia juga ada yang setan? Rasul menjawab: tentu. Kemudian Beliau membaca ayat:
وإذا خلوا الى شياطينهم قالوا إنا معكم .[10]
Pada ayat di atas disebutkan bahwa para setan itu saling membisikkan kata-kata kotor. Allah Swt. Menggunakan terma يوحى   yang juga dipergunakan dalam penyampaian wahyu kepada para rasul yang banyak ditemukan dalam ayat semisal “وأوحينا إليك” atau kami wahyukan kepadamu. Ini menunjukkan bahwa cara yang dipergunakan para dedemit tersebut dalam menyampaikan pesan-pesan jahat kepada anak buahnya tidak jauh beda dengan cara penyampaian malaikat kepada para nabi, yaitu berbisik dengan cepat sebagaimana yang dipahami dari istilah wahyu. Ini juga menujukkan bahwa omong kotor yang disampaikan para setan itu dapat dikatakan sebuah ayat karena perkataan tersebut disampaikan dengan metode yang sama yaitu wahyu. Tentunya ayat yang disampaikan melalui pewahyuan setan ini tergolong ayat-ayat setan. Akan tetapi ayat-ayat setan yang akan kami bahas di sini bukanlah kata-kata kotor tersebut, tetapi ayat-ayat palsu yang disampaikan baik oleh setan jin maupun setan manusia yang berusaha menandingi al Qur’an baik dengan mendaku diri sebagai nabi atau dengan cara lain.
Metode yang kami pergunakan di sini adalah metode historis-kritis yaitu mengkritik akurasi sumber yang ada di dalam teks-teks yang akan dikaji, atau mempertanyakan rasionalitas yang bercokol di dalam teks. Pembacaan seperti ini sebagaimna kita kenal di dalam ilmu hadits sebagai kritik sanad dan kritik matan.
1.       Ayat-ayat Setan Jin
Terdapat riwayat yang sangat terkenal kepalsuannya menarasikan bahwa nabi Muhammad Saw. pernah salah dalam menyampaikan wahyu Tuhan, wahyu yang diduga bersumber Tuhan itu nyatanya adalah berasal dari setan. Di kemudian hari ayat-ayat itu disebut qissat al gharânîq (dongeng burung bangau).
Kisah ini biasanya dipakai sebagai asbâb al nuzûl atas firman Allah Swt. :
وما أرسلنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلا نَبِيٍّ إِلاَّ إِذا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطانُ فِي أمنيته فَيَنْسَخُ اللَّهُ ما يُلْقِي الشَّيْطانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آياتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (52) لِيَجْعَلَ ما يُلْقِي الشَّيْطانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقاقٍ بَعِيدٍ (53) وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ (54)} .[سورة الحج: الآيات 52- 54]:
“Dan Kami tidak mengutus sebelummu seorang Rasul pun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana,) agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwasanya al-Qur’an itulah yang haq dari Rabbmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (al-Hajj: 52-54)
Setidaknya ada 10 riwayat dari jalur yang berbeda menginformasikan terjadinya kesalahan baca pada Nabi Saw. yang menyebabkan turunnya ayat tersebut. kontroversi keabsahan tidak dapat dihindari lantaran gentingnya perkara yang dimuat oleh riwayat-riwayat itu. Karena masalah ini menyangkut akidah dan ibadah di mana muslim dan kafir bersanding menyembah sesembahan yang diduga sama, dan peristiwa gencatan senjata spontan yang tak pernah diprediksikan oleh siapapun. Di sini ada dua peristiwa; peristiwa pertama adalah proklamasi nabi tentang pengakuan Islam terhadap eksistensi dewa-dewi Arab jahiliah, yang menimbulkan adanya; peristiwa kedua yaitu gencatan senjata dan penyembahan tuhan yang diduga sama oleh kedua belah pihak. Yang akan kita kaji adalah; apakah benar terjadi kedua hal tersebut, atau sebaliknya tidak ada yang pernah terjadi, atau sebagiannya benar tidak dengan yang lainnya.???
عن سعيد بن جبير قال : لما نزلت هذه الآية : (أفرءيتم اللات والعزى ) قرأها رسول الله (صلعم) فقال : تلك الغرانيق العلى، وإن شفاعتهن لترجى . فقال المشركون : إنه لم يذكر آلهتنا قبل اليوم بخير، فسجد المشركون معه، فأنزل الله: وما أرسلنا من قبلك من رسول . . . الى قوله: عذاب مقيم. (الحج: 52-55).
Dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata: Ketika turunnya ayat “afaraitum al lâtta wa’l ‘uzza” apakah kalian lihat patung Latta dan Uzza? Kemudian Rasulullah Saw. membaca: mereka adalah bangau-bangau mulia, dan pertolongan mereka dapat diandalkan. Orang-orang musyrik pun berkata: sebelumnya Dia tidak pernah memuji dewa-dewi kita! Maka sujudlah para musyrikin itu bersama Nabi Saw. kemudian turunlah ayat; wa mâ arsalnâ min qablika min rasûlin. . . Dan Kami tidak mengutus sebelummu seorang Rasul pun dan tidak (pula) seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. . . (al Hajj: 52-55.)
Dapat kita saksikan betapa anehnya berita yang diinformasikan oleh riwayat tersebut, wahyu yang menurut sebagian ulama diturunkan bersama penjagaan ketat dari beribu-ribu malaikat ternyata bisa dijebol oleh seorang Ifrit rendahan! Dan bagaimana mungkin seorang yang maksum ternyata pernah mendeklarasikan ayat-ayat setan!
Tidak lebih dari dua kubu, sebagian sarjana muslim mengamini bahkan menguatkan keotentikan riwayat tersebut, dan sebagian mengklaim kelemahan bahkan kepalsuan yang dimuat oleh riwayat tersebut.
a.       Pro

Terdapat dua imam kondang yang mengamini riwayat tersebut; Ibn Hajar dan al Sayuthi. Kedua imam ini dan orang yang sepaham dengan mereka berdalih dengan dua bukti;

1.       Banyaknya jalur periwayatan. Al Sayuthi berkata: hadits ini diriwayatkan oleh al Bazzar, Ibn Marduyah melalui jalur berbeda dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas kalau tidak salah, dan Ibn Marduyah berkata: hadis ini tidak diriwayatkan secara muttasil kecuali dari sanad ini. . . Hadis ini juga diriwayatkan oleh al Bukhari dari Ibn Abbas,[11] Ibn Jarir melalui al ‘Aufi dari Ibn Abbas, Ibn Ishak dalam al sîrah melalui Muhammad bin Ka’b. . . semua riwayat itu memiliki makna yang sama, bisa jadi semua riwayat tersebut dhaif dan terputus (munqathi’), tetapi tidak dengan jalur Said bin Jubair. Imam Ibn Hajar berkata: “Banyaknya jalur menunjukkan bahwa kisah ini memiliki sumber, walaupun sebenarnya ia juga mempunyai dua jalur sahih yang mursal, kedua jalur tersebut dinarasikan oleh Ibn Jarir melalui al Zuhri dari Abu Bakr bin Abdul Rahman bin Haris bin Hisyam, dan melalui Daud bin Abi Hind dari Abul Aliyah[12] dan riwayat-riwayat tersebut merupakan hadis-hadis mursal yang saling memperkuat satu sama lain. . .
2.       Para rawi terpercaya. Imam Ibn Hajar berkata: Sebenarnya tidak ada kedha’ifan dalam hadits tersebut, semua rawinya adalah orang-orang terpercaya (tsiqât). . . adapun cacat yang disebabkan oleh kontroversi kata itu tidaklah penting karena riwayat-riwayat yang lemah tidak dapat mempengaruhi riwayat-riwayat yang kuat, maka dalam kisah ini seharusnya yang menjadi pegangan adalah riwayat-riwayat sahih itu bukan yang lain, karena jalur dhaif dalam hadis ini hanya jalur yang dinarasikan oleh al Kalbi.[13]
3.       Ta’wil; Imam Ibn Hajar berkata: adapun cacat yang timbul melalui makna, hadits ini mempunyai prinsip yang sama dengan hadis-hadis sahih yang tidak boleh dipahami secara lahiriah tetapi dita’wil dengan apa yang sejalan dengan prinsip-prinsip agama.[14] Oleh karena, ungkapan ”lalu setan membisikannya: “merekalah bangau-bangau mulia, dan syafaat mereka dapat diandalkan.” Tidak boleh dipahami secara zahir, karena Nabi Saw. mustahil baginya untuk sengaja menambah-nambahkan al Qur’an dengan sesuatu yang bukan al Quran, pun dengan  kelalaian jika perkara ini terkait tauhid, mengingat bahwa beliau termasuk orang maksum. Para ulama telah mencoba berbagai cara untuk menyesuaikan riwayat ini dengan akidah melalui pena’wilan yang pas, dan setelah proses penyisihan beberapa ta’wil, terpiliihlah satu ta’wil yang cocok yaitu; seungguhnya Nabi Saw. membacakan al Qur’an dengan perlahan, dan di tengah-tengah terdiamnya setan menyelingi meniru logatnya dan menyampaikan kalimat (tilka’l gharânîq..) tersebut, lalu didengar oleh orang yang berada di dekatnya dan ia mengira bahwa kalimat itu adalah ucapan Nabi Saw. maka orang itupun menyebarkannya. Dan ta’wil inilah yang diamini oleh Qadhi ‘Iyadh dan Abu Bakr bin al ‘Arabi. [15]
