Dikotomi penafsiran al Qur’an; Studi radikalisme dan moderatisme dalam penafsiran[1]



Oleh: Anzuru Wahyan Q[2]

Tidak ada satupun sekte dalam Islam yang tidak mendaku kebersumberan idealismenya melalui al Qur’an, hal ini adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dielakkan selama al Qur’an memiliki kondisi multi interpretasi (dzanniyah ma’nan), didukung oleh kekayaan bahasa Arab yang dipakai oleh al Qur’an, setiap pembacanya dapat memilih suatu makna yang sesuai dengan apa yang dikehendaki. Dalam kondisi seperti ini, tujuan semula al Qur’an sebagai juru hidayah hilang ditelan mentah-mentah oleh para pembaca yang suka menjustifikasi idealismenya melalui al Qur’an, ia dijadikan senjata yang memperteguh dan membentengi mazhab tertentu. Untuk meminimalisir kejadian yang sama, beberapa sarjanawan muslim membentuk sejumlah aturan yang mengikat para penafsir supaya tak keluar dari norma-norma Islam dalam pembacaan kitab sucinya, dan kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh calon penafsir itu sendiri. Melalui aturan-aturan ini, metode yang dipakai oleh penafsir tertentu dapat ditinjau kesahihannya, membedai aturan  adalah kesalahan dalam metode, dan kesalahan di dalam metode menghasilkan pembacaan yang salah. Sedangkan kriteria dalam hal ini mencakup ranah keilmuan, etika, akidah, bahkan psikologi seorang penafsir. Aktivitas menafsiri hanya digeluti oleh mereka yang elit, yang mumpuni dalam berbagai disiplin keagamaan dan memiliki sisi spiritual yang tinggi. Inilah salah satu alasan banyaknya ulama yang menafsirkan al Qur’an di akhir hayatnya, atau tafsir adalah karya terakhir yang mereka tulis bahkan tidak dapat dirampungkan.
Terkait hukum Islam atau fiqh, tafsir memiliki relasi yang cukup signifikan, karena fiqh mempunyai suatu dasar yang dikenal sebagai ushul fiqh, dalam kajiannya disiplin ilmu ini menempatkan al Qur’an sebagai referensi pertama dalam pembentukan fiqh, ia juga mengkaji cara pemroduksian hukum melalui sumber tertinggi itu (istinbâthu’l ahkâm). Dengan kata lain fiqh ini termasuk aktivitas menafsiri al Qur’an meskipun hanya terpaku dalam hal-hal terkait hukum. Maka tidak heran jika banyak relasi dan paralel dalam wacana kedua disiplin ilmu tersebut.
Akan tetapi dalam penerapannya, fiqh dan ushul fiqh ini memiliki kaidah-kaidah dan maqashid syariahnya sendiri, ia terpaksa harus sesuai dengan ruang dan waktu di mana ia diberlakukan. Hal ini beresiko melepas ikatan yang dibentuk dalam pembacaan al Qur’an, bahkan menanggalkan hukum al Qur’an itu sendiri. Jadi pertanyaannya; apakah meninggalkan hukum al Qur’an itu salah? Jawaban yang telah diketahui sampai sejauh ini berasal dari sisi-sisi yang tak sama, tetapi yang paling mencolok dari kesemua sisi itu adalah sisi yang ramah dan sisi yang marah.
Sisi yang cenderung radikal dan meledak-ledak tidak hanya menyalahkan pelaku hal tersebut, tetapi bahkan mengkafirkan dan menghalalkan darah dan harta yang dimilikinya meskipun dia masih berstatus muslim. Artinya menurut kelompok ini status keagamaan seseorang dinilai dari perilakunya, jika sesuai syar’i berarti muslim, jika tidak berarti kafir. Sisi inilah yang hendak dikritisi oleh Dr. Usamah al Azhary dengan memusatkan kajian terkait pemikiran sisi marah yang direpresentasikan Sayyid Quthb.
Dalam buku ini Dr. Usamah mengatakan bahwa pemikiran radikal Sayyid Quthb terlihat jelas dan terkumpul dalam tafsirnya fi dzilâli’l Qur’an. Oleh karena itu langkah awal kritik dipusatkan dalam meneliti metode dan akar metode yang dipergunakan oleh al Quthb. Bahkan Dr. Usamah berusaha menjelaskan sepintas psikologi orang-orang yang semisal dengan al Quthb.
