Rekonstruksi 'Ulumu'l Qur'an Versi Hasan Hanafi
REKONSTUKSI
‘ULUMU’L QUR’AN
Disiplin
keilmuan Islam secara garis besar dapat dibagi dua, disiplin ilmu yang netral
menggunakan naql dan nalar[1],
dan disiplin ilmu yang hanya mengandalkan naql karena warisan-warisan
karya ulama dahulu yang mengkaji disiplin ilmu tersebut hanya sebatas
akumulasi, narasi (riwâyah),
dan dokumentasi (tadwin). Struktur keilmuan yang telah mereka patenkan
tersebut hanya berdasarkan
data-data yang ada pada era mereka, dan belum ada seorangpun yang mencoba untuk
me-revolusi diskursus
tersebut sepeninggal mereka, pengecualian untuk sejumlah pendaku tajdid sebagai
respon atas makalah sebagian Orientalis terkait historitas al-Qur’an,
falsifikasi hadits, partikularisme tafsir, dll. Disiplin ilmu tersebut ialah,
al-Qur’an, hadits, tafsir, sirah, dan fiqh.
Resiko
ilmu-ilmu tersebut adalah ketergantungannya hanya pada hapalan dan penukilan (naql).
Jadi, ulama hanyalah mereka yang menghafal. Dalam buku Thibqâtu’l ẖuffâz milik al-Suyuthi menyebutkan bahwa hafalan adalah ilmu nabawi yang
ternukil. Para penghafal (ẖuffâz) dikelompokkan
menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan pendek jangka waktu antara mereka
dengan Rasulullah Saw. sahabat lalu tabi’in, tabi’ tabi’in wa mantr
tabi’ahum bi ihsânin ilâ yaumi al dîn. Kemudian Tabi’in terbagi dalam
tingkatan Kubra, Sughra, dan Wustha sesuai kedekatan mereka dengan
sahabat. Buku yang mencatat sekedar nama-nama ulama, tempat-tempat dan
kesukuan mereka, jarang sekali ada bukti-bukti baik dari ayat, hadits atau
syi’ir, apalagi peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi atau pengalaman hidup
mereka; seakan-akan para Huffaz tersebut sekedar alat perekam atau wadah
penimbunan dan hafalan.
Buku Min
Al Naql ila’l ‘Aql ini bertujuan untuk memberikan porsi istimewa kepada
nalar dalam ilmu-ilmu yang hanya diperuntukkan buat naql oleh para ulama
dulu, serta merubahnya menjadi diskursus realistik (wâqi’iyyah).
Ulumu’l
Qur’an sendiri mengandalkan dua
sumber, narasi lisan, dan naskah-naskah tulisan. Kedua referensi
tersebut tentu adalah penukilan. Jika muncul sebuah indikasi (dilâlah)
sekalipun, indikasi tersebut relatif pendek sementara contohnya banyak; satu
dilâlah yang disebutkan semua contohnya membuat ‘Ulûmu’l Qur’an terafirmasi
hanya dengan sejumlah ayat-ayat, dan reklasifikasi ilmiah yang sesuai dengan
hal tersebut persis dengan kamus indeks (Mu’jamul Mufahras) kata-kata
al-Qur’an.
Sebagian ulama mutakhir mencoba untuk mempekerjakan sebagian nalar dalam
diskursus al-Qur’an, seperti al-Zarkasyi dalam al-Burhân dan al-Suyuthi
dalam al-Itqân. Mereka berdua adalah yang termasyhur dalam mengkaji Pembawa-pembawa[2]
(ẖawâmil) Wahyu, bukan hanya Yang Dibawa (al maẖmul). Hawâmil ini
mencakup bahasa, tempat, waktu, sosial, sejarah dan budaya. Hawâmil adalah
fisik sedangkan maẖmul adalah ruh. Diskursus al-Qur’an adalah pemandangan
historik untuk setiap tema-tema al-Qur’an; karena itu ia terlambat datang.
‘Ulûmu’l
Qur’an adalah sebuah diskursus kolektif dari ilmu-ilmu tata bahasa seperti
Nahwu dan Balaghah; jarang mengandalkan
hadits karena ia tidak menjustifikasi al-Qur’an, toh al-Qur’an memiliki
prioritas lebih ketimbang hadits sebagaimana analisa para esensial (Ushûliyyin)
dalam referensi syariat; al-Qur’an, al-Hadits, ijma’, dan qiyas; Lalu ada ushul
fiqh yang berperan mengandalkan ilmu hadits dalam periwayatan, ilmu bahasa
dalam pembahasan kata, dan fiqh dalam masalah hukum. Diskursus al-Qur’an tidak
membutuhkan ilmu sirah karena Rasul sekedar penyampai wahyu, pribadinya tidak
menjadi tema seperti dalam ilmu sirah dan hakikat muhammadiyah dalam ilmu
tasawwuf. Jarang terlihat ada ilmu tasawuf dan ilmu hikmah karena al-Qur’an
adalah ilmu naqli sementara tasawwuf adalah pengalaman rasa dan ilmu hikmah
adalah ilmu nalar.
Ulûmu’l
Qur’an bukan ilmu sakral, tetapi ilmu yang menjelaskan bawaan / kandungan
bahasa, tempat, sosial dan kultur wahyu. Wahyu sakral hanya milik ilmu Ilahi pra
dokumentasinya, pasca dokumentasi tersebut dalam Lauh al-Mahfudz ia terbukukan
dalam bahasa, waktu dan tempat. Semenjak Jibril turun kepada Rasul dan kemudian
diperdengarkan kepada manusia, maka dalam setiap fase hawâmil tersebut
semakin banyak dan menjauh dari mahmul pertama yaitu kalam Allah; dan Setiap
kali Pembawa bertambah maka pengertian Mahmul juga bertambah, karena Ulûmu’l
Qur’an adalah objek pembelajaran bukan objek pengkultusan.