Selain dua imam tersebut, seorang orientalis juga menduga keabsahan riwayat tersebut dengan dalih “Pasca deklarasi Rasulullah (tentang pengakuannya tehadap dewa-dewi Quraisy), tejadilah gencatan senjata antara muslimin dan orang-orang kafir. Ketika berita ini sampai telinga para imigran muslim di Abyssinia, mereka pun kembali ke mekah”[16] ini tidak benar karena penyebab kepulangan muslim muhajir tersebut sebenarnya adalah keislaman Umar bin Khattab Ra. yang telah ditakdirkan untuk membuat Islam bangga, merendahkan martabat orang-orang kafir, dan mengakhiri kedzaliman pembesar Quraisy. Selain itu, masalah yang terjadi di Abyssinia lantaran persetujuan Negus terhadap apa yang disampaikan muslimin terkait Isa As. hanyalah seorang Hamba dan utusan Tuhan (yang mungkin tidak disetujui menteri-menterinya), membuat muslimin lebih memilih pulanng karena khawatir terjadi hal buruk kepada mereka.[17]

b.       Kontra

Bukti-bukti yang disampaikan oleh imam Ibn Hajar tersebut sekilas terlihat kokoh tanpa aib, tetapi pendapat keabsahan riwayat tersebut berikut bukti-buktinya disangkal dengan beberapa tinjauan lebih dalam:
1.       Kaidah terkait bertambahnya kekuatan hadits melalui banyaknya jalur yang menarasikannya tidak dapat digeneralisir untuk setiap hadits,[18] karena tidak semua kedhaifan yang ada di dalam hadits menjadi hilang lantaran banyaknya jalur… tetapi terdapat hadits dhaif yang dapat dikuatkan dengan cara tersebut jika kedhaifan hadits itu muncul dari lemahnya hapalan perawi misalnya, padahal perawi ini terkenal sebagai orang jujur dan agamis. Jika riwayatnya itu diketahui ada melalui jalur berbeda berarti hadits tersebut memang telah dihafalnya, dan kelupaan tersebut tidak mengganggu akurasi perawi itu. Begitupula jika kedhaifan suatu hadis itu ada ditinjau dari kemursalannya, seperti hadits mursal yang dimursalikan oleh seorang imam yang hafiz. Karena kelemahan hadits-hadits tersebut relatif enteng, dan dapat dibersihkan melalui periwayatan dari jalur lain. Dan juga ada kedhaifan hadits yang tidak dapat dihilangkan dengan cara ini disebabkan parahnya kedhaifan hadis, jalur lain yang diharapkan dapat mengkuatkan riwayat tidak dapat berkutik dan melawan kedhaifan itu, seperti kedhaifan yang muncul dari fakta bahwa perawinya tertuduh sebagai seorang pembohong, atau kondisi hadisnya yang syâz.[19] Seperti hadits Ibn Abbas Ra. terkait kisah ini; semua jalur yang menarasikannya dhaif jiddan dan tidak dapat diperkukuh. [20]
2.       Kisah tersebut tidak dinarasikan oleh seorangpun imam yang menelateni kesahihan hadis (iltazama al shahîh), tidak pula para pemilik kitab-kitab mu’tamad.[21] Qhadi ‘Iyadh berkata; Hadits ini tidak dinarasikan oleh seorangpun ahli kesahihan, tidak pula orang terpercaya dengan sanad yang bersambung, tetapi galibnya yang senang dengan hadis ini adalah para penafsir dan sejarahwan yang gemar dengan semua yang aneh-aneh, mereka membungkar setiap kitab baik yang benar atau yang cacat.[22] Adapaun hadis yang diriwayatkan imam Bukhari terkait sebab turun ayat tersebut sama sekali tidak menyinggung pemujaan Nabi Saw. terhadap berhala-berhala musyrikin. Hadis yang diriwayatkan imam Bukhari melalui Ibn Abbas Ra. ini berkata:
أن النبي (صلعم) قرأ: النجم وهو بمكة، فسجد معه المسلمون والمشركون والجن والإنس. وفي رواية ابن رواية ابن مسعود : أول سورة أنزلت فيها سجدة، والنجم، قال: فسجد رسسول الله (صلعم) وسجد من خلفه إلا رجلا رأيته أخذ كفا من تراب فسجد عليه، فرأيته بعد ذلك قتل كافرا.[23]
Sujud yang dilakukan muslimin tentunya adalah perwujudan taat mereka atas perintah Allah swt. Adapun sujud musyrikin di sini adalah dampak yang terlahir dari ketakjuban mereka terhadap tingginya balaghah ayat-ayat Allah Swt. . . selain itu, adalah suatu kelaziman manusia, ketika ia berada ditengah-tengah masyarakat tertentu maka ia akan meniru gerak-gerik yang mereka lakukan walaupun sebenarnya ia tidak suka terhadap gerakan itu.[24]
3.       Kedhaifan hadits mursal. Walaupun dimursalkan oleh seorang terpercaya (tsiqah), tetap saja hadits mursal perpektif ahli hadits tidak dapat menjadi hujah. Imam Ibn Shalah berkata: hadits mursal dihukumi layaknya hadits dhaif kecuali ia diperkuat oleh jalur lain. . . alasan mengapa para ahli hadits tidak memperhitungkan keabsahan hadis mursal karena tidak diketahuinya siapakah yang dihapus oleh perawi dalam riwayatnya. Ketika sumber yang dihapus tersebut masih dalam status majhul, maka tidak mungkin pula mengetahui ‘adalahnya, sedangkan suatu riwayat tidak dapat diterima kecuali riwayat yang bersumber dari perawi ‘âdil. Jika seperti itu, asumsi bertambahnya kekuatan hadits mursal yang diberikan oleh mursal lain tidaklah kuat, karena adanya kemungkinan bahwa semua yang memursalkan hadits itu menerimanya dari seorang perawi yang sama. [25]
4.       Pena’wilan yang diamini oleh al Hafiz itu jika dikaji lebih lanjut ternyata malah membuat pena’wil terkena hal yang ditakutinya, yaitu setan telah menguasai Nabi Saw., menguasainya dengan peniruan, menguasainya dengan berkata seenaknya melalui lidah beliau. Tentu ini tidak mungkin, mengamininya sangat berbahaya terhadap aspek kerasulan, kalaupun kita akaui bahwa setanlah yang berbicara di tengah-tengah diamnya rasul, lalu mengapa rasul Saw. tidak mendengar apa yang diucapkan setan? Jika Beliau mendengarnya, mengapa Beliau tidak buru-buru mengingkarinya? Atau jika nabi Saw tidak mendengarnya, mengapa para sahabat tidak mendengarnya? Jika mereka dengar, mengapa mereka diam?[26]
5.       Pendapat imam Abu Bakar bin al ‘Arabi:[27]

a.         Rasulullah Saw. telah dianugerahkan suatu ilmu yang membuatnya mampu membedakan mana utusan Tuhan atau tidak. Karena jika ilmu ini tidak ada, otomatis kerasulan beliau takkan sah, kenabiannya takkan jelas. Jika malaikat berbisik kepadanya, beliau takkan tahu apa ia setan atau malaikat atau manusia.
b.         Allah Swt. Menjaga Rasulullah Saw. dari kekafiran, dari kesyirikan. Dan ini telah disepakati oleh semua kalangan muslim. Bagi siapa saja yang mendaku bahwa beliau bisa saja kafir, atau ragu (terhadap mustahilnya hal itu) maka orang tersebut sesungguhnya telah keluar dari Islam.
c.         Sangat aneh sekali jika Nabi Saw. ketika bersama pembesar Quraisy berharap agar Tuhan tidak menurunkan wahyu kepadanya! Bagaimana mungkin Nabi Saw lebih memilih ikatannya dengan kaumya ketimbang dengan Tuhannya! Kemudian beliau enggan memutuskan kekerabatan itu dengan wahyu yang Tuhan kirimkan!
d.         Kalimat tilka’l gharânîq… yang dibisikkan setan kepada Nabi Saw. telah diterimanya, setan membias diri sebagai malaikat dan Rasulullah tidak mengetahuinya! Bercampur baurlah tauhid dan kafir sampai-sampai Rasulullah tidak dapat membedakannya. . . tidak diragukan lagi ini adalah suatu kekafiran yang tidak mungkin berasal dari Allah Swt. Jika eseorang mengatakan hal demikian, tentu tanpa berfikir panjang seorang muslim walaupun yang keilmuannya rendah akan mengingkari hal terebut.