Tidak hanya mengkritik tetapi Dr. Usamah juga berusaha menstabilkan pemahaman yang ramah dalam tafsir, meletakkan landasan yang kuat untuk paham tersebut dan menegaskan bahwa paham inilah yang dilestarikan oleh para ulama semenjak dahulu. Barulah kemudian Dr. Usamah menguak kesalah pahaman al Quthb yang telah dihasilkan metode penafsirannya. 
Yang patut dipertanyakan di sini adalah, mengapa harus Sayyid Quthb? Dan ada apa di dalam tafsirnya?
Alasan Dr. Usamah memilih al Quthb dan tafsirnya sebagai titik krusial tentunya karena dia sebagai agen radikalisme telah membentuk sejumlah pemikiran radikal yang tertata, yang dapat membahayakan orang-orang sekitarnya teristimewakan masyarakat Islam yang tidak sepaham dengannya. Pemikirannya ini hidup dan dipraktekkan oleh beberapa jaringan radikal yang menggunakan kekerasan dalam pengenalan Islam, lantas menyematkan praktek tersebut ke dalam Islam yang sejatinya tidak mengenal adanya pemaksaan dalam beragama. Jadi untuk meluruskan pemikiran jaringan-jaringan ini tentunya harus mencabut akar idealisme sandaran mereka, dalam hal ini adalah pemikiran Sayyid Quthb, karena jika ditinjau lebih serius, menurut Dr. Usamah gerakan-gerakan radikal yang marak terdengar akhir-akhir ini sejatinya adalah implementasi dari pemikiran yang dibentuk al Quthb. Dan tafsir al Quthb nyatanya adalah kompilasi dari pemikiran-pemikiran radikal tersebut. Tentunya penodaan terhadap makna al Qur’an ini tidak dapat ditangguhkan begitu saja dengan mendahulukan karya-karya al Quthb yang lain atau buku-buku radikal lain yang bukan tafsir. Karena tafsir adalah buku yang secara langsung bersentuhan dengan al Qur’an dan tidak mempunyai bahasan selain al Qur’an, sedangkan al Qur’an adalah sumber pertama dalam agama, tentu kritik terhadap tafsir al Quthb harus diutamakan terlebih dahulu. Jadi, di sini Dr. Usamah memiliki beberapa tugas: Pertama: menyangkal paham radikal. Kedua: menganulir aksi radikal. Ketiga; stabilisasi tafsir moderat. Keempat: menegaskan kaidah-kaidah yang benar dalam membaca Islam. Kelima; mengusut geneologi pemikiran kedua belah pihak. Keenam: menegaskan norma-norma Islam.
pemikiran radikal bukanlah hal yang baru dalam masyarakat Islam, ia merupakan turats yang semenjak dahulu ada melalui pemikiran yang dikenal dengan Khawarij. Partai ini muncul dari kesalah pahaman terhadap relasi iman dan amal yang dianggap satu. Paham inilah yang kemudian mengharuskan penganutnya memvonis kafir kepada setiap individu yang tidak menerapkan hukum Islam. Lebih jauh lagi, paham ini mampu merembet ke ranah politik; bagi setiap pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Islam telah keluar dari Islam. Ranah pengafiran menjadi semakin luas mencakup masyarakat dan negara. Paham ini (menurut mereka) didukung oleh firman Allah Swt. Wa man lam yahkum bi mâ anzala Allahu fa ulâika humu’l kâfirûn (al maidah; 44). Dan ketika tidak ada lagi pemerintahan Islami maka tidak ada pemerintahan yang sah dan tidak ada lagi yang boleh  memerintah kecuali Allah Swt.; ini’l hukmu illâ lillâh (Yusuf; 40).
Inilah sejumlah pemikiran yang ditelurkan partai Khawarij yang punah dan terlahir kembali pada abad 20 dengan bahasa yang baru dan pemetaan yang berbeda. Sebagian peneliti berpendapat paham neo khawarij ini lahir dari kekecewaan dan dendam yang ditanggung oleh segelintir  aktivis gerakan Islam tahun 60-an yang enggan menandatangani perjanjian antara mereka dengan pemerintah Mesir. Rekan seperjuangan mereka yang menyetujui hal tersebut oleh mereka dicap keluar dari Islam karena telah mengakui pemimpin kafir. Dan tidak ada jalan menuju keislaman selain dengan berafiliasi ke dalam organisasi mereka. Khawarij yang lama pun terlahir kembali melalui tangan-tangan pemuda-pemuda yang tidak memiliki keahlian dalam disiplin ilmu dan budaya Islam, hanya dibekali semangat dan respon yang sembrono, bagaikan dendam pesakitan terhadap tukang jagal, dan di dalam kondisi seperti ini takfir adalah bentuk kata yang paling cocok untuk menggambarkan kesengsaraan yang mereka rasakan. Jadi, konsep-konsep dan aturan mereka tidak lahir dari pemahaman sahih, tetapi refleksi atas realita pahit mereka yang penuh dengan siksaan dan diskriminasi. Hal inilah yang menyebabkan sejumlah pembela gerakan tersebut menyadari bahwa takfir sejatinya adalah krisis pemikiran, dan bukan metode gerakan Islam.[3]