·
Pembawa-pembawa objektif; Tempat
Pembawa-pembawa
objektif (al ẖawâmilu’l maudû’iyah) adalah semua yang bukan wahyu tetapi
wahyu bergantung padanya agar ia dapat diturunkan dan menampakkan dirinya
sebagai bacaan, periwayatan, dokumen, pemahaman, dan penafsiran. Ia adalah Pembawa-pembawa
sejarah seperti tempat, waktu, dan struktur sosial. Wahyu dengan pemaknaan ini
menjadi sebuah penomena sejarah, muncul dalam sejarah, dan sejarah adalah
realita, waktu, tempat, masyarakat; tidak ada Yang dibawa jika tidak ada Yang Membawa,
tidak ada wahyu tanpa sebuah fisik yang menampung wahyu tersebut. Karena wahyu
tidak beterbangan di atas udara, tetapi jatuh ke bumi untuk menetap di dalamnya
seperti air yang jatuh untuk menumbuhkan tanaman.
Tempat adalah
komunitas manusia baik suku atau klan untuk suatu kaum atau kota.[3]
Wahyu membutuhkan penerima (mukhâtab), turun kepada manusia. Wahyu adalah
surat (risâlah) yang membutuhkan penerima (mursal ilaih), wahyu
adalah objek yang membutuhkan zat yang akan memahaminya, wahyu adalah yang
dibawa (maẖmul) dan zat adalah pembawa (ẖamil).
Turunnya wahyu di Mekah dikarenakan
adanya komunitas penduduk, kesukuan integratif, dialek yang tenar, keunggulan
sosial dan Ka’bah, pasar Ukaz panggung para penyair yang kesemua ini lebih
dekat dengan peradaban ketimbang badui sebagaimana diungkapkan Ibn Khaldun.
Diferensiasi antara Makkiy dan Madaniy
Terdapat surat-surat Makkiyah dan terdapat
surat-surat Madaniyah, dan sisanya terdapat khilaf. Teori Makkiy dan
Madaniy ini adalah definisi humaniatif bukan nubuwatif, ijtihad ilmiah
bukan wahyu. Keduanya dapat dibedakan melalui beberapa sifat; Pertama; Setiap ayat yang mengandung cerita adalah Makkiyah.
Tugas kisah adalah pengejawantahan dimensi sejarah dalam wahyu guna
merealisasikan kesadaran historis dalam kesadaran manusia, bukan untuk
berpindah dari masa kini menuju masa lampau, dari kenyataan menuju khayalan
tetapi sebaliknya, dari masa lalu menuju masa kini, dari khayalan menuju
realita sebagai wejangan dan pelajaran. Kedua; setiap surat yang diawali
huruf-huruf (muqatha’ah) selain al-Baqarah dan Ali Imram adalah Makkiyah.
Ketiga; setiap surat yang mencantumkan lafal kalla. Keempat; Identik
dengan seruan Yâ ayyuha al nâs bukan Yâ ayyuha al ladzîna âmanuw.
Seruan untuk setiap manusia tak pandang kepercayaan atau ketiadaan iman mereka,
mengacu kepada kemansuiaan mereka dari segi bahwa mereka adalah manusia, maka
kemanusiaan mendahului keimanan, humanisme mendahului kepercayaan.
Interferensi antara Makkiy dan Madaniy
Makkiy dan Madaniy bukan berarti alinea penuh
antara waktu tetapi waktu terkadang saling memasuki dengan tempat. Makkiy adalah ayat yang diturunkan sebelum hijrah dan madaniy
yang diturunkan setelahnya. Khitâb terkadang melampaui tempat dan waktu
secara bersamaan, kemudian makkiy menjadi khitâb untuk penduduk
Mekah dan madaniy menjadi khitâb bagi penduduk Madinah tak
pandang waktu dan tempat. Maka khitâb terikat dengan manusia.
Tidak penting mengenai bilangan
surat dan ayat Makkiy dan Madaniy kecuali dari segi indikasinya.
Kuantitas memiliki indikasi atas kualitas; survey tidaklah penting tetapi cukup
dengan indikasi. Makkiy lebih besar dari Madaniy maksudnya konsep
lebih utama daripada peraturan; Makkiy lebih banyak dari madaniy karena
yang terpenting adalah mengkonsepkan alam sebelum mengaturnya, akidah sebelum
syariah, akidah itu tetap sedang syariah berubah-ubah sesuai maslahat. Jadi,
bukan tentang sejarah tetapi masalah indikasi, bahkan indikasi dapat membantu tarjih
dalm kontroversi sejarah; al Fatihah misalnya adalah surat Makkiyah karena mengandung konsep non aturan.
Sebuah surat
terkadang tidak melulu makkiyah tetapi bercampur dengan ayat-ayat madaniyah.
Begitupun sebaliknya dikarenakan interferensi konsep dengan peraturan.
Peraturan terlahir dari konsep dan konsep adalah dasar peraturan. Diferensiasi
antara makkiy dan madaniy berarti tidak pasti ditinjau dari
integralitas tema wahyu. Sebagian ayat turun di Mekah tetapi hukumnya madaniy,
sebagian lain turun di Madinah tetapi dihukumi sebagai ayat makkiyah; dan
ada yang turun di Mekah tentang penduduk Madinah dan sebaliknya. Jadi, neraca masalah
ini bukanlah tempat tetapi apa yang turun pada tempat tersebut; akidah atau
syariah, konsep atau peraturan. Sedangkan tempat-tempat parsial selain dua
tempat tersebut tidaklah penting seperti Tha’if, Hudaibiyah, jalan antara Mekah
dan Madinah. Karena tempat-tempat tersebut bersifat sementara, bukan komunitas
beradab yang memiliki nilai-nilai social yang memaksa turunnya wahyu; toh Mekah
dan Madinah juga bukan persyaratan wahyu tetapi sekedar wadah untuknya, ia
turun sesuai hajat, karena keduanya adalah posisi utama yaitu lingkungan
social.