6.       Pendapat Qadhi Iyadh[28]

a.       Kontradiksi riwayat-riwayatnya dan kontroversi kata-katanya. Seroang rawi berkata; ketika sedang dalam salat, yang lain berkata; ketika berada di tengah khalayak ramai, yang lain: beliau mengatakannya setelah pingsan, yang lain; beliau mengatkannya lalu lupa; yang lain setanlah yang mengatakaan hal tersebut melalui lisannya, dan ketika Rasulullah menyampaikan hal tersebut Jibril, ia berkata; ini bukanlah apa yang aku bacakan kepadamu!? Yang lain berkata; tetapi setanlah yang memberitahu mereka bahwa nabilah yang telah membacakannnya, dan ketika hal tersebut diketahui Rasulullah, beliau berkata; demi Allah, ini bukanlah ayat yang diturunkan kepadaku.
b.       Allah Swt. Berfirman : وإن كادوا ليفتنونك. . .   dua ayat tersebut sejatinya menyangkal apa yang diberitakan oleh riwayat-riwayat itu; Allah Swt. Menjelaskan bahwa orang-orang kafir itu mencoba untuk memfitnah Rasulullah Saw. agar beliau mengarang-ngarang ayat. jika saja Tuhan tidak meguatkan hatinya maka bisa jadi beliau akan terbujuk oleh mereka, ini artinya Allah Swt. Menjaga beliau dari pemalsuan ayat, dan mengukuhkan hatinya agar tidak berpaling kepada mereka.
c.       Seharusnya hadis ini dapat menjadi senjata bagi orang-orang kafir, munafik untuk menyerang Islam, jika ditilik ulang sesungguhnya mereka tidak menyisakan sedikit celah guna menyerang agama tersebut. tetapi nyatanya, tidak ada seorang kafir atau yahudi misalnya memakai hadis ini sebagai peluru ampuh mereka seperti yang telah mereka lakukan dalam berita isra’ mi’raj yang tidak dapat diafahami sebagian orang dan membuatnya murtad.

7.       Imam Muhammad Abduh berkata; orang-orang arab kuno tidak pernah mensifati dewa-dewi mereka dengan nama burung bangau (al gharânîq), karena nama itu tidak pernah ditemukan baik dalam syi’ir atau pidato mereka. Tidak seorangpun pernah mengatakan nama itu selalu disebut-sebut oleh mereka, kecuali pada sebuah riwayat tanpa sanad berjalur majhul dalam mu’jam yâqût. Di dalam Bahasa Arab, al Gharânîq adalah jama’ dari kata al gharnûq, yaitu nama yang ditujukan kepada burung yang hidup di air, berwarna putih dan ada pula yang hitam. Selain itu makna dari kata terebut adalah pemuda tampan. Dari segi Bahasa, kata al gharnûq sama sekali tidak menunjukkan atau berkaitan dengan ketuhanan atau berhala-berhala sehingga ia dipergunakan di dalam logat fasih yang dipergunakan oleh para ahli kata-kata di zaman itu. Kata tersebut juga tidak mungkin diartikan secara majaz, yaitu menyerupakan berhala dan dewa dengan burung-burung bangau, karena satra Arab enggan terhadap hal tersebut.[29]


2.       Ayat-ayat Setan Manusia; majalah 298
Tidak dapat dielakkan bahwa sepeninggal Nabi terakhir muncul sejumlah pengaku nabi yang mengaku dititahkan membawa ajaran baru untuk manusia. Demi mengukuhkan gagasan tersebut nabi-nabi palsu ini tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan plagiat terhadap beberapa perilaku dan wahyu yang dimiliki oleh nabi Muhammad Saw. Motif yang mendasari gerakan mereka tidak lebih daripada fanatisme rasial yang menolak kepemimpinan orang luar terhadap suku atau klan mereka, dan ambisi kekuasaan yang lama dipendam oleh nabi-nabi palsu itu.
Bahkan sebelum wafatnya Nabi Saw. seorang nomaden rendahan pernah mencoba mendaku kenabian agar masyarakatnya mengakui keberadaan dan menempatkannya pada posisi yang tinggi. Musailamah, waktu itu berambisi menguasai separuh Arab dan membagi tugas kerasulan bersama nabi Muhammad Saw. Ditolak mentah-mentah, gerakan kenabian palsu Musailamah semakin mendapat perhatian dari masyarkatnya.
Musailamah yang dijuluki pendusta ulung (al kazzâb) ini terhitung sebagai peniru terbanyak terhadap perilaku dan wahyu Rasulullah Saw. hal ini difaktori oleh ketepatan waktu antara era Musailamah dan era Rasulullah, dan bantuan seorang mantan sahabat[30] yang memberikannya informasi terhadap setiap apa yang ingin ditirunya dari Rasulullah Saw.