Ayat Wa man lam yahkum bi mâ anzala Allahu fa ulâika humu’l kâfirûn (al maidah; 44). Diklaim sebagai landasan dasar paham takfîr. Nyatanya tidak banyak ulama yang memahami ayat tersebut sebagaimana yang kaum radikal ingini. Dr. Usamah menegaskan tidak satupun ahli agama yang menafsirkan ayat tersebut sebagai pengkafiran atas setiap orang yang meninggalkan hukum Allah Swt. Tetapi pengkafiran itu ditujukan kepada orang yang mengingkari keabsahan hukum. Lebih jauh, tafsir takfir hanya dicetuskan oleh mazhab Khawarij. Imam al Ajuri menegaskan salah satu ayat yang disesatkan penafsirannya oleh Khawarij adalah ayat al Maidah : 44.
Selain kekurangan metode, kaum radikal tidak memenuhi kriteria penafsiran atau pemroduksian hukum (istinbath) melalui al Qur’an. Dalam banyak penafsirannya Sayyid Quthb seringkali hanya mengutamakan sastra daripada melihat situasi dan kondisi social kemasyarakatan. Karena hal ini menyangkut keberhukuman yang tidak cocok bagi pribadi al Quthb yang membenci bentuk-bentuk kaku yang mainstream dalam kitab-kitab hukum, dia hanya menyukai sastra dan diksi-diksi indahnya. Menyadari ketidak tauannya dalam urusan hukum tidak lantas mengehentikan al Quthb untuk mengistinbat. Dibekali dengan ilmu zauq dan kelihaian sastranya dia menafsirkan al Qur’an sesuai apa yang dipahami dan diinginkannya. Dan hal yang berbahaya ini adalah hal yang sangat dipermasalahkan oleh Dr. Usamah dan seringkali diulang melihat urgensinya. Karena pembentukan paham-paham dan kaidah melalui al Qur’an adalah hal yang sangat sulit, diperlukan adanya alat-alat ilmiah, dan neraca yang menjamin kesahihan paham tersebut, dan membantu mengetahui sejauh manakah keharmonisan paham itu dengan maksud dan tujuan al Qur’an. Hal-hal seperti ini wajib ada untuk menjaga wahyu dari penisbatan  paham-paham sesat dan tidak bertanggung jawab kepadanya, karena jika penisbatan tersebut telah sukses, maka paham tersebut akan diamini benar karena memiliki kesaskralan wahyu.[4]
Pertanyaan selanjutnya; pada ayat-ayat manakah kekurangan metode dan kriteria itu ketara dalam penafsiran Sayyid Quthb?
Dalam setiap pemahaman ayat yang diusung oleh al Quthb sebagai pondasi idealismenya, Dr. Usamah senantiasa melihat kekurangan yang ketara dalam pembacaan al Quthb, yang mengisyaratkan bahwa pembacaan tersebut belum sempurna, bahkan salah kaprah. Antara lain:
1.       ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولـئك هم الكافرون (المائدة:44). Mengekor kepada al Maududi , al Quthb memvonis kafir setiap orang yang tidak menerapkan hukum syar’i, sekalipun dia masih meyakini keabsahnnya, dan kewahyuannya, serta ketidak mampuannya untuk mempraktekkan hukum tersebut. terlepas dari semuai ini, orang tersebut tetap tercap kafir. Dr. Usamah menyangkal paham ini dan menuding nya sebagai suatu hal yang aneh dan langka, al Quthb menurutnya telah melompati pembacaan jumhur bahkan para sahabat terhadap ayat tersebut; mereka semua meyakini bahwa yang divonis kafir hanyalah mereka yang mengingkari keabsahan hukum syar’i. dan untuk kesekian kalinya al Quthb lebih mengedepankan idealism pribadinya.[5]
