Ujian imam Ahmad bin Hanbal RA.
Era khilafah Abbasiyah tepatnya abad ke 2-3
Hijriyah, hidup seorang pengikut Rasulullah Saw baik ucapan maupun
perbuatannya, beliau bernama imam Ahmad bin Hanbal as-Syaibanî. Persis sepeti
imam Syafi’i, beliau hidup yatim ditinggal oleh ayahnya di Bagdad be-rsama
ibunya di sebuah rumah kecil dengan bekal minim yang ditinggalkan oleh almarhum
ayahnya. Berbekal takwa dan hati yang cukup ia putuskan
untuk menghabiskan umurnya demi menuntut ilmu hadits dan Sunnah Rasul Saw. Ia juga
menolak rencana pembukuan pendapat-pendapatnya terkait yurispundensi (fikih),
menjadi seorang Muhaddits men-urutnya sudah lebih dari cukup, Kemasyhuran dan
namanya yang harum inilah yang membawanya ke hadapan mihnah (ujian) yang
begitu lama pada era pemerintahan Mu’tazilah dari marga Abbasî yang menganut
faham bahwa qur’an adalah makhluk, dan memaksa masyarakat untuk memeluk dan
meyakini faham tersebut.
Berawal dari
masa khalifah Al-ma’mun yang menganut faham mu’tazilah dan menjaga peme-luknya,
dari sekte ini ia banyak menunjuk menteri, dia juga berpendapat seperti yang
mereka katakan, terlebih dalam masalah-masalah teologi dan mengamini
kemakhlukan qur’an. Teori ini telah ada semenjak era khilafah Umayah, Ja’d bi
Dirham adalah penggagas pertamanya. Pada hari raya ‘ied al-Adha Sang Wâli
Khalid bin Abdullah al-Qusrî memborgol dan meny-eretnya dihadapan khalayak
ramai depan masjid Kuffah, di akhir khutbahnya ia (Wâli) bekata di hadapan
masyarakat: ‘Pulanglah ke rumah kalian dan penggallah korban kalian, semoga
Allah Swt menerima ibadah kalian. Adapun saya, saya harus memenggal Ja’d karena
ia telah mengatakan ‘al-Qu’ran adalah makhluk dan diciptakan, serta Tuhan tak
pernah berbicara kepada Musa As, dan Ibrahim bukan kekasihnya, maha tinggi
Allah Swt dari semua kebo-hongan yang mereka katakan’. Sang Wâli lantas segera
turun dari atas mimbar menebas leher Ja’d dengan pedang yang terhunus dalam
genggaman tangannya.
Dengan berakhirnya
kekuasaan Khilafah Umawi, maka kursi pemerintahan diduduki oleh marga Abbasi
yang telah berhasil memporak-porandakan musuh bebuyutannya semenjak zaman
jahiliyah. Mu’tazilah ketika itu belum memiliki backing yang kuat untuk
menebarkan doktrin-doktrin mereka, masa terkucilnya Mu’tazilah berakhir pada
era Al-ma’mun 212 H/813 M periode dimana Mereka telah memiliki kursi dalam
pemerintahan. Ma’mun semula menjunjung tinggi kebebasan berfikir dan membiarkan
para ulama’ untuk menganut faham mu’tazilah atau tidak. Ma’mun mendirikan
berbagai tempat diskusi dan menggelar debat, tentu gembong dan pembesar Mu’tazilah
adalah kavaleri dalam ajang tersebut, Enam tahun hal ini berjalan lancar Ma’mun akhirnya memulai
gerakan Mu’tazilasi pada tahun 218 H dengan mengajak para ulama untuk ikut
bergabung dalam aliran yang sedang berkuasa ini, dan akan memaksa mereka untuk
menyorakkan kemakhlukan al-Qur’an.
Ma’mun
memiliki penasehat bernama Ahmad bin Du’ad. Ia seorang Mu’tazilah yang memi-liki
hobi menghasut para raja. Ma’mun sangat akrab dengan orang ini, saking Akrabnya
dia berwasiyat kepada saudaranya Mu’tashim untuk selalu meminta pendapat bin Du’ad
pada setiap keputusan yang akan diambil, dan memegang teguh ajaran dan doktrin
Mu’tazilah.
Ketika berada di Raqqah[1], Ma’mun mengirimkan surat
kepada Ishak bin Ibrahim pengganti sementara raja di Bagdad untuk mendorong
para Fuqoha dan Muhadits menganut faham kemakhlukan
al-qur’an, juga para menteri, hakim, dan tokoh masyarakat untuk masuk barisan
Mu’tazilah. Selain itu Ma’mun juga meminta agar Ishak mencatat nama-nama yang telah
menerima atau menolak lalu mengirimkannya ke Raqqa. Ishak kemudian mengirimkan
daftar nama-nama para Fuqoha, Muhadits, yang telah menolak undangan tersebut.