Menilik ayat-ayat gubahan Musailamah, pikiran seorang pelajar tentu meyakini ketidak sebandingan sastra yang dikandung al Qur’an dengan sajak-sajak yang dibuat-paksakan oleh si Nabi palsu. Oleh karena itu, sekelompok peneliti tidak mempercayai penisbatan sajak-sajak murahan tersebut kepada seorang Arab badui yang galibnya masyhur dengan kearifannya terhadap seluk-beluk sastra, dan tidak mungkin seorang badui yang tahu akan tersebut berani menantang al Qur’an dengan sajak-sajak murahannya yang bahkan tidak layak untuk di kritik.
Pendapat ini boleh saja diamini, tetapi ayat-ayat palsu tersebut nyatanya telah diabadikan di dalam literatur-literatur terpercaya yang tidak mungkin berkonspirasi atas kebohongan. Selain itu, bisa saja sisi psikologis nabi-nabi palsu ini telah berubah lantaran desakan-desakan batin yang memaksa mereka membuat-buat ayat yang setidaknya agak sama dengan al Qur’an, dan mereka tidak peduli jika orang lain menemukan kebobrokan yang diumbar-umbarkan oleh mereka, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh imam al Thabari.[31]
Ayat-ayat buatan itu seperti ini;
والمُبذرات زرعًا، والحاصدات حصدًا، والذاريات قمحًا، والطاحنات طحنًا، والعاجنات عجنًا، والخابزات خبزًا، والثاردات ثردًا، واللاقمات لقمًا، إهالة وسمنا، لقد فضلتم على أهل الوبر، وما سبقكم أهل المدر، ريفكم فامنعوه، والمعتر فآووه، والباغي فناوئوه
الْفِيلُ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْفِيلُ، لَهُ زَلُّومٌ طَوِيلٌ، إِنَّ ذَلِكَ مِنْ خَلْقِ رَبِّنَا الْجَلِيلِ
والشاء وألوانها، وأعجبها السود وألبانها، والشاة السوداء واللبن الأبيض، إنه لعجب محض، وقد حرم المَذق، فما لكم لا تمجعون
يَا ضِفْدَعُ ابنة ضفدع، نِقِّي مَا تَنِقِّينَ، أَعْلَاكِ فِي المَاءِ وَأَسْفَلُكِ فِي الطِّينِ، لَا الشَّارِبَ تَمْنَعِينَ، وَلَا الْمَاءَ تُكَدِّرِينَ[32]
Selain Musailamah,  badui yang mengaku nabi bernama Sijah. Ia adalah seorang wanita dari Najd yang menentang pemerintahan khalifah Abu Bakar Ra. ketika ia dan tentaranya telah berncana menjarah suku Hanifah, Nabi palsu ini berpidato menyemangati kaumnya:
عليكم باليمامة، دفوا دفيف الحمامة، فإنها غزوة صرامة، لا تلحقكم بعدها ملامة[33]
Tetapi takdir berkata lain, ketika Sijah bertemu Musailamah sang nabi palsu dari Yamamah, Sijah jatuh hati dan menikah dengan Musailamah. Al kisah mahar yang diberikan Musailamah adalah kelonggaran salat isya dan subuh untuk para pengikut Sijah. Tentu ini adalah suatu hadiah besar bagi mereka, yang mana kedua salat tersebut dipraktekkan pada waktu-waktu termalas, maka penghapusan kewajibannya adalah hadiah yang eman jika ditolak.
Dr. Thaha Hibisyi menyebutkan beberapa factor munculnya gerakan nabi palsu ini;[34]
1.       Fanatisme; ia adalah sebuah watak manusia, dapat menjadi alat yang mematikan ketika ia disalah gunakan empunya. Fanatisme bukan aib, bahkan ia dapat memicu pujian kepada seseorang jika ditugaskan menjamin dan menjaga suatu prinsip dan norma. Tetapi ia menjadi aib ketika empunya buta terhadap sisi baik ras lain, fanatisme dipergunakan untuk mencela suku berbeda, ketika itu fanatisme menjadi suatu aib yang membuat empunya tercela. Contohnya Musailamah, dia adalah seorang yang tak dipandang, tidak memiliki posisi khusus dalam masyarakatnya. Melihat popularitas Rasulullah Saw diantaranya sahabat membuat Musailamah iri, dia takut jika namanya terlupakan begitu saja, dia perlu melakukan suatu hal yang dapat membuatnya seperti Nabi, yaitu dengan menjadi nabi. Ngaku nabi ini pada dasarnya didasari alasan pribadi Musailamah, kondisi psikologis yang menguasai Musailamah.