Dari Pembawa menuju
Yang disakralkan
Turunnya wahyu di Mekah dan Madinah tidak membuat keduanya menjadi tempat
sakral, terminal ziarah, tabarruk dengan lingkungan sekitarnya. Yang sakral
adalah Yang Dibawa (al maẖmul) bukan Pembawa (al ẖâmil), dan ziarah bukan untuk tempat tetapi untuk
bernostalgia dan mengaktivasi wahyu dalam hati. Ziarah tempat, mensakralkannya
adalah kembali ke era paganisme kuno dan Ka’bah ketika menjadi tempat para dewa
dan perkumpulan berhala; persis seperi pengkultusan mushaf baik tinta, kertas,
cover bukan apa yang dibukukan di dalamnya; pengkultusan sajadah salat, tasbih,
jilbab bukan ibadah salat itu sendiri atau mengambil faidah darinya dalam
menjaga waktu.
Signifikansi Mekah
secara historis terletak sebagai kota pertama yang dibangunkan rumah Allah,
masjid yang dibangun Ibrahim As. Yang kemudian menjadi markaz Jemaah haji dan
peristiwa penting lainnya; sedangkan Madinah adalah tempat transformasi wahyu
dari akidah menujuh perundang-undangan, dari konsep menuju aturan, dari dakwah
menuju bangsa, dari kenabian menuju hukum. Pentingnya tidak terletak bahwa
dalamnya terdapat kuburan Nabi Saw. (baina qabriy wa minbariy raudhatun min
riyâdhi’l Jannah); ziarah kubur itu tidak boleh (alhâkumu al
takâtsur-Hattâ zurtumu’l maqâbir) sebagaimana yang diterangkan wahabian –
gerakan reformasi modern terbesar –
Jika Mekah dan Madinah
adalah tempat munculnya kebenaran dan deklarasi keadialan, maka terdapat banyak
kota dimana kebenaran telah hilang, keadilan selalu dilanggar seperti Darpur, Kardafan,
Mogadishu dan semua tempat kumuh dan termarjinalkan. Yaitu setiap tempat yang
mati penduduknya karena kelaparan atau tenggelam oleh banjir, atau terlibat
perang saudara dengan pendekar perang memperebutkan tampu kekuasaan.
Lingkungan Sosial; Proses
Penurunan
Proses penurunan (kaifiyyat al tanzil) adalah awal dan akhir waktu
penurunan, pengangsur-angsuran,
kisah-kidah dan pengarahan politik, turun dengan makna atau huruf, pengulangan
turun dan penangguhannya dari hukum. Sedangkan lingkungan social (al baiah
al ijitimâ’iyah) adalah masyarakat yang diturunkan padanya suatu ayat yang
memberikan solusi atas masalah dan menjawab semua persoalan.[4]
Awal, Akhir dan
Waktu Turun
Iqra’ bermakna ilmu
adalah ayat yang pertama
diturunkan, bukan bacaan abjadiah tetapi bacaan ilmiah yaitu pengetahuan dan
pemahaman. Membaca bukan perintah untuk
membaca dan menulis huruf-huruf tetapi ilmu pengetahuan dan penghayatan.
Membaca adalah perantara bukan tujuan, alat bukan maksud. Tidak penting mengenai
tempat turunnya tetapi kandungan yang diturunkan yaitu bacaan dan pengetahuan;
tidak penting mengenai ayat pertama yang turun terkait sebuah tema tertentu
seperti peperangan, khamr tetapi permulaan yang mutlak, permulaan universal.
Ayat yang terakhir
diturunkan bertautan dengan yang pertama yaitu realisasi setelah kemungkinannya, akhir setelah permulaan, deklarasi
tentang kesempurnaan, dan indefendensi akal dan kebebasan berekspresi. Terakhir
tidak diperuntukkan tema tertentu; hukum syar’i, ajal Rasul, atau isyarat
tentang hari akhir tetapi proklamasi kesempurnaan. Ayat terakhir bukan perkara-perkara
syariat seperti kalalah atau perang, bukan juga perkara akidah ukhrawi
atau hal terkait pribadi Rasul; tetapi ayat-ayat yang menunjukkan akhir,
kesempurnaan risalah, dan habisnya urusan.
Pengangsur-angsuran
Tujuan asbab al nuzul adalah menurunkan al-Qur’an dan memisah-misahnya sesuai peristiwa-peristiwa; itulah
pengangsur-angsuran (al tanjim). Al Qur’an adalah kumpulan peristiwa dan
ayat adalah dialektika antara naskah dengan kenyataan. Keduanya adalah dua arah
satu koin, terkadang realita mendahului naskah dan kadang sebaliknya.