Ma’mun menitahkan kepada Ishaq
untuk mengikat lalu mengirim mereka ke hadapannya agar ia mampu untuk
mengajak mereka bertaubat dari kesyirikan, dan memberi ancaman pengasingan. Beberapa
Muhaddits dan Mufti itupun digiring ke hadapan raja Ma’mun, dan diantara mereka
adalah Imam Ahmad.
Di hadapan Raja, setelah mendengar berbagai ancaman akhirnya mereka
mengamini faham sesat itu, kecuali empat diantara mereka, yaitu: Imam Ahmad,
Muhammad bin Nuh, Qowârîrî, Dan Sajjâdah. Mereka terpaksa mendekam di dalam
penjara, berselendang rantai berkain belenggu.
Pagi harinya, Sajjâdah kembali kehadapan Raja sembari menyatakan
pengakuannya terhadap kemakhlukan al-Qur’an yang membuatnya bebas dari segala
tuntutan. Hari selanjutnya Qowârîrî juga memutuskan untuk mengamini teori itu
maka ikatannya pun lepas dan dia pun bebas. Yang tertinggal hanya Imam Ahmad
dan Bin Nuh, Ma’mun memindahkan mer-eka ke Tartus, dalam perjalanan Muhammad
bin Nuh mengembuskan nafas terakhirnya.
Tiba-tiba, sebuah berita dadakan datang membawa kematian Raja Ma’mun. Mu’tashim
saud-aranya naik tahta serta menjaga warisan dan wasiat saudaranya yang sudah
almarhum untuk menjaga kejayaan Mu’tazilah. Mu’tashim menetapakan nasib imam Ahmad
yang tidak peduli dengan masalah kemakhlukan al-Qur’an, menolak untuk
mengatakan iya juga enggan ber-kata tidak, karena menurut beliau ‘masalah ini
tidak pernah dipermasalahkan oleh para pend-ahulunya maka ilmunya pasti hanya
milik Allah Swt.
Raja Mu’tashim memulai peniksaan terhadap pembangkang yang menentangnya
dan mene-ntang Ahmad bin Du’ad tentang kemakhlukan al-Qur’an. Banyak orang dari
jajaran Mu’tazi-lah mengkritik perlakuan Raja dan tangan kanannya itu. Salah satunya
adalah Jahidz seorang Mu’tazilah, ia menganggap perbuatan mereka berdua tidak
etis karena mengumbar kebebas-an berfikir tetapi malah mereka sendiri yang merusak
kebebasan itu.
Perkara ini sepenuhnya diserahkan kepada Bin Du’ad, ia bebas untuk
menyiksa Imam Ahmad dengan berbagai macam siksa yang ia suka. Imam Ahmad lalu
diikat dan diseret ke penjara Bagdad yang berisi segala macam hasutan untuk
memalingkannya dari ketetapannya tersebut, tetapi beliau tetap saja memilih
diam.
Dua puluh delapan bulan beliau mendekam didalam penjara, bermandikan
darah, berhias bekas pecut yang dicambukkan algojo ke tubuhnya yang mulia. Siksaan
itu tiada henti sampai beliau tidak mampu merasakan sakit lagi, akhirnya
beliaupun menang dan mengalahkan al-gojo dengan pisau taqwa dan tameng
kesabaran.
Imam Ahmad dipulangkan kerumahnya, berlumur darah disertai kakinya yang
tak kuat unt-uk berjalan. Selang beberapa waktu, beliau tidak mengisi pengajian
sampai luka-lukanya sembuh. Setelah semua luka itu sembuh beliau segera
mengajar ke masjid kembali menerang-kan hadis Nabi kepada jama’ah. Hal ini
terus berlanjut sampai Raja Mu’tasim meninggal dunia lalu digantikan oleh
al-Watsiq.
Al-Watsiq meminta pendapat bin Du’ad guna mengulang ujian kepada Imam
Ahmad. Beda-nya, ujian kali ini tidak berbentuk pemenjaraan atau penyiksaan,
tetapi pelarangan terhadap imam Ahmad untuk mengajar di masjid atau selainnya
walaupun di rumahnya sendiri, beliau tidak boleh berkumpul bersama masyarakat,
dan tidak boleh tinggal di Negara tempat tinggalnya raja.
Hal ini membuat rakyat marah dan semakin membenci pemerintahan,
merekapun mulai ber-henti mengatakan al-qur’an adalah makhluk atau bukan, dan
kembali ke Faham bahwa ia adalah Kalam Allah Swr. Sebagaimana yang dikatakan
Qur’an. Serta tidak menta’wil zahir al-Qur’an persis seperti yang dikatakan
imam Ahmad.
Lima tahun imam Ahmad menyendiri, tak seorangpun pernah melihatnya dari
tahun 228 sampai 232 Tahun tewasnya raja Watsiq. Lalu naiklah khalifah al-Mutawakkil,
dia menghent-ikan penyiksaan dan mihnah (ujian), menentang Mu’tazilasi
dan mengembalikan imam Ahmad bin Hanbal Ra. Ke tempat mulia semestinya.
Tulisan ini diterjemahkan dari buku ‘Al wajh al âkhar li al khilâfah
al islâmîah’
Comments
Post a Comment