2.       keterpengaruhan terhadap pribadi para nabi dan wahyu mereka. Kepastian adanya musuh-musuh bagi setiap nabi, yang menginginkan kekuasaan bagaimanapun caranya, apapun resikonya. Fanatisme rasial hanya dapat dihilangkan melalui dakwah yang diembel-embeli dengan wahyu imporan dari langit. Hal ini telah diketahui oleh para pengaku nabi, mereka menyadari adanya dampak besar yang telah dihasilkan oleh perilaku-perilaku Nabi Saw. teristimewakan pangkat dan hormat yang beliau terima dari setiap pengikutnya, maka tidak ada acara lain selain plagiarism terhadap dua hal tersebut; perilaku dan wahyu.
3.       Pemikiran-pemikiran aneh yang tersebar di tengah masyarakat. Seperti; pertama; mengakui posisi dan mentaati perkataan tukang sihir. Kedua; teori-teori dan pemikiran Kristen yang absurd juga menyebabkan munculnya nabi palsu. Terma wahyu yang tidak terpasung di dalam Kriten menyebabkan beberapa pengikutnya yang tak paham mengakui dirinya telah menerima wahyu. Ketiga; gerakan batiniah. Tidak jauh beda dengan dua seniornya, gerakan ini memiliki style-style yang galibnya membutakan orang-orang awam. Buktinya tanpa adanya gerakan ini, agama Bahaiyah dan Babiyah tidak akan pernah hadir di muka bumi ini, dengan prinsip inilah mereka mampu mendapat pengikut yang lumayan. Keempat; tasawwuf sesat. Tentu hal ini terjadi ketika pendaku sufi bertindak menginginkan keruntuhan umat, ditambah kebobrokan objek dakwahnya tentang agama. Hal ini diperkuat bahwa sebuah riset menemukan factor munculnya Qadyaniah merujuk pada dampak negative Tasawwuf yang diterima oleh Gulam Ahmad pendiri Qadyaniah dan nabinya.
4.       Konflik intelektual dan maslahat. Suburnya konflik ini biasanya ditemukan pada bangsa-bangsa jajahan. Kekalahan spirit dan fisik mereka mempermudah penjajah untuk menguras harta kekayaan alam mereka tanpa mereka sadari atau sadar tetapi tanpa perlawanan. Salah satu tak-tik yang dipergunakan para penjajah itu adalah memilih di antara umat jajahan, seorang yang setia, yang akan diangkat menjadi nabi dengan wahyu baru dan gagasan baru, yang akan diikuti oleh orang-orang awam dan mereka yang terperdaya. Seperti Gulam Ahmad yang sebenarnya adalah anak buah Inggris yang diperintahkan merusak spiritual rakyat India.
5.       Lemahnya kehendak. Kehendak kuat adalah salah satu factor kebangkitan manusia baik individu maupun masyarakat. Ketika kehendak ini melemah, pribadi yang mengalami kkondisi ini dengan mudah menerima kemerosotan dan kekalahannya, dan salah satu alternative yang dianggapnya mampu meringankan bebannya adalah menghapus beban-beban (takalif) itu. Pribadi seperti ini biasanya membutuhkan prinsip pilosofis yang dapat membantu mereka menjustifikasi perbuatan mereka ketika dituduh sebagai kaum pesakitan atau menyimpang, jika saja ada suatu landasan syar’i berbasis wahyu yang dapat membebaskan mereka dari setiap vonis, ini lebih bagus menurut mereka.  
















[1] Fakhruddin al Razi, mafâtihu’l ghaib, vol ii, dar al fikr, cet 1. 1981, Beirut. Hal 232-234.
[2] إلا ابليس إنه كان من الجن (الكهف: 50)
[3] أفتتخذونه وذريته أولياء من دوني (الكهف: 50)
[4] وجعلوا الملائكة الذين هم عباد الرحمن إناثا أشهدوا خلقهم ستكتب شهادتهم (الزخرف: 19)

[5] لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون (التحريم: 6)
[6] وخلقنا الجان من مارج من نار (الرحمن: 15)
[7] خلق الملائكة من نور (رواه مسلم: 2996)
[8] جاعل الملائكة رسلا(فاطر: 1)
[9] وإذ قلنا للملائكة اسجدوا لآدم
[10] Dr. Wahbah Zuhaili, tafsir munîr; fi’l ‘aqîdah wa al syarî’ah wa’l manhaj, vol 7, jilid 4, cet 10, 2009, dar al fikr, Beirut. Hal 367.