Alasan
pengangsuran ini terkadang sebagai pengukuh hati dan mempermudah hafalan karena
turunnya wahyu secara spontan berpotensi untuk dilupakan. Akan tetapi alasan
utama pengangsuran tersebut adalah bahwa al Qur’an turun sesuai kebutuhan,
untuk merealisasikan permintaan dan menjawab persoalan. Dan realita memiliki
berbagai persoalan, dan permintaan yang tetap terbaharui; tidak ada satu
persoalan untuk setiap era dan semua masyarakat. Al Qur’an turun
berangsur-angsur selama 20 tahun, tidak ada gunanya membahas turunnya ke langit
dengan sempurna dalam satu periode dan tak berguna jika ia belum diturunkan ke
bumi, atau dalam pendapat lain ia turun ke langit dunia antara 20 atau 23 atau
25 malam, satu malam landasnya di langit adalah porsi setahun turunnya di bumi;
ini tak lebih dari konsep manusiawi dalam perniagaan dengan harga grosir kah
atau eceran. Pembahasan tersebut sesungguhnya adalah memasukkan khayalan ke
dalam realita, memasukkan tema-tema transenden seperti Lauh al Mahfudz, jibril,
dll. Dalam tema realita yaitu turunnya wahyu dalam sebuah situasi.
Proses penurunan
tidak ada sangkut pautnya dengan sumbu vertikal wahyu tetapi sumbu horizontal;
bukan kaitan malaikat dengan rasul tetapi kaitan rasul dengan ummat. Pada
dasarnya kajian tersebut telah masuk dalam teori nubuwwat dalam
ushuluddin, teori wilâyah dalam ilmu tasawwuf, dan emanasi dalam ilmu
hikmah. Semuanya adalah tema transenden yang tak bisa diukur pemahaman manusia;
hanya mengandalkan riwayat, sedangkan riwayat masih bersifat dzanniy, dan
bukti naqliy tanpa bukti aqliy adalah dzanniy.
Turunnnya Makna dan
Huruf
Turun tidak boleh diartikan secara tekstual yaitu jatuh dari atas ke
bawah tetapi turun terkadang bermakna nampak, visi, jelas, deklarasi, Ilham,
dan talaqqi.
Terbaginya al Qur’an
menjadi dua yaitu permintaan Allah kepada Jibril untuk menurunkan al Qur’an,
dan permintaan Jibril kepada Muhammad unutk menurunkannya tidak berarti apa-apa
selain mendalami porsi vertikal dengan mengorbankan porsi horizontal. Baik
jibril menjelma menjadi manusia atau rasul menjelma menjadi malaikat tetap
sekedar khayalan.
Turun adalah kata
yang dikhususkan untuk al Qur’an, sedangkan Sunnah tidak turun tetapi ia adalah
penjelasan dan komentar pribadi rasul dengan inderanya, perasaan alami, dan
tradisi arab untuk sebagian rincian al Qur’an. Jadi, Sunnah tidak turun tapi
naik, ungkapan alami, perilaku aksiomatik.
Pengulangan Turun dan
Keterlambatan Hukum
Turun terkadang terulang untuk mengukuhkan, mengingatkan, dan mengagungkan
statusnya. Diriwayatkan bahwa Jibril sering murâja’ah bersama Rasul
setiap tahunnya untuk meghindari lalai dan lupa; tujuannya tentu untuk
menghafal dan murâja’ah. Menjustifikasi kesahihan teori ini adalah tidak
mungkin, karena pengulangan dapat beresiko dua kali penetapan suatu ayat, dan
dugaan kalau itu adalah turun yang lain. Pengulangan ini tidak ada karena tidak
mengandung faidah berpegang pada singularitas (tafarrud) ayat.
Hukum terkadang
datang lebih lambat dari turun, jika situasinya seperti ini maka tujuan ayat
adalah pengetahuan bukan perilaku, ilmu bukan amal, seperti turunnya ayat
terkait zakat sebelum penetapan hukumnya; ayat tersebut turun di Mekah sebagai
akidah sebelum turunnya di Madinah sebagai hukum. Keterlambatan hukum ini
dikarenakan perbuatan tersebut bersifat alami walaupun sebelum turunnya wahyu yang
menjelaskannya, karena wahyu datang sesuai dengan alamiah, dan peraturan untuk
membiasakannya. Wudhu yang menjadi syarat sah salat di Mekah sebelum masuk
undang-undang di Madinah, bersuci adalah hal baik tak pandang apakah ia menjadi
syarat salat atau tidak. Begitupula dengan zakat.
Wahyu Turun kepada
siapa? Turunnya wahyu kepada para Nabi
Wahyu tidak diturunkan kecuali untuk para nabi. Wahyu pernah datang
melalui lisan Nabi, kemudian sebuah ayat diturunkan untuk membenarkan ucapannya
tersebut. Hal inilah yang telah menginspirasi sejumlah orientalis untuk mendaku
bahwa al Qur’an datang dari diri Nabi. Hal tersebut (munculnya wahyu dari lisan
Nabi) datang secara maknawi dalam bingkai penolakan Rasul atas tuduhan bahwa
wahyu mucul dari dirinya bukan Tuhan. Jadi, wahyu di sini mengungkapkan pikiran
Rasul dan kemudian datang untuk mengukuhkannya. Resikonya adalah pemerataannya
untuk setiap ayat ang mengandung ucapan Rasul tentang dirinya.
Apabila wahyu turun
kepada sahabat, maka hal tersebut naik dari jiwa-jiwa mereka melalui insting
dan tabiat. naik tak berbeda dengan turun, wahyu yang turun karena tuntutan
realita tidak berbeda dengan wahyu yang naik dari realita sebagai wahyu alami;
kemudian ia diperkuat dengan wahyu yang turun, dan hal ini pernah terjadi pada
teks maupun makna. Dalam suatu situasi, manusia dengan tabiatnya mengungkapkan
sesuatu yang nantinya diambil oleh wahyu dan menurunkan perkataan tersebut
setelah modifikasi bentuknya; pada dasranya ia adalah perkataan manusia. Seringkali
hal ini terjadi pada Umar bin Khattab, dalam hadits “Inna allâha ja’ala’l ẖaqqa
‘ala lisâni ‘umar wa qalbihi” dan wahyu pernah sepakat dengan Umar tiga
kali.[5]
Diriwayatkan bahwa
wahyu pernah datang dari malaikat; hal ini tidak dapat diyakini. Resikonya
adalah pemerataan untuk setiap ayat yang mengandung ucapan Jibril tentang
dirinya.
Al Qur’an bukan orang
sehingga ia harus diantar oleh jemaat malaikat (musyayya’an) tetapi ia
adalah pemikiran, dan pemikiran terbentuk dari lafaz dan makna. Terdapat sebuah
konsep keagungan dalam turun bersama Jemaah, sebagian al Qur’an diturunkan
bersama 70.000 atau 80.000 malaikat sesuai keutamaan. Sulit untuk membedakan
manakah yang diturunkan bersama jamaah atau sendirian, dan dengan apa? Hal
tersebut akan mengacu pengutamaan sebagian al Qur’an dengan bagian lain;
padahal tidak ada keutamaan antar satu surat dengan surat lainnya. Riwayat
mengenai hal itpun masih dzanniy.
Wahyu dan Kenyataan
Pertanyaannya adalah tentang turun yang tidak didasari sebab (ibtidâ’an),
wahyu berbicara sebelum diminta realita, menjawab tanpa ada persoalan;
Lawan peristiwa asbab al nuzul. Tidak ada yang diturunkan tanpa sebab, wahyu
adalah panggilan dari kenyataan, ia adalah jawaban untuknya. Asbab al nuzul adalah
prioritas realita atas pemikiran, dahulunya soal atas jawaban, relaita bertanya
dan wahyu menjawab. Berbilangnya sebab tidak penting tetapi cukup satu sebab
yaitu keterikatan pemikiran dengan relita. Bukan sebab ilmiah dalam kajian
empirisme tetapi kausalitas yaitu keterikatan sebagian fenomena dengan fenomena
lainnya. Pengulangan sebab juga tidak penting
karena sekali adalah cukup; pengulangan hanya untuk mempertegas. Tidak
penting bilangan ayat dan sebab tetapi hubungan antar keduanya; terkadang
bebeerapa ayat diturunkan untuk satu sebab.
·
Pembawa-pembawa Objek Personal; Riwayat dan Khabar.
Pembawa-pembawa
Objek Personal (al ẖawâmilu’l maudû’iyah al zâtiyah) adalah pembawa yang
mencampur objek dengan zât atau sisi perasaan yaitu riwayat. Wahyu
adalah riwayat, khabar, dan deklarasi. Riwayat adalah cerita manusia, ia
didengar telinga, dihafal dengan ingatan, dan disampaikan dengan lisan.
Sedangkan khabar adalah pengarahan dari pembicara kepada pendengar, dari rasul
kepada umat. Wahyu butuh perantara manusia yang menyampaikannya; yaitu risalah
langsung untuk nabi kemudian disampaikan oleh perantara-perantara manusia.
Sanad-sanad
dan Matan-matan
Ulama kuno galibnya hanya konsen terhadap sanad bukan
matan. Validitas sebuah kabar ditentukan oleh sanadnya bukan matannya; yaitu
selamat dalam penukilan bukan kebenaran yang dinukil. Terdapat sanad tinggi (‘âli),
dan rendah (nâzil). Tinggi adalah yang dekat dengan Rasul, dan Rendah
adalah yang jauh dengannya. Tak ada perbedaan dalam khabar antara penukilan al
Qur’an atau penukilan hadits. Tingginya sanad adalah bukti atas validitas
hadits karena dekatnya dengan Rasulullah atau para Imam hadits atau Kutub al
sittah. Sedangkan Rendah tidak mempunyai bukti kesahihan, rijal-rijalnya
tidak tidak lebih pintar, atau hafiz, dan terkenal dari Tinggi. Oleh karena
itu, kesahihan yang dibawa (al maẖmul) ditentukan oleh keselamatan
pembawa (ẖamil) bukan yang dibawa atau sejauh mana nalar dan realita
menyetujuinya, padahal keduanya adalah dua pilar utama, dan dua unsur pembentuk
wahyu.
Jenis-jenis Sanad dan Matan
Sebagaimana ilmu musthalah hadits, dalam ulumul
Qur’an juga terdapat mutawâtir, masyhur, âhâd, syaz, maudhu’, mudarraj. Tiga
untuk sanad, tiga untuk matan. Sekalipun ilmu Qiroat berhubungan dengan naskah
lisan, tetapi ia harus tunduk terhadap logika umum riwayat. Naskah lisan tidak
berbeda dengan naskah tulisan.
Mutawatir adalah bacaan / riwayat yang
dinukil oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berkonspirasi dalam
kebohongan. Mutawatir adalah mayoritas penukilan qira’at. Tetapi Ibn Mas’ud
telah mengingkari kequr’anan surat al Falaq dan surat al Nâs (al mu’awwizataiyn)
padahal dua surat tersebut mutawatir. Ibn Mas’ud menjustifikasinya sebagai
kesalahan tulis (musaẖẖaf), dan
Rasulullah hanya berpesan untuk berlindung (ta’awwuz) dengannya. Sebagaimana
beliau tidak mencantumkan al Fatihah. Masyhur adalah riwayat yang
sanadnya valid tapi belum mencapai derajat mutawatir, ia sesuai dengan Bahasa
Arab dan penulisannya, penukilan lisan dan tulisan. Ahad adalah yang
memiliki sanad yang valid tetapi tidak sesuai tata Bahasa Arab dan tulisannya,
dan tidak masyhur. Adapun terkait matan, ada syaz yang sanadnya tidak
valid, maudhu’ seperti qiraat al Khazâ’I, dan mudarraj yaitu
tafsir yang ditambahkan pada qira’at.
Jenis-jenis nukilan (manqul).
Terdapat tiga nukilan; Pertama; Nukilan yang
boleh dibaca; yaitu qira’at yang dinukil oleh orang-orang terpercaya (tsiqât)
dan sesuai dengan Bahasa Arab dan tulisan Mushaf. Padahal penukilan bukan
syarat mutlak kesahihan karena ia khusus pada sanad saja sementara kesahihan
dapat ditinjau dari berbagai segi dalam sanad dan matan. Kedua; Nukilan
valid dari para âhad. Benar tata bahasanya tetapi berbeda dalam
penulisan. Jenis bacaan ini diterima secara teori tetapi tidak boleh diamalkan;
lalu al Qur’an macam apa yang juga bukan al Qur’an? Ketiga; Qiraat yang
dinukil bukan oleh orang terpercaya, tidak sesuai dengan Bahasa Arab. Jenis ini
ditolak walaupun sesuai dengan tulisan mushaf. Jadi, sanad adalah dasar
sedangkan matan adalah cabang; setiap cacat yang ada pada sanad tidak
memungkinkan kesahihan matan. Dalam tiga kondisi bacaan tersebut, jenis-jenis
nukilan bertautan dengan sanad dan matan dari segi bentuknya; bacaan dan
tulisan bukan segi kandungannya. Matan adalah ekstensi sanad dan tidak dapat
indefenden darinya; nukilan bukan hanya sanad tetapi juga matan, bukan hanya
perantara tetapi tujuan.
Al Qur’an Mutawatir dengan Sanad
Al Qur’an mutawatir baik universal dan partisinya,
kemutawatiran ini memberikan rasa yakin, dan keyakinan naql mendahului
keyakinan pemahaman. Jika sebagian al Qur’an tidak mutawatir, misalnya al
mu’awwizataiyn, maka ketenaran dan pengukuhan hadits untuknya membuat
keduanya dalam posisi mutawatir. Pertanyaannya adalah; Apa tidak mungkin
menjustifikasi kebenaran Yang Dibawa (al maẖmul) tanpa melihat kesahihan
Pembawa yaitu tawâtur? Yang dibawa adalah objek transenden sementara Pembawa
adalah ijtihad manusia dan logika penukilan lisan atau tulisan. Dengan cara ini
Yang Dibawa terkondisikan dengan Pembawa padahal hal ini tidak sesuai dengan
hubungan yang disyarati dan pensyarat dalam tema trandental.
Pada akhirnya kemutawatiran adalah ijitihad manusia, logika dan metode buatannya,
dan ia adalah syarat validnya al Qur’an. Kebenaran yang dibawa tergantung pada
pembawanya seakan tidak ada kebenaran sama sekali dalam yang di bawa!
Kebenaran Personal Matan
Yang terpenting adalah kebenaran matan dan kesesuaiannya
dengan pengalaman hidup yang dapat dirasakan oleh setiap pembaca dan
pendengarnya. Al Qur’an adalah kumpulan
pengalaman-pengalaman pertama yang mungkin terulang dalam kehidupan manusia.
Kebenaran di sini bukan melalui sanad tetapi melalui matan, bukan melalui
Bahasa, tulisan atau bacaan tetapi melalui intuisi langsung dan kebenaran
personal (zâtiy). Itulah jalannya Umar bin Khattab pembaharu umat ini.
Tak ada perbedaan antara turun dengan naik, wahyu dengan kenyatan, kalam Allah
dengan kalam manusia, ilmu Ilahi dengan ilmu manusia kecuali dalam volume
keyakinan, format katanya. Jadi, kebenaran ada dua; kebenaran turun, kebenaran
naik. Keyakinan ada dua; keyakinan tanzil dan keyakinan ta’wil. Kesahihan
ada dua; kesahihan historis bagi sanad dan kesahihan rasa untuk matan
sebagaimana yang sering dikatakan para
Sufi“’an Rabbiy ‘an qalbiy annahu qâla” dari Tuhanku dari hatiku bahwa
ia berfirman.
Kesesuaian dengan pengalaman hidup akan berimbas dengan kesesuaian lain
yaitu kesesuaian dengan akal. Kesesuaian ini akan merevolusi pemikiran dan
konsep dalam akal. Akal dan pengalaman adalah dua arah satu koin. Akal adalah
justifikasi kedua untuk pengalaman. Kebenaran akal memiliki kandungan yang
mengarah kepada diri segala sesuatu bukan hanya cara mengenalnya atau cara
meriwayatkannya. Kebenaran adalah sesuatu dan meriwayatkannya adalah sesuatu
yang lain.
Kesesuaian dengan pengalaman hidup dan akal adalah kesesuaian dengan
kenyataan. Pengalaman hidup adalah tempat bertemunya akal dengan kenyataan. Wahyu
bermula dari kenyataan dan kepadanya pula ia kembali danmemberi pengaruh.
·
Pembawa-pembawa Personal; Tafsir
Pembawa-pembawa
Personal (al ẖawâmil al zâtiyah) adalah peran zat yang arif dalam
menerima wahyu, memahaminya dan me-reekspsresikannya dan menyampaikannya. Wahyu
disini sekedar khotbah kepada mukhâthab, pesan kepada ummat (mursal
ilaihim). Inilah makna kontemporer khutbah sebgai ilmu yang berdiri sendiri
tanpa Pembawa-pembawa Objektifnya seperti waktu dan tempat, dan Pembawa-pembawa
Objektif Personalnya seperti khabar dan qira’ah. Al Qur’an adalah objek
kajian lughawi, sastra, dan tafsir bukan objek pengkultusan.
Tafsir; Tafsir dan ‘ulumu’l Qur’an
Pasca stabilisasi al Qur’an dalam tulisan dan bacaannya,
logika penukilan lisan dan tulisan dan ilmu qira’at menjadi sejumlah ilmu kuno
yang telah memenuhi mandatnya, tidak akan ada seseorang yang maju mengulas
konklusi-konklusinya atau mempresentasikan neo qira’at atau penukilan tulisan
baru. Yang tersisa adalah ilmu tafsir yang terus berkembang sesuai perkembangan
zaman; tafsir yang memungkinkan adalah memahami naskah; dan pemahaman saling
bertautan dengan situasi kultur setiap era.
Tafsir dan Ta’wil
Tafsir adalah penjelasan, dalam istilah ia adalah
diskursus turunnya ayat, suratnya, kisah-kisah, isyarat dan tatanan, muhkam dan
mutasyâbih, nasikh dan Mansukh, khâsh dan ‘âm, muthlaq dan
muqayyad, mujmal dan mufassarnya sesuai pembahasan lafaz-lafaz.
Tiga hal yang menuntut adanya sebauah penafsiran; Pertama; Kemuliaan
pengarang (mushannif) yang dengan kesaktian ilmiahnya mampu mengoleksi
makna-makna akurat dalam ungkapan singkat. Kedua; Ketidak tercantuman
beberapa komplementer atau syarat suatu masalah yang megharuskan penafsir
menerangkan yang telah dibuang. Ketiga; Keterkandungan makna lebih pada
suatu kata yang mengahruskan penafsir menjelaskan tujuan musannif dan mentarjiẖnya.
Adapaun ta’wil bermakna kembali ke sumber awal, terkadang ia berarti
siasat kalam dan penjelasan maknanya. Terdapat dua jenis ta’wil; Pertama:
Ta’wil yang bersih dari kejelekan (bisyâ’ah). Kedua; Ta’wil yang jelek
baik karena mentakhsihsh suatu kata atau menggunakan istia’ârah
atau isytiqaq jauh.
Tidak ada ta’wil yang menyimpang atau sejalan dengan syari’at tetapi
ta’wil adalah keharmonisan makna teks dengan pengalaman personal individu atau
masyarakat. Jadi, perbedaan hanya tentang sejauh mana pengalaman pribadi;
kebenarannya individual atau plural; maslahat istimewa atau universal.
Kriteria Mufassir
Tafsir memiliki empat referensi; Pertama;
Nukilan dari Nabi dengan resiko masuknya hadits dhaif dan maudhu’ terutama epos
(al malâẖîm), al maghâzi, dan tafsir. Kedua; Mengambil perkataan
sahabat yang marfu’ dari Nabi. Ia adalah riwayat bukan pendapat,
memiliki resiko yang sama dengan penukilan. Apabila ia ternukil dari kelas
Thabi’i resikonya semakin bertambah. Ketiga; Bahasa, al Qur’an berbahasa
Arab dan penafsirannya pun sesuai Bahasa Arab. Keempat; Tafsir sesuai
arti kalam dan dibatasi oleh kekuatan syariat.
Tafsir
bi’l ra’y menurut sebagian Fuqahâ mengacu kepada lima resiko; Pertama;
Menafsiri tanpa adanya ilmu. Kedua; Menafsirkan ayat-yat mutasyâbih
yang hanya diketahui Allah. Hal ini menafikan pengetahuan manusia dan
menutup pintu pemahaman dan ijtihad. Ketiga; Penafsiran sesuai ideologi
mazhab dengan menjadikan mazhab sebagai dasar dan tafsir mengikuti. Keempat;
Menjustifikasi suatu penafsiran sebagai kehendak Allah Swt. tanpa bukti. Kelima;
Penafsiran sentimental (hawa) bukan dengan pendapat atau istiẖsan
yang sejalan dengan maslahat umum. Hal ini bukan resiko / berbahaya tetapi
realita manusia; Pembawa-pembawa personal wahyu. Mengapa harus menghindari Tafsir
bi’l ra’y? Pendapat (al ra’y) tidak berarti sentimen atau arah
pandang khusus tetapi pengalaman manusia baik individu maupun jemaah yang mantap
sepanjang masa. Al Qur’an memiliki berbagai aspek sesuai kondisi yang harus
dipilih salah satunya, hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan nalar dan
maslahat yaitu al ra’y; itulah salah satu makna al tasyâbuh, dan
tugas nalar ialah mengubahnya menjadi muhkam.
Seorang penafsir harus mengenal kaidah-kaidah ushul
fiqh yang berkaitan dengan kajian lafaz. Jadi, pendapat bukan sekdar sentimen
pribadi tetapi ia mempunyai logika teratur yang menghindarkannya dari setiap
penafsiran yang langka; penafsiran yang jauh, historis, perhuruf, uyang
berbasis hawa-nafsu.
Terdapat empat jenis tafsir; Pertama; Tafsir yang diketahui orang
Arab melalui kalimatnya. Kedua; Tafsir yang diketahui setiap orang. Ketiga;
Tafsir yang dimengerti para ulama. Keempat; tafsir yang hanya
diketahui Allah Swt. Tafsir pertama diketahui bangsa Arab dari bahsaanya, yang
kedua adalah peraturan dan hukum halal dan haram, yang ketiga diketahui para
ulama melaluil ijtihad, isthinbath, dan pena’wilan mereka, yang keempat
adalah ilmu ghaib seperti hari kiamat, pengertian ruh, huruf-huruf muqatha’ah
yang keluar dari konteks indrawi karena merupakan tema trandental.
Seorang
penafsir harus menguasai berbagai ilmu, Bahasa dan tata Bahasa, ushuluddin,
ushul fiqh, asbab al nuzul, dan seterusnya.
Ulumu’l
Qur’an terbagi tiga; Pertama; Ilmu yang tidak diajarkan Allah kepada
siapapun; bagian ini keluar dari disiplin keilmuan manusia karena apa manfaat
ilmu yang tidak diketahui manusia? Apakah Allah memonopoli ilmu-pengetahuan
sementara Ia sendiri menyampaikan risalahnya dan mengutus utusannya? Kedua; Ilmu
yang diajarkan Allah dan teristemewakan untuk Nabi tentang rahasia-rahasia al
Qur’an seperti huruf-huruf muqatha’ah; tidak jauh beda dengan bagian
pertama, lalu apa manfaat ilmu yang dimonopoli Rasul dan tidak disebarkan “
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ
رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu,) berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-Maidah: 67)
Ketiga; Ilmu-ilmu yang
mengandung makna-makna universal dan tersembunyi yang diajarkan Allah kepada
Nabi untuk diajarkan olehnya, bagian ini ada dua jenis; 1) Ilmu yang tak dapat
diperbincangkan kecuali melalui penukilan seperti asbab al nuzûl, nasikh dan
Mansukh, kisah-kisah, hari kiamat. 2) Ilmu yang diketahui melalui
berpikir baik dalam menta’wil ayat-ayat mutasyabihât – masih
diperdebatkan – atau mengambil hukum-hukum
syar’i dengan qiyas atau balaghah.
Tingkatan Mufassir
Rasulullah Saw. Berada di posisi
pertama, kemudian 10 sahabat[6]
pada posisi kedua. Setiap sahabat menganggap dirinyalah yang terdepan, mampu menjawab
setiap pertanyaan, mengetahui setiap ayat yang turun pada malam hari atau
siang, di dataran tinggi atau rendah. Maklumat-maklumat historis yang tidak
penting bagi tafsir reformis dan maslahat manusia yang tetap berubah. Ada lagi
yang berkata “Tiada satupun ayat kecuali dia tahu dimana ia turun dan
terkait apa, bahwa Allah menganugerahkannya jiwa berakal dan lidah yang selalu
bertanya.” Ada juga yang berkata “Tiada satupun ayat kecuali dialah yang
paling tahu dimana ia turun dan terkait apa, tidak ada yang lebih tahu darinya
kecuali pernah datang kepadanya.” Ilmu yang mirip arogansi sekalipun belum
sampai pada pengakuannya. Beberapa orang zuhud masuk dalam posisi tersebut
sperti Hasan al Bashri; mereka sekelompok penukil dari sahabat tanpa kreasi
dari diri mereka masing-masing; semenjak itu ulumu’l Qur’an telah berubah
menjadi illmu tafsir sebelum ia terbebas menjadi disiplin ilmu independen.
Dalam bab terakhir kitab al
Itqan al Suyuthi mengulas penjelasan Rasul atas sebagian ayat-ayat sebagi
jawaban atas pertanyaan dari sahabat; keduanya (penjelasan Rasul dan ayat)
tidak memiliki satu pendapat dan tujuan, hanya sekedar maklumat tambahan dari
pengetahuan akan ayat dan sebagian kata yang majhul. Maklumat ini datang dari
mana? Apakah ia sebuah wahyu melalui Jibril atau wahyu spontan atau intuisi
atau informasi yang didapatkan Rasul melalui perjalanannya ke berbagai pelosok,
dan dari Yahudi dan Nasrani, atau peribahasa-peribahasa Arab dan kisah-kisahnya sebelum Islam, atau
opini-opini pribadi terkait tema yang tidak penting untuk dibenar atau salahkan.
Juga terdapat kesalahan informasi seperti anggapan bahwa Sam adalah nenek
moyang bangsa Arab, Ham nenek bangsa Abysinnia, dan Yapits nenek bangsa Romawi;
yang ma’ruf pada waktu itu hanya bangsa-bangsa ini, lalu mau dikemanakan bangsa
Indian, Eropa, Asia, Amerika Latin? Dan terkadang penjelasannya menjadi suatu
pendapat yang mengandung pendapat lain, terkadang penafsiran hakikinya persis
dengan metafora. Dan sebagian besar riwayat tersebut dhaif, gharib, non marfu’;
struktur haditsnya pun lemah, di mana Rasul sebagai penanya dan orang lain yang
menjawab terkait konsep teoritis karena takut untuk memalsukan lisan Rasul;
terkadang si penanya adalah seorang Yahudi untuk menuangkan Islam dalam spirit
Yahudisme dan sejarahnya seperti yang Paulus kerjakan dengan Injil dan ajaran
Messiah ketika dia meyahudisasikan Kristen.
[1] Ilmu
kalam, ilmu hikmah, ilmu ushul fiqh, ilmu tashawwuf.
[2] Sejujurnya
saya masih mencari makna yang lebih tepat.
[3] Menurut
saya yang dimaksud tempat disini adalah penghuninya; sebuah metafora seperti
ketika kita mengatakan sungai yang mengalir, padahal yang dimaksud sungai
adalah tempat air bukan airnya.
[4] Sosio kultur ini kita kenal sebagai asbab
al nuzul
[5] Lihat; Hasan Hanafi, min al naql
ila’l ‘aql, vol. I. hal 76.
[6] Empat khlaifah, Ibn Mas’ud, Ibn
‘Abbas, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al Asy’ari, Abdullah bin
Zubair.
Comments
Post a Comment