2.       ان الحكم الا لله(يوسف:40). Al Quthb mengira bahwa ayat adalah bukti monoteisme hukum Tuhan, bagi siapapun yang intervensi dalam urusan hukum tersebut menurutnya telah berusaha mengambil alih profesi Tuhan, maka dia menjadi kafir dengan perbuatan tersebut. yang ingin dikritik oleh al Quthb dalam hal ini adalah para Fuqaha yang sibuk dengan urusan hukum dan berijtihad untuk menampakkannya. Di sini al Quthb telah mendistorsikan fakta bahwa Allah Swt. Yang esa dalam menciptakan hukum-hukum seperti wajib dan haram, sementara para Nabi dan ulama bertugas untuk mengungkap keberadaan hukum-hukum tersebut. Ranah kajian telah berpindah dari akidah menuju wacana fiqh. Dan disini al Quthb telah kehilangan ilmu kalam dan ilmu ushul fiqh yang memang tidak ditekuninya.[6]
3.       وان أطعتموهم انكم لمشركون(الأنعام: 121). Menurut al Quthb ayat inilah yang membuktikan kekafiran muslim yang mentaati pemerintah kafir. Paham ini sejatinya adalah hasil dari kolaborasi akidah dan ibadah yang dilakukan al Quthb. Karena menurutnya ranah akidah telah meluas bahkan sampai ranah perpolitikan, maka politik yang tidak berasaskan ketuhanan adalah politik yang kafir. Sekilas paham ini parallel dengan yang dimiliki Syiah Imamiah, boleh jadi ada keterpengaruhan Syiah dalam pemikiran al Quthb. Karena Sunni sendiri menegaskan bahwa pemerintahan bukan aqidah, tetapi bagian dari furu’iyah.[7]
4.       قال اجعلنى على خزائن الأرض إني حفيظ عليم(يوسف:55) . Hikayat perkataan nabi Yusuf As. ini menurut al Quthb adalah tindakan yang menunjukkan keharusan syar’i dalam menuntut pemerintahan. Al Quthb sangat menyayangkan sikap Fuqaha yang mempenatkan diri mencari arti yang pas dalam ayat ini sehingga tidak kontradiksi dengan hadits Nabi Saw;  يا عبد الرحمن بن سمرة! لا تسأل الإمارة؛ فإنك إن أعطيتها وكلت اليها، وإن أعطيتها عن غير مسألة أعنت عليها (صحيح مسلم/6/5م، كتاب الإمارة) . Berlebihan, al Quthb menuduh akal Fuqaha telah menjumud, dan gerakan masyarakatlah yang telah mencetuskan fiqh, dan bagi fuqaha yang tidak mengerti perbedaan fiqih dalam buku dan fikih dalam gerakan tidak pantas diesbut ahli fikih, dan hukum-hukum fikih itu sendiri tidak akan muncul dalam kekosongan; artinya ia tidak akan hidup tanpa orang-orang yang mempraktekkannya; dan karena umat Islam telah punah, hukum fikih inipun punah.[8] Dalam hal ini al Quthb telah kehilangan banyak hal, selain kehilangan apresiasi terhadap warisan para ulama, dia juga kehilangan kesabaran dalam memahami ayat tersebut karena tidak menelisik konteks ayat dan sosio kultur nabi Yusuf As. Padahal ayat ayat ini sesungguhnya menceritakan kepandaian nabi Yusuf As. yang masyhur di kalangan masyarakat dan pemerintahan Mesir kuno; kepandaian inilah yang menyebabkan pemerintah acap kali meminta bantuannya menyelesaikan problem ekonomi dan social yang ada di Mesir. Yusuf As. Tidak lantas menerima tawaran tersebut; tidak setelah kedatangan permintaan raja yang berulang-ulang.[9]
5.       قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ(التوبة:24)
Menurut al Quthb ayat ini telah membuktikan haramnya cinta tanah air, karena ketika seseorang lebih mencintainya ketimbang Allah dan rasulNya, ini menyebabkan kefasikan. Dr. Usamah meyakini kurangnya ilmu-ilmu alat dalam pembacaan al Quthb terhadap ayat ini, dan kecolongan ilmu-ilmu tersebut menafikan kemungkinan pembacaan al Qur’an yang benar karena ia sendiri menggunakan Bahasa Arab yang tidak mungkin dimengerti tanpa kehadiran ilmu-ilmu tersebut. ayat ini sebaliknya menjelaskan kondisi seseorang yang lebih mengutamakan keluarga, rumahnya, sawah dan hartanya. Hal-hal tersebut memperlambat bahkan mencegahnya untuk mendekati Tuhan. Orang-orang seperti ini ketika diajak membela negara akan enggan pula karena dia hanya akan melindungi keluarga dan hartanya.

Selain membahas sisi ilmiah, Dr. usamah juga menyinggung sisi psikologis yang dialami penafsir radikal. Sisi psikis ini beliau pahami melalui hadits Nabi Saw.:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن ما أتخوف عليكم رجل قرأ القرآن حتى إذا رئيت بهجته عليه وكان ردئا للإسلام غيره إلى ماشاء الله فانسلخ منه ونبذه وراء ظهره وسعى على جاره بالسيف ورماه بالشرك، قال قلت يا نبي الله أيهما أولى بالشرك المرمي أم الرامي قال بل الرامي (مسند البزار/7/220)
Hadits ini telah menjelaskan kondisi psikologi yang dialami penafsir radikal dan fase-fase yang dilaluinya. Bermula dari kecintaanya terhadap al Qur’an yang kemudian hari dikenal luas oleh mayarakat, selain itu dia juga memiliki semangat yang tinggi dalam membela agama dan ingin menjadi penjaganya. Sebuah awal yang bagus, sampai psikologinya rusak tertimpa oleh keinginan kuat menjadi seorang penafsir atau mujtahid, sedangkan dia tidak mumpuni dalam hal tersebut, hanya berbekal semangat dan kecintaanya kepada al Qur’an. Keadaannya inilah yang kemudian menelurkan paham-paham aneh dan langka mengenai ayat-ayat Tuhan. Tetapi ia tetap saja menjustifikasi paham-paham itu karena ketiadaan aturan yang dapat mengikat dirinya. Dan pada akhirnya ia menyematkan paham tersebut kepada al Qur’an dan menganggap kekultusannya.
Masyarakat merasa risih dengan keberadaan orang seperti ini, mereka heran terhadap evolusi psikologis penafsir radikal. Maka suatu keniscayaan jika beberapa dari mereka menyangkal keabsahan paham aneh itu. Akan tetapi karna penafsir radikal telah menganggap suci apa yang dipahaminya, ia tidak akan mentolerir perbedaan dan tidak akan segan memvonis kafir orang yang membelot.
Inilah sekilas maksud yang dinginkan oleh Dr. Usamah. Buku ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan pikiran pelajar dan masyarakat. Buku ini menunjukkan betapa pentingnya mengetahui berbagai macam ilmu agama karena mempelajari ilmu tertentu takkan mudah tanpa mempelajari ilmu lainnya, dan betapa bahayanya membiarkan lidah tak berpendidikan berbicara lantang tentang agama.
Metode yang dipergunakan pun mennggunakan metode ilmiah keazharan yang memang mendarah daging dalaam diri beliau. Sebagai representasi al Azhar beliau takkan tinggal diam dengan paham yang membentur manhaj kawakan itu. Al Azhar ini seperti sebuah konvensi, pahamnya diamini oleh sebagian besar masyarakat Mesir, dan sebaliknya apa yang dikehendaki oleh mayoritas Mesir juga menjadi kehendak al Azhar. Hal ini menunjukkan kelangkaan paham-paham lain yang sesuai dengan mayoritas.
Al Azhar sebagai suatu metode diyakini oleh Dr. Usamah sebagai paham yang turun-temurun diwarisi para ulama, dan ini bukan berarti hanya al Azhar saja yang memiliki manhaj tersebut karena madrasah-madrasah lain seperti al Qairawiyn, al Zaitun juga menyepakati paham yang sama. Tolak ukur kesahihan ini bukan karena kesamaan mereka dengan al Azhar, tetapi karena manhaj itulah yang sesuai dan ma’ruf diridhai mayoritas Islam. Dr. Usamah meyakini manhaj ini adalah pengaruh Ibnu Abbas Ra. yang dulu mendebat kalangan Khawarij dalam pembacaan al Qur’an, dan buku ini sejatinya adalah pelestarian respon cepat melawan paham-paham aneh seperti yang telah diprakarsai Ibnu Abbas Ra.  

·         Marajik

Al Thayyib, Ahmad, khuthurathu al takfîr dalam min a’mâli mu’tamari’l azhari’l ‘âlamî limuwâjahati al tatharrufi wa’l irhaâb, cet 1, Syirkah al Quds, Kairo, 2015.
Al Azharî, Usamah al Sayyid Mahmud, al haqqu’l mubîn fî al raddi ‘alâ man talâ’aba bi al din, cet 1, darul faqih, 2015, Kairo.





[1] Resensi buku al haqqu’l mubîn fî al raddi ‘alâ man talâ’aba bi al din karya Dr. Usamah al Sayyid Mahmud al Azharî, cet 1, darul faqih, 2015, Kairo.
[2] Mahasiswa tingkat 4, fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir.
[3] Lihat. Dr. Ahmad Thayyib, khuthurathu al takfîr dalam min a’mâli mu’tamari’l azhari’l ‘âlamî limuwâjahati al tatharrufi wa’l irhaâb, cet 1, Syirkah al Quds, Kairo, 2015, hal 72-73.
[4] Lihat; Dr. Usamah al Sayyid Mahmud al Azharî, al haqqu’l mubîn fî al raddi ‘alâ man talâ’aba bi al din, cet 1, darul faqih, 2015, Kairo, hal. 124.
[5] Lihat: ibid, 24-26.
[6] Lihat: ibid, 29.
[7] Lihat: ibid, 61.
[8] Selengkapnya; ibid, 131-132.
[9] Lihat; ibid. 142.

Comments

Popular posts from this blog

Dunia Hologram dalam Perspektif Spiritual dan Sains

Filosofi Battousai

review film da vinci demons