[11] Riwayat dari imam Bukhari ini perlu dipertanyakan.
[12] Jalaluddin Abu Abdul Rahman al Sayuthi, lubâb al nuqûl fî asbâb al nuzûl, muassasah al kutub al tsaqafiyah, cet i, 2002, Beirut, Lebanon, Hal 178.  Selengkapnya: Jalaluddin al Sayuthi, al durarul mantsûr fî tafsîr  bi’l ma’tsûr, ed. Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin al Turki, vol 10, cet 1, 2003, markaz hijr li’l buhuts wa al dirasati’l arabiah wa’l islamiah, jalan tur’a al zomor, al Muhandisin. hal 524-533.
[13] Al Hafiz Ibn Hajar al Asqalani, al kâfi al syâfi fî takhrîji ahâdîtsi’l kassyaf, ed. Muhammad al Said Muhammad, maktabah al taufiqiyah, vol 3, cet 1, 2012, Kairo, , Hal 163-164.
[14] Ibid, 164.
[15] Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al isrâiliyyât wa’l maûdhû’ât fî kutub al tafsîr, maktabah al Sunnah, cet 2, 2006, Kairo, Hal 308. Ta’wil lain seperti yang disampaikan Musa bin Aqabah berpendapat bahwa muslimin ketika itu tidak mendengar ayat-ayat setan itu, tetapi setanlah yang membisikkannya ke dalam benak orang-orang kafir. Lihat oula: Fathul bari, tafsir surat al haj
[16] Lihat; hal 153. William Muir, life of Mahimet and History of Islam, to the era of the hegira, vol 2, London, Smith, elder & Co. 65, Cornhill, 1858, hal 153
[17] Abu Syahbah, al isrâiliyyât, 311.
[18] Muhammad Nashiruddin al Albani, nashbu’l majânîq linasfi qisshati’l gharÂnîq, maktab al Islami, cet 3, 1996, Hal 39-40
[19] Abdul Rahman bin Musa Ibn Salah, muqaddimah ibn al shalâh, ed. Dr. Ali Abdul Basith Mazid, maktabah al iman, cet 1, 2014, Kairo, Hal 113.
[20] Al Albani, nashbu’l majânîq, 40.
[21] al isrâiliyyât wa’l maûdh, 307.
[22] Lihat; Abu al Fadl ‘Iyadh bin Musa al Sibty, al Shifâ bita’rîfi Huqûqi’l mushtafa, ed. Dr. Muhammad ‘Imaarah, al azhar, vol 2, hal 149.
[23] Fathul bari. Vol 8. 498.
[24] al isrâiliyyât wa’l maûdh, 307.
[25] Lihat; Al Albani, nashbu’l majânîq, 41.
[26] al isrâiliyyât wa’l maûdh, 309.
[27] Ibn al ‘Arabi Abu Bakar Muhammad bin Abdullah, ahkâmu’l Qur’an, ed. Muhammad Abdul Qadir Atha, vol 3, dâru’l kutubi’l ‘ilmiyah, Beirut, cet 3, 2002, Hal 303-307
[28] Lihat; Abu al Fadl ‘Iyadh bin Musa al Sibty, al Shifâ bita’rîfi Huqûqi’l mushtafa, ed. Dr. Muhammad ‘Imaarah, al azhar, vol 2, hal 149-162.
[29] Dr. Abu Syahbah, al isrâiliyyât, op, cit, 311.
[30] Nahar al Rijal.
[31] Lihat; hal 300. Dr. Said Abdul Fattah Ayur, adhwâ’ ‘ala harakat al riddah fî sshadri’l Islâm, dalam majalah ‘âlamu’l fikr tema al Qur’an wa al sirah al nabawiyah, edisi; februari-maret 1982. Vol 12. Kuwait.
[32] Lihat; Abu Jakfar Muhammad bin Jarir al Thabari, târikh thabari, ed. Muhammad Abu al Fadhl Ibrahim,  vol 3, cet 2, daru’l ma’arif, Kairo. hal 284.
[33] Hal 247. Dr. Ali Muhammad al Shallabi, Abu Bakr al Shiddiq; syakhshiyyatuhu wa ashruhu, 2002, dar al tauzi’ wa al anasyr al islâmiyah, Mesir,
[34] Selengkapnya; Dr. Thaha Hibisyi, al ‘aqidah fi’l islâm; taysîr wa tahrîr, vol 3, maktabah al iman, Kiro, cet 1, 2015,  hal 55-86

Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons